Jumat, 25 November 2016

Konsep Pemikiran Plato Tentang Dunia Ide



KONSEP PEMIKIRAN PLATO TENTANG DUNIA IDE
TESIS : ide merupakan sesuatu yang bersifat kekal atau yang absolut, ide terlepas dari objek-objek inderawi sehingga ide menjadi landasan bagi pengetahuan yang sejati, namun ide juga tidak pernah lepas dari objek-objek inderawi dalam mencapai ilmu pengetahuan sejati.
1.                  PLATO DAN LATAR BELAKANG PEMIKIRANNYA
Plato lahir pada tahun 428/427 sM, dari suatu keluarga terkemuka di Athena. Ayahnya bernama Ariston dan ibunya bernama Periktione. Sejak masa muda Plato bergaul dengan tokoh-tokoh yang memiliki peranan penting dalam dunia perpolitikan di Athena, dan  menurut kesaksian Aristoteles, Plato dipengaruhi juga oleh Kratylos, seorang filsuf yang meneruskan ajaran Herakleitos. Plato, juga dikatakan pernah mengunjungi Italya dan Sesilia  pada usia 40 tahun, dan pada tahun 348/347 sM, Plato mendirikan dan mengepalai sebuah akademia sampai pada kematianya pada tahun yang sama[1]
Titik tolak pemikiran dari Plato, berangkat dari kenyataan yang dapat  ditangkap oleh panca indra, yaitu realitas yang berubah-ubah, Plato meyakini bahwa dibalik dunia yang dicerap oleh panca indra terdapat dunia lain yang hanya dapat ditangkap dengan rasio, dan realitas itu disebutnya sebagai dunia ide atau dunia pemikiran[2]. Bagi Plato, ide adalah sesuatu yang objektif, ide-ide terlepas dari subjek yang berpikir, ide tidak tergantung pada pemikiran namun sebaliknya pemikiran yang tergantung pada ide-ide.[3] Konsep pemikiran Plato tentang ide ini merupakan inti dan dasar seluruh ajaran ajaran Plato. Ide yang dipahami Plato disini bukanlah arti yang dipakai oleh orang orang modern saat ini, yang hanya mengartikan ide itu sebagai sesuatu gagasan atau suatu pengalaman subjektif belaka, akan tetapi Plato memahami ide sebagai sesuatu yang objektif, yang terlepas dari subjek yang berpikir.
Konsep pemikiran Plato tentang ide ini dilatar belakangi oleh dua hal yang telah memberi pengaruh pada konsep pemikirannya. pertama, karena Plato adalah seorang matematik atau ilmu pasti sangat diutamakan di Akademianya, dan  gagasan matematika ini telah membimbingnya pada tatanan pemahaman metafisik, sehingga aktivitas ratio memungkinkan Plato untuk menangkap pemikiran dunia ide yang melampaui  realitas fisik atau tidak terikat pada objek partikular saja. Sehingga, bagi Plato realitas yang nyata bukanlah dunia inderawi atau dunia partikular, melainkan ide-idelah yang menjadi realitas yang paling real atau yang nyata. Kedua, hal yang hendak Plato ungkapkan disini atau yang menjadi latar belakang pemikirannya, adalah Plato menghubungkan suatu hubungan yang baru, antara pemikiran dari Parmenindes dan Herakleitos, antara hal yang plural dan yang unitas, antara yang banyak dan yang satu, dimana ajaran Herakleitos hanya lebih berlaku pada dunia inderawi saja atau realitas seluruhnya bukanlah sesuatu yang lain daripada gerak dan perubahan, dan pemikiran Parmenindes yang hanya berlaku pada ide-ide atau realitas merupakan keseluruhan yang bersatu tidak bergerak atau tidak berubah[4], sehingga bagi Plato ide-ide itu sesungguhnya bersifat abadi, yang independen atau bebas yang menjadi landasan atau fondasi untuk menuju pada pengenalan atau pengetahuan sejati.

