Minggu, 16 Oktober 2016

Makna Penderitaan dan Peranan Sakramen Pengurapan Orang Sakit



MAKNA PENDERITAAN DAN PERANAN SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
(Sebuah Refleksi Teologis hubungan penderitaan dengan Sakramen pengurapan orang sakit)
(J. A. D)

·                     PENDAHULUAN
Ketika hendak berbicara tentang penderitaan, kebanyakan orang merasa takut dan berupaya untuk menghindari penderitaan tersebut. Penderitaan merupakan pencobaan yang terberat dalam kehidupan manusia, karena penderitaan yang dialami itu tidak dapat dilepaskan dari sakit penyakit, sehingga  manusia kemudian memahami  bahwa penderitaan akan bermuara pada kematian. Dari hal itu,  manusia kemudian secara kodrati memahami bahwa kematian adalah hal yang tak dapat dielakan dari kehidupan manusia. Sehingga kondisi ini menimbulkan dalam diri manusia adanya : ketakutan, sikap menutup diri, merasa putus asa, cemas  dan  bahkan ‘memberontak’ kepada Tuhan atas penderitaan yang dialami.
1.                  ARTI  DAN DIMENSI PENDERITAAN
Pertanyaan disini muncul, mengapa Tuhan  memberikan  penderitaan kepada manusia? Pertanyaan ini muncul dari kelompok yang tidak memahami akan kasih Allah kepada umat manusia, yang hanya melihat penderitaan itu dalam dimensi akal budi semata, dan kemudian mengesamping dimensi spiritualnya. Penderitaan, selalu menjadi isu perdebatan sepanjang jaman, karena penderitaan merupakan fakta yang sangat dekat dengan kehidupan manusia dan menyentuh semua orang tanpa batasan. Para filsuf dan pemikir keagamaan terus bergumul untuk menjelaskan keberadaan penderitaan dalam hidup manusia. Kitab Suci, sendiri menyinggung beberapa aspek dari penderitaan. Salah satu yang paling terkenal adalah pergumulan dari Ayub.
Penderitaan (Suffering), sering kali diartikan dengan berbagai makna. Orang Kristen memahami arti  penderitaan itu  sebagai sesuatu yang bukan untuk  dihindari, namun untuk diterima dengan bahagia. Sakit dan penderitaan dapat menghantar orang untuk merasa dekat dengan Allah. Disamping itu, orang akan semakin mengenal akan kasih Allah yang besar  seperti Yesus yang mau menerima salib karena dengan salib ini, Yesus dibangkitkan dari kematian dan dibenarkan oleh Allah.[1] Penderitaan dan penyakit yang diderita juga menjadikan manusia berpikir lebih bijaksana, dan bersikap pasrah pada kehendak Tuhan dengan penuh iman, dan dari sikap ini  manusia kemudian dapat menemukan hal yang lebih mendasar dalam hidupnya yakni memiliki iman dan pengharapan didalam Tuhan. Sakit yang diderita itu, mengantar setiap manusia yang menderita, untuk dapat mengambil bagian dalam karya keselamatan dalam Kristus. Manusia adalah mahluk religius atau rohani, dan setiap usaha untuk menghilangkan “the sense of God” (cita rasa religius akan Allah) dari hati manusia justru membuat manusia gagal memahami dirinya sendiri. Cita rasa religius yang berupa keterarahan manusia kepada Allah itu terukir di dalam hati manusia. Allah rupanya telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga manusia itu sendiri tidak bisa dimengerti bila keterarahannya kepada Allah diabaikan.[2] Maka, manusia dalam penderitaannya senantiasa mengarahkan dirinya pada penyelengaraan Ilahi.
1.1.       Makna penderitaan dalam Pandangan Gereja Katolik
Penderitaan dalam Katekismus Gereja Katolik, didalamnya memiliki hubungan dengan iman. Dalam arti ini penderitaan adalah disposisi batin dari yang menderita bahwa Yesus Kristus menjadi teladan sejati yang rela menderita memanggul salib hingga Ia wafat di salib  yang adalah sungguh manusia yang mengalami penderitaan, sehingga penderitaan menjadi aspek kodrati dari hidup manusia.[3]  Penderitaan kemudian terjadi akibat dari dosa manusia, penderitaan ini memiliki kaitannya dengan dosa manusia pertama Adam dan Hawa.[4] Ketika manusia diberikan kebebasan oleh Allah, namun kebebasan yang diberikan Allah itu kemudian ditanggapi dengan jatuhnya manusia dalam kejahatan dan penderitaan. Sehingga, manusia kemudian diusir Allah dari taman Eden, dan pada saat itulah manusia kemudian mengalami susah payah dalam melahirkan anak dan bersusah payah dalam mencari rejeki. (bdk., Kej. 3:16-20). Dari penderitaan yang dialami ini mendorong manusia untuk bertobat, bahwa manusia kemudian menyadari akan keterbatasan dirinya, bahwa manusia tak dapat hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. Dan dari pengalaman penderitaan yang dialami tersebut manusia kemudian menyadari tanpa mengandalkan Tuhan, maka segalanya tampak akan menjadi sia sia (bdk., Pkh.1:12-18).
Gereja dalam kehadirannya di dunia, selalu memberi perhatian pada penderitaan. Hal ini berarti bahwa penderitaan Kristus adalah penderitaan yang menyelamatkan yang secara terus menerus hadir dalam sejarah panjang manusia, sehingga Gereja menghormati penderitaan didalam iman akan keselamatan.[5] Dengan sakit yang dialami manusia kemudian lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan percaya bahwa penderitaan adalah bagaimana meletakan segala pengharapan hanya pada Kristus yang telah menderita, Ia bagaikan anak domba yang digiring ke tempat pembantaian dengan tidak membuka mulut- Nya ( bdk.,Yes 53:7). Penderitaan dan penyakit juga menjadi salah satu ungkapan silih bagi sesama, dalam artian melalui sakit dan derita, manusia kemudian bersikap respek terhadap sesama dengan mendoakan mereka untuk bertobat. Dan dari hal itu, manusia kemudian mengarahkan dan mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus di kayu salib, sehingga dari penderitaan inilah manusia memperoleh tanda keselamatan Allah melalui sakramen pengurapan orang sakit.  
2.                  SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
2.1.            Dasar Biblis sakramen pengurapan orang sakit
Dalam penderitaan manusia kemudian bertanya tanya  mengapa ada sakit, dan penderitaan ? jawabannya adalah, bahwa Gereja senantiasa memperhatikan penderitaan itu, maka sakramen hadir untuk menjadi sarana pengharapan, kekuatan dan penyembuhan, dengan adanya sakramen pengurapan orang sakit, akan menjadi sarana penyembuhan dan pengurapan bagi orang yang sakit.
 Sakramen pengurapan orang sakit atau sakramen rekonsiliasi merupakan juga sakramen penyembuhan. Penulis surat Yakobus menulis: “kalau ada seseorang diantara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan, dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila didoakan dengan yakin, sangat besar kuasanya”(Yak. 5:14-15). Melalui surat Yakobus ini, Gereja berdoa agar rahmat penyembuhan Kristus menyentuh seluruh pribadi tidak hanya penyembuhan fisik, tetapi juga agar orang yang sakit mendapatkan pengampunan dan harapan.[6] Sakramen pengurapan orang sakit dalam dunia perjanjian lama biasa sekali dan dimaksudkan sebagai obat (lih,Yes.1:6; Yer. 8:22; Luk 10:34), sehingga tidak mengherankan para rasul juga “mengoleskan minyak pada banyak orang dan menyembuhkan mereka” (bdk, Mrk. 6:13). Ketika memperhatikan surat Yakobus, dengan jelas kelihatan bahwa ada unsur doa didalamnya, malahan doa menjadi hal yang fundamental bukan hanya pada ayat ayatnya saja, melainkan pada ayat ayat yang mendahuluinya (lih, ay.13)[7].
2.2.            Praktek Pengurapan Orang sakit
Praktek sejarah pengurapan orang sakit ini, yang telah ada sejak zaman perjanjian lama, para Rasul, komunitas jemaat perdana hingga zaman Patristik  telah dipraktekan akan tetapi belum dipahami sebagai sakramen. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam doa tentang pemberkatan minyak suci itu sendiri. Misalnya doa dalam Traditio Apostolica, Hipolitus dari Roma (170-235). Praktek pengurapan orang sakit baru diterima sebagai sakramen pada abad ke- XII, dimana Petrus Lombardus memasukan “pengurapan terakhir” kedalam tujuh sakramennya. Baginya, Sakramen yang sesungguhnya adalah tujuh. Disebutkan apa yang menjadi tanda dan rupa rahmat tak kelihatan, sehingga menjadi gambar, dan itu sebabnya sakramen itu tidak hanya menandakan rahmat tetapi juga menguduskan.[8] Akan tetapi,  Praktek  pengurapan orang sakit ini sebelumnya sudah dilihat sebagai sakramen yakni pada abad kelima, oleh Paus Innocentius I (sebagai Paus tahun 402-417) dalam suratnya kepada uskup Decentius dari Gubbio (DS 216).  Ia, menyatakan bahwa Pengurapan orang sakit dengan minyak yang telah diberkati oleh Uskup adalah sakramen yang ditujukan untuk menghapuskan dosa, dan meningkatkan kekuatan jiwa dan badan.