2.                  LANDASAN PEMIKIRAN PLATO TENTANG IDE, DAN TANGGAPAN KRITIS ARISTOTELES
Landasan pemikiran Plato tentang ide, yang dikemukakan oleh Plato dapat dianggap sebagai sumbangan filosofis yang terbesar bagi dunia filsafat, karena melalui ajaran atau pemikirannya tentang ide ini, telah membawa Plato melebihi para pendahulunya. Dalam hal ini ide, menurut Plato adalah pola-pola yang bersifat kekal yang darinya objek-objek inderawi mendapat wujudnya, ide itu bersifat kekal, tak berubah dan tak bermateri. ide itu adalah dunia kodrati, bersifat kekal atau abadi[5]. Plato mengatakan bahwa ide itu tidak diciptakan oleh pemikiran manusia, ide tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada ide tersebut,  Ide adalah citra pokok dan pertama dari realitas, non material, abadi, dan tidak berubah, ide sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran manusia sehingga Ide, melampaui segala ide yang ada. Maka, eksisitensi ide-ide mendahului eksisitensi dunia inderawi.
Pemikiran Plato tentang ide awalnya berasal dari ilmu pasti misalnya; gambar segitiga dipapan tulis hanyalah merupakan bayangan dari ide segitiga. Dalam ilmu pasti tidak membicarakan gambar yang riil/real, tetapi berbicara pada umumnya, seperti : garis, segitiga, maupun lingkaran sehingga bagi, Plato ide segitiga meskipun tidak dapat ditangkap dengan panca indra tetapi memiliki realitas, sehingga baginya ilmu pasti tidak mungkin bicara mengenai sesuatu yang tidak ada, dan gambar-gambar segitiga yang digambarkan dipapan tulis hanyalah merupakan tiruan tak sempurna atau bayangan dari ide segitiga itu sendiri.
Pemikiran Plato tentang dunia ide ini telah menghantar orang pada pemahaman akan pengetahuan (knowledge atau episteme), dan yang menjadi pertanyaan disini, apakah konsep pemikiran Plato tentang ide ini benar-benar mutlak ?. Apakah didalam ide memiliki aspek partikular atau aspek inderawi ?, dan jawabannya tidak dan ya, karena hal ini merujuk dari kritikan Aristoteles mengenai falsafah pemikiran ide yang dikatakan oleh Plato. Selanjutnya pemikiran filosofis dari Plato ini dikritik oleh Aristoteles, karena bagi Aristoteles pemahaman ide dari Plato seakan-akan memandang rendah atau mementahkan aspek partikular atau dunia inderawi/ dunia fisik. Aristoteles memahami bahwa ide atau forma tidak pernah terpisah dari dunia inderawi, karena itu Aristoteles berpendirian bahwa setiap ide atau bentuk tertuju pada materi dan tidak dapat dilepaskan darinya, sehingga dunia inderawi akan membantu untuk dapat mengenal serta memiliki pengetahuan sejati, tentang benda-benda atau objek yang ada dalam kehidupan sehari hari atau pada benda benda yang kongkrit. Aristoteles menilai bahwa konsep pemikiran Plato tentang ide-ide yang kekal, tidaklah mutlak. Maka, menurut Aristoteles ia menolak pemikiran Plato tentang ide yang dapat bereksistensi terpisah atau lepas berdiri independen dengan benda benda partikular atau dunia inderawi.

3.                  PEMECAHAN PROBLEM DAN RELEVANSI PEMIKIRAN PLATO
Meskipun Plato dipandang memutlakan ide sebagai yang sesuatu absolut dan menerima kritikan dari Aristoteles. Akan tetapi dalam hal ini, ide itu hadir dalam benda kongkrit/ objek partikular, misalnya; seorang tukang kayu mempunyai konsep untuk membuat sebuah kursi atau meja atau benda benda kongkrit mengambil bagian atau berpartisipasi dalam ide misalnya; manusia berpartisipasi dalam kesempurnaan dan kebaikan Tuhan. Plato sama sekali tidak tidak bermaksud untuk merendahkan peranan persepsi inderawi. Plato, malahan berkeyakinan bahwa paling kurang ada dua macam pengetahuan (inderawi dan intelektual), dan bahwa pengetahuan inderawi memiliki peranan yang penting dalam memperoleh pengetahuan intelektual[6].  Plato hendak menegaskan bahwa kemampuan akal yang lebih rendah juga sangat perlu  dan bernilai karena manusia justru membutuhkan persiapan  dalam memperoleh pengetahuan yang lebih tinggi.