2.3.            Penegasan Konsili Vatikan II tentang sakramen pengurapan orang sakit
Dalam Konsili Vatikan II, dijelaskan maksud dari sakramen orang sakit seperti yang ada dalam Dokumen Lumen Gentium 11, dikatakan bahwa : “melalui perminyakan suci dan doa para imam seluruh Gereja menyerahkan orang yang sakit kepada Tuhan, yang bersengsara dan telah dimuliakan, supaya Ia menyembuhkan dan menyelamatkan mereka untuk secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus, dan dengan demikian memberi sumbangan kesejateraan kepada umat Allah.[9]  Dan yang terpenting disini adalah persatuan dengan Kristus dalam iman. Sehingga orang yang sakit itu akan diselamatkan karena berkat imannya dan berkat iman Gereja. Dalam hal ini Gereja menghendaki supaya sakramen pengurapan orang sakit tidak menjadi upacara lepas melainkan sebagai bagian pastoral orang sakit.[10] Maka, sakramen ini menjadi sakramen pengharapan, dimana yang sakit memperoleh kekuatan ketika menghadapi maut.
Orang yang menderita atau yang sakit, perlu dilakukan pendampingan, dengan memberikan pelayanan rohani, dan hal ini telah ada pada zaman Bapa bapa Gereja yakni dengan memberikan pegangan iman yang kuat dalam penderitaan yang dialami. Tujuan pendampingan ini, adalah agar mereka tetap teguh mengimani kasih Allah dan berani menjadi saksi iman, serta mendapat pengampunan dosa. Gereja terus memperhatikan hal ini, yang tradisi ini berkembang hingga sekarang.[11] Dalam arti ini, sakramen pengurapan orang sakit mendatangkan atau memberikan buah buah bagi yang sakit, yakni : suatu anugerah khusus dari Roh Kudus yaitu iman dan pengharapan, Persatuan dengan sengsara Kristus, inilah yang disebut sebagai “redemptive suffering” atau sengsara yang menyelamatkan,  rahmat gerejani,  orang sakit yang didoakan oleh Gereja (melalui imam) dalam persekutuan orang kudus, dan Persiapan untuk perjalanan terakhir, dan urapan ini membuat mereka semakin serupa dengan Kristus sendiri[12]. Dengan melihat arti penting sakramen ini, kita dapat menyadari bahwa kehadiran Allah dalam hidup ini.  Kristus yang telah menderita dan bangkit mulia telah menjadi sahabat bagi si sakit. Maka sakramen ini sebaiknya diterimakan waktu si sakit masih dalam keadaan sadar, dan mengubah paradigma berpikir umat yang memandang bahwa sakramen ini adalah sakramen kematian. Sehingga sakramen ini sebaiknya diberikan oleh imam, saat si sakit masih sadar dan dapat mengungkapkan perasaannya dan kalau memungkinkan si sakit dapat mengaku dosa pada imam atau pastor[13]. Sehingga maksud pelayanan pastoral yang penting adalah hubungan yang sakit dengan Allah, dengan melakukan pembebasan, dan pembebasan ini bukan dalam arti psiko-somatis, melainkan pembebasan, justru ditengah tengah penderitaan berat yang diterima oleh si sakit dengan segala keterikatan dari padanya dan dapat menjadi satu realitas dalam sikap-percayanya pada Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat[14].
3.                  MAKNA PENDERITAAN DAN PERANAN SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Sakramen pengurapan orang sakit bukanlah sakramen bagi mereka yang ada di ambang kematian saja (bdk., SC 73), akan tetapi dewasa ini dipahami sebagai sakramen bagi kesehatan dan penyembuhan. Sakit yang berkepanjangan, usia lanjut, kesepian dan perasaan ditinggalkan bisa mempengaruhi kondisi psikologis yang memudahkan orang untuk menerima kematian. Walaupun demikian, kenyataannya tetap tinggal, bahwa kematian menyebabkan kegelisahan dalam hati manusia. Penderitaan psikis maupun fisik yang berat membuat orang tidak tahan dan ingin menghilangkannya. Ajaran kristen, mengatakan penderitaan punya makna sebagai sarana kesatuan dengan penderitaan Kristus. Bila ada pasien yang menolak obat penghilang rasa sakit dan dengan sengaja ingin mengalami penderitaannya sebagai sarana mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, maka sikap itu bisa diterima. (bdk.,Mat 27:34).
Adanya sakramen ini, patut disyukuri karena Yesus mau menjamah dan menyembuhkan serta menguduskan yang sakit bukan hanya kesembuhan jasmaniah tetapi juga kesembuhan rohani, yakni dengan pertobatan. Sakramen ini memiliki peran yang begitu penting dalam perjalanan hidup Gereja dimana Gereja, selalu bertemu dan berjumpa dengan berbagai orang yang menderita. Penderitaan yang dialami oleh umat beriman selalu menjadi tanggung jawab dan pelayanan dari Gereja. Karena Gereja hadir untuk mereka yang menderita serta membawa semua yang menderita masuk dalam persekutuan dan kebahagiaan Allah. Semua penderitaan yang ada selalu dipersatukan dengan penderitaan Kristus. Yesus, menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam macam penyakit dan mengusir banyak setan (bdk., Mrk.1:34). Ia menyembuhkan banyak orang, sehingga semua penderita penyakit berdesak desak datang kepada-Nya menjamah Dia (bdk.,Mrk 3:10). Mujizat Yesus selalu berhubungan dengan pewartaan-Nya, dan karenanya itu hal tersebut diarahkan pada iman.[15] Cerita tentang penderitaan Yesus menyajikan “pengalaman telanjang” dari seorang manusia tentang penderitaan. Kisah sengsara Yesus dari taman Getsemani sampai wafat Nya di Kalvari tidak sama sekali menceritakan sesuatu yang baik tentang penderitaan. Yesus justru ditampilkan sebagai hamba Yahwe yang menderita seperti yang dilukiskan oleh Nabi Yesaya (Yes 52:14; 53:2b-3). Itulah pesan kitab suci bagi manusia dalam menghadapi penderitaan. Dan dari situlah diharapkan muncul suatu pengharapan yang tetap untuk mampu bertahan.[16]
3.1.      Refleksi atas makna penderitaan dan peranan sakramen Pengurapan orang sakit
  Pengalaman akan ketidak berdayaan yang dirasakan telah mengajarkan manusia  untuk mengalami serta merasakan kasih Allah secara nyata. Bantuan dari orang lain menjadi kelanjutan akan kasih Allah yang sangat diharapkan oleh si sakit karena ia tidak lagi dapat berbuat apa apa, sehingga ia membutuhkan penebusan dan pembebasan. Dalam hal ini, Yesus hendaknya menjadi contoh bagi kita dalam mengalami penderitaan atau pergulatan maut. Yesus telah menyerahkan segala galanya kepada Bapa-Nya, dan Allah Bapa yang maharahim telah melimpahkan kasihNya dan membangkitkanNya dari alam maut. Sehingga kematian dan  kebangkitan Kristus menjadi karya keselamatan Allah. Penulis sendiri, memahami makna penderitaan adalah bagian merupakan bagian dari mengimani Yesus sebagai Allah yang rela menderita disalib, dan juga Bunda Maria mengalami derita dimana Bunda Maria menderita bukan hanya karena melihat Putera-Nya wafat di salib, tetapi saat akan melahirkan dan mencarikan tempat penginapan dengan tiada tempat penginapan yang didapati. Sehingga makna penderitaan, adalah  bagaimana manusia memandang Salib Yesus, bahwa dalam salib tersebut ada pembebasan sejati, sehingga penderitaan adalah sebuah keagungan salib Kristus yang didalam salib itu ada kedamaian, pengampunan dan kebahagiaan sejati bersama Yesus Kristus yang adalah teladan dan sahabat manusia didalam penderitaan.