            Pemikiran Plato yang bersifat idealis dan spekulatif, bagi saya hingga kini masih relevan. Pemikirannya mampu mewakili semua tradisi pemikiran dunia filsafat barat, dan juga mempengaruhi pemikiran para filsuf hingga saat ini. Di era modern ini, kini pemikirannya lebih populer digunakan oleh kaum rasionalis. Konsep ide yang ditunjukan oleh Plato hingga kini masih tetap relevan misalnya: dalam dunia pendidikan, konsep ide dari Plato ini telah berupaya menghantar kita atau setiap orang, pada sebuah proses penyempurnaan dengan menggunakan ratio atau akal budi sebagai instrumen yang tepat dan yang mampu mengantar orang pada cara berpikir secara praktis, kritis, dan teoritis sehingga dari hal itu akan membawa pada cara bagaimana menalar sendiri atau bagaimana mampu memecahkan persoalan yang sulit.
            Sehingga, untuk meneguhkan kembali pemikiran Plato tentang ide yang bersifat kekal atau terlepas dari objek objek inderawi yang, menjadikan ide sebagai landasan untuk memperoleh pengetahuan sejati disini saya merujuk tulisan dari Prof. Dr. K. Bertens yang mengatakan argumennya mengenai ide Plato, bahwa esensi itu mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan kongkrit, sehingga pemahaman ini menunujukan bahwa Plato hendak menegaskan bahwa ide itu bukan hanya suatu pendapat atau opini saja tetapi ide adalah suatu ukuran untuk mencapai pengetahuan yang sejati atau pengetahuan yang benar[7]. Dengan konsep pemikiran Plato ini, telah membuka cakrawala berpikir yang benar, sehingga terang ide telah menerangi berbagai penelitian ilmiah atau membuka pelbagai interpretasi mengenai pendapat pendapat yang masih kabur atau juga pada gagasan gagasan yang masih dipertanyakan lagi, untuk mendapatkan pemahaman yang akuntabel atau yang dapat dipercaya. Sehingga ide-ide akan menjadi objek pengetahuan untuk memperoleh pengenalan sejati. Plato menunjukan kepada kita, bahwa dunia inderawi memainkan peranan yang penting dalam memperoleh pengetahuan, akan tetapi fungsi ini hanya akan mungkin terjadi bilamana dunia inderawi tersebut diterangi oleh ide-ide dalam dunia pengetahuan itu sendiri.
            Dengan demikian konsep pemikiran Plato tentang dunia ide memberikan inspirasi yang relevan dan yang berkelanjutan pada peradaban sekarang ini. Sumbangsih dunia ide dalam bidang bidang kehidupan dewasa ini menunjukan bahwa Plato adalah seorang filsuf yang dalam kebijaksanaannya memberikan pemikiran yang handal dan memberikan manfaat bagi dunia pemikiran saat ini. Dan bagi saya meskipun pemikiran Plato ini mendapat kritikan dari (muridnya), Aristoteles karena dianggap terlalu berat sebelah, akan tetapi paling tidak pemikiran Plato telah membuka jalan pada bagaimana cara berpikir berdasarkan akal budi, berpikir secara objektif dan bukan hanya berpikir secara subjektif belaka atau dalam tatanan empiris saja. Konsep pemikiran Plato ini juga telah mempengaruhi dunia kekristenan dimana konsep ide yang disuguhkan oleh Plato, pada perkembangan berikutnya mempengaruhi dan masuk dalam pemikiran para bapa Gereja, untuk menjelaskan ajaran ajaran  kekristenan.
            Dengan kata lain pemikiran Plato ini telah membawa pada tatanan kehidupan yang real, dan dengan gagasannya ini Plato sudah menunjukan bahwa jauh sebelum peradaban maju seperti sekarang ini aspek atau peran ratio adalah salah satu sarana dalam mengungkapkan dan mencari pengetahuan yang sejati, dengan tidak memandang remeh aspek lainnya yaitu dunia inderawi atau dunia partikular sebagai faktor lain yang akan menuntun pada penemuan pengetahuan yang sejati seperti yang diungkapkan oleh Aristoteles atas kritiknya kepada dunia ide atau dunia pemikiran dari Plato.

DAFTAR PUSTAKA
·      Bertens. K., Sejarah Filsafat Yunani, Edisi Revisi ; Cet. ke-25  ( Yogyakarta : Kanisius ) 1999
·      Ohoitimur. Yong., Pengantar berfilsafat, ( Jakarta :Yayasan Gapura ),1997
·      Beoang, Konrad Kebung., Plato : Jalan menuju pengetahuan yang benar, ( Yogyakarta : Kanisius), 1997
·      Maksum. Ali., Pengantar Filsafat: dari masa klasik hingga postmodernisme, ( Yogyakarta :AR-RUZZ Media ), 2008


[1] Bdk., Prof. Dr. K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Edisi Revisi ; Cet.25, ( Kanisius : Yogyakarta, 1999), Hlm. 115-120.
[2] Dr. Yong Ohoitimur, Pengantar berfilsafat, ( Yayasan Gapura : Jakarta, 1997) Hlm. 43.
[3] K. Bertens., Hlm. 129
[4] K. Bertrens, Hlm. 133.
[5] Ali Maksum., Pengantar Filsafat:dari masa klasik hingga postmodernisme, (AR-RUZZ Media : Yogyakarta, 2008), Hlm. 70
[6] Bdk., Dr. Konrad Kebung Beoang, Plato : jalan menuju pengetahuan yang benar, ( Kanisius :Yogyakarta, 1997), Hlm. 30
[7] Bdk., K. Bertens., Hlm. 130

Minggu, 16 Oktober 2016

Makna Penderitaan dan Peranan Sakramen Pengurapan Orang Sakit



MAKNA PENDERITAAN DAN PERANAN SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
(Sebuah Refleksi Teologis hubungan penderitaan dengan Sakramen pengurapan orang sakit)
(J. A. D)

·                     PENDAHULUAN
Ketika hendak berbicara tentang penderitaan, kebanyakan orang merasa takut dan berupaya untuk menghindari penderitaan tersebut. Penderitaan merupakan pencobaan yang terberat dalam kehidupan manusia, karena penderitaan yang dialami itu tidak dapat dilepaskan dari sakit penyakit, sehingga  manusia kemudian memahami  bahwa penderitaan akan bermuara pada kematian. Dari hal itu,  manusia kemudian secara kodrati memahami bahwa kematian adalah hal yang tak dapat dielakan dari kehidupan manusia. Sehingga kondisi ini menimbulkan dalam diri manusia adanya : ketakutan, sikap menutup diri, merasa putus asa, cemas  dan  bahkan ‘memberontak’ kepada Tuhan atas penderitaan yang dialami.
1.                  ARTI  DAN DIMENSI PENDERITAAN
Pertanyaan disini muncul, mengapa Tuhan  memberikan  penderitaan kepada manusia? Pertanyaan ini muncul dari kelompok yang tidak memahami akan kasih Allah kepada umat manusia, yang hanya melihat penderitaan itu dalam dimensi akal budi semata, dan kemudian mengesamping dimensi spiritualnya. Penderitaan, selalu menjadi isu perdebatan sepanjang jaman, karena penderitaan merupakan fakta yang sangat dekat dengan kehidupan manusia dan menyentuh semua orang tanpa batasan. Para filsuf dan pemikir keagamaan terus bergumul untuk menjelaskan keberadaan penderitaan dalam hidup manusia. Kitab Suci, sendiri menyinggung beberapa aspek dari penderitaan. Salah satu yang paling terkenal adalah pergumulan dari Ayub.
Penderitaan (Suffering), sering kali diartikan dengan berbagai makna. Orang Kristen memahami arti  penderitaan itu  sebagai sesuatu yang bukan untuk  dihindari, namun untuk diterima dengan bahagia. Sakit dan penderitaan dapat menghantar orang untuk merasa dekat dengan Allah. Disamping itu, orang akan semakin mengenal akan kasih Allah yang besar  seperti Yesus yang mau menerima salib karena dengan salib ini, Yesus dibangkitkan dari kematian dan dibenarkan oleh Allah.[1] Penderitaan dan penyakit yang diderita juga menjadikan manusia berpikir lebih bijaksana, dan bersikap pasrah pada kehendak Tuhan dengan penuh iman, dan dari sikap ini  manusia kemudian dapat menemukan hal yang lebih mendasar dalam hidupnya yakni memiliki iman dan pengharapan didalam Tuhan. Sakit yang diderita itu, mengantar setiap manusia yang menderita, untuk dapat mengambil bagian dalam karya keselamatan dalam Kristus. Manusia adalah mahluk religius atau rohani, dan setiap usaha untuk menghilangkan “the sense of God” (cita rasa religius akan Allah) dari hati manusia justru membuat manusia gagal memahami dirinya sendiri. Cita rasa religius yang berupa keterarahan manusia kepada Allah itu terukir di dalam hati manusia. Allah rupanya telah menciptakan manusia sedemikian rupa sehingga manusia itu sendiri tidak bisa dimengerti bila keterarahannya kepada Allah diabaikan.[2] Maka, manusia dalam penderitaannya senantiasa mengarahkan dirinya pada penyelengaraan Ilahi.