·                     PENUTUP
Penderitaan bukanlah sesuatu yang tanpa pengharapan, namun kehadiran sakramen pengurapan ini, telah menjadi sarana dalam manusia melihat kasih Allah dalam iman, harapan, dan kasih. Sehingga penderitaan bukanlah menjadi kematian yang definitif tanpa pengharapan, akan tetapi penderitaan dalam Kristus menghantar kita semakin dekat dengan-Nya. Penderitaan  bukanlah sesuatu yang memisahkan dengan cinta Allah tetapi yang mendekatkan, dan menyelamatkan hidup manusia, sehingga pada akhirnya manusia akan dapat memandang kemuliaan Allah. Gereja sebagai penyalur rahmat Allah senantiasa menaruh perhatian bagi yang sakit dan menderita.  Gereja senantiasa mendoakan mereka yang sakit dan menderita untuk secara bebas menggabungkan dirinya dengan sengsara dan kebangkitan Kristus (bdk, Rom 8:17; Kol. 1:24; 2 Tim 2:11-12 & 1 Pet.4:13). Dalam keadaan apapun kita, diundang untuk senantiasa mendekatkan diri dengan Tuhan, dan mempercayakan hidup dengan penuh pengharapan, kepada Allah, bahwa Penderitaan sebagai karya keselamatan. Tuhan Yesus Setia (bdk, 2 Tes. 3:3), Ia senantiasa mencintai manusia, tak perlu menggugat Tuhan dalam penderitaan. Penderitaan dan sakit adalah esensi manusia, tetapi iman adalah karunia untuk memahami Yesus Kristus sebagai sahabat yang sejati dan Allah yang penuh kasih (Deus Caritas Est).
DAFTAR PUSTAKA
·               Katekismus Gereja Katolik, Ende : Percetakan Arnoldus,  1995.
·               Harjawiryana,  R. (terj), Dokumen Konsili Vatikan II, Cet : ke- 9, Jakarta : Obor, 2009.
·               Konferensi  Waligereja Indonesia, IMAN KATOLIK : Buku Informasi dan Referensi,   Yogyakarta & Jakarta  : Kanisius & Obor, 1996.
·               Sujoko,  Albertus.,  Identitas Yesus & Misteri Manusia: ulasan tema tema teologi Moral fundamental. Yogyakarta : Kanisius, 2009.
·               Groenen, C., Sakramentologi, : Ciri Sakramental karya penyelamatan Allah, sejarah, wujud, struktur. Yogyakarta : Kanisius, 1990
·               Abineno, J.L. Ch. Pelayanan Pastoral  kepada orang orang sakit, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
·               Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta : Kanisius, 2001
·               Eka Yuantoro, F. A., Euthanasia, Jakarta : Obor , 2005
·               Jacobs, Tom.,  Sakramen pengurapan orang sakit, Yogyakarta : Kanisius, 1987
·               Pope Jhon Paul II, dalam Surat Apostolik , Salfivici Doloris ( On the Christian meaning of human Suffering),


[1] Bdk., F. A. Eka Yuantoro, MSF, Euthanasia, ( Jakarta : Obor, 2005) hlm. 76
[2] Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia: ulasan tema tema teologi Moral fundamental, (Yogyakarta : Kanisius, 2009) hlm. 174 - 175
[3] Bdk.KGK. 520.
[4] Bdk., KGK  403.
[5] Bdk. Pope Jhon Paul II, dalam Surat Apostolik  Salfivici Doloris ( On the Christian meaning of human Suffering), hlm. 19
[6] Bdk.,Thomas P. Rausch, Katolisisme, ( Yogyakarta: Kanisius , 2001) hlm. 226
[7] Bdk, Konferensi  Waligereja Indonesia, Iman  Katolik : Buku Informasi dan Referensi,  ( Yogyakarta & Jakarta : Kanisius & Obor, 1996), hlm. 414
[8] Bdk,  C. Groenen, Sakramentologi, Ciri Sakramental karya penyelamatan Allah, sejarah, wujud, struktur. (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm.67
[9]  Bdk  Konsili Vatikan  II,  Lumen Gentium, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Terjemahan R. Harjawiryana, Cet. Ke. 9 ( Obor : Jakarta,  2009) hlm. 84.
[10]Lih. Konferensi  Waligereja Indonesia, Iman Katolik. hlm.417.  
[11] Bdk., F. A. Eka Yuantoro, MSF, Euthanasia, hlm. 89
[12] Bdk., Katekismus Gereja Katolik, dalam Artikel 5: Urapan orang sakit, ( Ende : Percetakan Arnoldus , 1995), hlm. 411-412
[13] Bdk., KGK. 1516, hlm. 410
[14] Bdk., Dr. J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral  kepada orang orang sakit, ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 9.
[15] Bdk., Tom Jacobs, Sakramen pengurapan orang sakit , ( Yogyakarta : Kanisius, 1987), hlm. 108.
[16] Bdk., Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia,  hlm.380- 381

Tidak ada komentar:

Posting Komentar