1.1.       Makna penderitaan dalam Pandangan Gereja Katolik
Penderitaan dalam Katekismus Gereja Katolik, didalamnya memiliki hubungan dengan iman. Dalam arti ini penderitaan adalah disposisi batin dari yang menderita bahwa Yesus Kristus menjadi teladan sejati yang rela menderita memanggul salib hingga Ia wafat di salib  yang adalah sungguh manusia yang mengalami penderitaan, sehingga penderitaan menjadi aspek kodrati dari hidup manusia.[3]  Penderitaan kemudian terjadi akibat dari dosa manusia, penderitaan ini memiliki kaitannya dengan dosa manusia pertama Adam dan Hawa.[4] Ketika manusia diberikan kebebasan oleh Allah, namun kebebasan yang diberikan Allah itu kemudian ditanggapi dengan jatuhnya manusia dalam kejahatan dan penderitaan. Sehingga, manusia kemudian diusir Allah dari taman Eden, dan pada saat itulah manusia kemudian mengalami susah payah dalam melahirkan anak dan bersusah payah dalam mencari rejeki. (bdk., Kej. 3:16-20). Dari penderitaan yang dialami ini mendorong manusia untuk bertobat, bahwa manusia kemudian menyadari akan keterbatasan dirinya, bahwa manusia tak dapat hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. Dan dari pengalaman penderitaan yang dialami tersebut manusia kemudian menyadari tanpa mengandalkan Tuhan, maka segalanya tampak akan menjadi sia sia (bdk., Pkh.1:12-18).
Gereja dalam kehadirannya di dunia, selalu memberi perhatian pada penderitaan. Hal ini berarti bahwa penderitaan Kristus adalah penderitaan yang menyelamatkan yang secara terus menerus hadir dalam sejarah panjang manusia, sehingga Gereja menghormati penderitaan didalam iman akan keselamatan.[5] Dengan sakit yang dialami manusia kemudian lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan percaya bahwa penderitaan adalah bagaimana meletakan segala pengharapan hanya pada Kristus yang telah menderita, Ia bagaikan anak domba yang digiring ke tempat pembantaian dengan tidak membuka mulut- Nya ( bdk.,Yes 53:7). Penderitaan dan penyakit juga menjadi salah satu ungkapan silih bagi sesama, dalam artian melalui sakit dan derita, manusia kemudian bersikap respek terhadap sesama dengan mendoakan mereka untuk bertobat. Dan dari hal itu, manusia kemudian mengarahkan dan mempersatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus di kayu salib, sehingga dari penderitaan inilah manusia memperoleh tanda keselamatan Allah melalui sakramen pengurapan orang sakit.  
2.                  SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
2.1.            Dasar Biblis sakramen pengurapan orang sakit
Dalam penderitaan manusia kemudian bertanya tanya  mengapa ada sakit, dan penderitaan ? jawabannya adalah, bahwa Gereja senantiasa memperhatikan penderitaan itu, maka sakramen hadir untuk menjadi sarana pengharapan, kekuatan dan penyembuhan, dengan adanya sakramen pengurapan orang sakit, akan menjadi sarana penyembuhan dan pengurapan bagi orang yang sakit.
 Sakramen pengurapan orang sakit atau sakramen rekonsiliasi merupakan juga sakramen penyembuhan. Penulis surat Yakobus menulis: “kalau ada seseorang diantara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan, dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan, supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila didoakan dengan yakin, sangat besar kuasanya”(Yak. 5:14-15). Melalui surat Yakobus ini, Gereja berdoa agar rahmat penyembuhan Kristus menyentuh seluruh pribadi tidak hanya penyembuhan fisik, tetapi juga agar orang yang sakit mendapatkan pengampunan dan harapan.[6] Sakramen pengurapan orang sakit dalam dunia perjanjian lama biasa sekali dan dimaksudkan sebagai obat (lih,Yes.1:6; Yer. 8:22; Luk 10:34), sehingga tidak mengherankan para rasul juga “mengoleskan minyak pada banyak orang dan menyembuhkan mereka” (bdk, Mrk. 6:13). Ketika memperhatikan surat Yakobus, dengan jelas kelihatan bahwa ada unsur doa didalamnya, malahan doa menjadi hal yang fundamental bukan hanya pada ayat ayatnya saja, melainkan pada ayat ayat yang mendahuluinya (lih, ay.13)[7].
2.2.            Praktek Pengurapan Orang sakit
Praktek sejarah pengurapan orang sakit ini, yang telah ada sejak zaman perjanjian lama, para Rasul, komunitas jemaat perdana hingga zaman Patristik  telah dipraktekan akan tetapi belum dipahami sebagai sakramen. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam doa tentang pemberkatan minyak suci itu sendiri. Misalnya doa dalam Traditio Apostolica, Hipolitus dari Roma (170-235). Praktek pengurapan orang sakit baru diterima sebagai sakramen pada abad ke- XII, dimana Petrus Lombardus memasukan “pengurapan terakhir” kedalam tujuh sakramennya. Baginya, Sakramen yang sesungguhnya adalah tujuh. Disebutkan apa yang menjadi tanda dan rupa rahmat tak kelihatan, sehingga menjadi gambar, dan itu sebabnya sakramen itu tidak hanya menandakan rahmat tetapi juga menguduskan.[8] Akan tetapi,  Praktek  pengurapan orang sakit ini sebelumnya sudah dilihat sebagai sakramen yakni pada abad kelima, oleh Paus Innocentius I (sebagai Paus tahun 402-417) dalam suratnya kepada uskup Decentius dari Gubbio (DS 216).  Ia, menyatakan bahwa Pengurapan orang sakit dengan minyak yang telah diberkati oleh Uskup adalah sakramen yang ditujukan untuk menghapuskan dosa, dan meningkatkan kekuatan jiwa dan badan.
2.3.            Penegasan Konsili Vatikan II tentang sakramen pengurapan orang sakit
Dalam Konsili Vatikan II, dijelaskan maksud dari sakramen orang sakit seperti yang ada dalam Dokumen Lumen Gentium 11, dikatakan bahwa : “melalui perminyakan suci dan doa para imam seluruh Gereja menyerahkan orang yang sakit kepada Tuhan, yang bersengsara dan telah dimuliakan, supaya Ia menyembuhkan dan menyelamatkan mereka untuk secara bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus, dan dengan demikian memberi sumbangan kesejateraan kepada umat Allah.[9]  Dan yang terpenting disini adalah persatuan dengan Kristus dalam iman. Sehingga orang yang sakit itu akan diselamatkan karena berkat imannya dan berkat iman Gereja. Dalam hal ini Gereja menghendaki supaya sakramen pengurapan orang sakit tidak menjadi upacara lepas melainkan sebagai bagian pastoral orang sakit.[10] Maka, sakramen ini menjadi sakramen pengharapan, dimana yang sakit memperoleh kekuatan ketika menghadapi maut.
Orang yang menderita atau yang sakit, perlu dilakukan pendampingan, dengan memberikan pelayanan rohani, dan hal ini telah ada pada zaman Bapa bapa Gereja yakni dengan memberikan pegangan iman yang kuat dalam penderitaan yang dialami. Tujuan pendampingan ini, adalah agar mereka tetap teguh mengimani kasih Allah dan berani menjadi saksi iman, serta mendapat pengampunan dosa. Gereja terus memperhatikan hal ini, yang tradisi ini berkembang hingga sekarang.[11] Dalam arti ini, sakramen pengurapan orang sakit mendatangkan atau memberikan buah buah bagi yang sakit, yakni : suatu anugerah khusus dari Roh Kudus yaitu iman dan pengharapan, Persatuan dengan sengsara Kristus, inilah yang disebut sebagai “redemptive suffering” atau sengsara yang menyelamatkan,  rahmat gerejani,  orang sakit yang didoakan oleh Gereja (melalui imam) dalam persekutuan orang kudus, dan Persiapan untuk perjalanan terakhir, dan urapan ini membuat mereka semakin serupa dengan Kristus sendiri[12]. Dengan melihat arti penting sakramen ini, kita dapat menyadari bahwa kehadiran Allah dalam hidup ini.  Kristus yang telah menderita dan bangkit mulia telah menjadi sahabat bagi si sakit. Maka sakramen ini sebaiknya diterimakan waktu si sakit masih dalam keadaan sadar, dan mengubah paradigma berpikir umat yang memandang bahwa sakramen ini adalah sakramen kematian. Sehingga sakramen ini sebaiknya diberikan oleh imam, saat si sakit masih sadar dan dapat mengungkapkan perasaannya dan kalau memungkinkan si sakit dapat mengaku dosa pada imam atau pastor[13]. Sehingga maksud pelayanan pastoral yang penting adalah hubungan yang sakit dengan Allah, dengan melakukan pembebasan, dan pembebasan ini bukan dalam arti psiko-somatis, melainkan pembebasan, justru ditengah tengah penderitaan berat yang diterima oleh si sakit dengan segala keterikatan dari padanya dan dapat menjadi satu realitas dalam sikap-percayanya pada Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat[14].
3.                  MAKNA PENDERITAAN DAN PERANAN SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Sakramen pengurapan orang sakit bukanlah sakramen bagi mereka yang ada di ambang kematian saja (bdk., SC 73), akan tetapi dewasa ini dipahami sebagai sakramen bagi kesehatan dan penyembuhan. Sakit yang berkepanjangan, usia lanjut, kesepian dan perasaan ditinggalkan bisa mempengaruhi kondisi psikologis yang memudahkan orang untuk menerima kematian. Walaupun demikian, kenyataannya tetap tinggal, bahwa kematian menyebabkan kegelisahan dalam hati manusia. Penderitaan psikis maupun fisik yang berat membuat orang tidak tahan dan ingin menghilangkannya. Ajaran kristen, mengatakan penderitaan punya makna sebagai sarana kesatuan dengan penderitaan Kristus. Bila ada pasien yang menolak obat penghilang rasa sakit dan dengan sengaja ingin mengalami penderitaannya sebagai sarana mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, maka sikap itu bisa diterima. (bdk.,Mat 27:34).
Adanya sakramen ini, patut disyukuri karena Yesus mau menjamah dan menyembuhkan serta menguduskan yang sakit bukan hanya kesembuhan jasmaniah tetapi juga kesembuhan rohani, yakni dengan pertobatan. Sakramen ini memiliki peran yang begitu penting dalam perjalanan hidup Gereja dimana Gereja, selalu bertemu dan berjumpa dengan berbagai orang yang menderita. Penderitaan yang dialami oleh umat beriman selalu menjadi tanggung jawab dan pelayanan dari Gereja. Karena Gereja hadir untuk mereka yang menderita serta membawa semua yang menderita masuk dalam persekutuan dan kebahagiaan Allah. Semua penderitaan yang ada selalu dipersatukan dengan penderitaan Kristus. Yesus, menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam macam penyakit dan mengusir banyak setan (bdk., Mrk.1:34). Ia menyembuhkan banyak orang, sehingga semua penderita penyakit berdesak desak datang kepada-Nya menjamah Dia (bdk.,Mrk 3:10). Mujizat Yesus selalu berhubungan dengan pewartaan-Nya, dan karenanya itu hal tersebut diarahkan pada iman.[15] Cerita tentang penderitaan Yesus menyajikan “pengalaman telanjang” dari seorang manusia tentang penderitaan. Kisah sengsara Yesus dari taman Getsemani sampai wafat Nya di Kalvari tidak sama sekali menceritakan sesuatu yang baik tentang penderitaan. Yesus justru ditampilkan sebagai hamba Yahwe yang menderita seperti yang dilukiskan oleh Nabi Yesaya (Yes 52:14; 53:2b-3). Itulah pesan kitab suci bagi manusia dalam menghadapi penderitaan. Dan dari situlah diharapkan muncul suatu pengharapan yang tetap untuk mampu bertahan.[16]
3.1.      Refleksi atas makna penderitaan dan peranan sakramen Pengurapan orang sakit
  Pengalaman akan ketidak berdayaan yang dirasakan telah mengajarkan manusia  untuk mengalami serta merasakan kasih Allah secara nyata. Bantuan dari orang lain menjadi kelanjutan akan kasih Allah yang sangat diharapkan oleh si sakit karena ia tidak lagi dapat berbuat apa apa, sehingga ia membutuhkan penebusan dan pembebasan. Dalam hal ini, Yesus hendaknya menjadi contoh bagi kita dalam mengalami penderitaan atau pergulatan maut. Yesus telah menyerahkan segala galanya kepada Bapa-Nya, dan Allah Bapa yang maharahim telah melimpahkan kasihNya dan membangkitkanNya dari alam maut. Sehingga kematian dan  kebangkitan Kristus menjadi karya keselamatan Allah. Penulis sendiri, memahami makna penderitaan adalah bagian merupakan bagian dari mengimani Yesus sebagai Allah yang rela menderita disalib, dan juga Bunda Maria mengalami derita dimana Bunda Maria menderita bukan hanya karena melihat Putera-Nya wafat di salib, tetapi saat akan melahirkan dan mencarikan tempat penginapan dengan tiada tempat penginapan yang didapati. Sehingga makna penderitaan, adalah  bagaimana manusia memandang Salib Yesus, bahwa dalam salib tersebut ada pembebasan sejati, sehingga penderitaan adalah sebuah keagungan salib Kristus yang didalam salib itu ada kedamaian, pengampunan dan kebahagiaan sejati bersama Yesus Kristus yang adalah teladan dan sahabat manusia didalam penderitaan.


·                     PENUTUP
Penderitaan bukanlah sesuatu yang tanpa pengharapan, namun kehadiran sakramen pengurapan ini, telah menjadi sarana dalam manusia melihat kasih Allah dalam iman, harapan, dan kasih. Sehingga penderitaan bukanlah menjadi kematian yang definitif tanpa pengharapan, akan tetapi penderitaan dalam Kristus menghantar kita semakin dekat dengan-Nya. Penderitaan  bukanlah sesuatu yang memisahkan dengan cinta Allah tetapi yang mendekatkan, dan menyelamatkan hidup manusia, sehingga pada akhirnya manusia akan dapat memandang kemuliaan Allah. Gereja sebagai penyalur rahmat Allah senantiasa menaruh perhatian bagi yang sakit dan menderita.  Gereja senantiasa mendoakan mereka yang sakit dan menderita untuk secara bebas menggabungkan dirinya dengan sengsara dan kebangkitan Kristus (bdk, Rom 8:17; Kol. 1:24; 2 Tim 2:11-12 & 1 Pet.4:13). Dalam keadaan apapun kita, diundang untuk senantiasa mendekatkan diri dengan Tuhan, dan mempercayakan hidup dengan penuh pengharapan, kepada Allah, bahwa Penderitaan sebagai karya keselamatan. Tuhan Yesus Setia (bdk, 2 Tes. 3:3), Ia senantiasa mencintai manusia, tak perlu menggugat Tuhan dalam penderitaan. Penderitaan dan sakit adalah esensi manusia, tetapi iman adalah karunia untuk memahami Yesus Kristus sebagai sahabat yang sejati dan Allah yang penuh kasih (Deus Caritas Est).
DAFTAR PUSTAKA
·               Katekismus Gereja Katolik, Ende : Percetakan Arnoldus,  1995.
·               Harjawiryana,  R. (terj), Dokumen Konsili Vatikan II, Cet : ke- 9, Jakarta : Obor, 2009.
·               Konferensi  Waligereja Indonesia, IMAN KATOLIK : Buku Informasi dan Referensi,   Yogyakarta & Jakarta  : Kanisius & Obor, 1996.
·               Sujoko,  Albertus.,  Identitas Yesus & Misteri Manusia: ulasan tema tema teologi Moral fundamental. Yogyakarta : Kanisius, 2009.
·               Groenen, C., Sakramentologi, : Ciri Sakramental karya penyelamatan Allah, sejarah, wujud, struktur. Yogyakarta : Kanisius, 1990
·               Abineno, J.L. Ch. Pelayanan Pastoral  kepada orang orang sakit, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
·               Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta : Kanisius, 2001
·               Eka Yuantoro, F. A., Euthanasia, Jakarta : Obor , 2005
·               Jacobs, Tom.,  Sakramen pengurapan orang sakit, Yogyakarta : Kanisius, 1987
·               Pope Jhon Paul II, dalam Surat Apostolik , Salfivici Doloris ( On the Christian meaning of human Suffering),


[1] Bdk., F. A. Eka Yuantoro, MSF, Euthanasia, ( Jakarta : Obor, 2005) hlm. 76
[2] Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia: ulasan tema tema teologi Moral fundamental, (Yogyakarta : Kanisius, 2009) hlm. 174 - 175
[3] Bdk.KGK. 520.
[4] Bdk., KGK  403.
[5] Bdk. Pope Jhon Paul II, dalam Surat Apostolik  Salfivici Doloris ( On the Christian meaning of human Suffering), hlm. 19
[6] Bdk.,Thomas P. Rausch, Katolisisme, ( Yogyakarta: Kanisius , 2001) hlm. 226
[7] Bdk, Konferensi  Waligereja Indonesia, Iman  Katolik : Buku Informasi dan Referensi,  ( Yogyakarta & Jakarta : Kanisius & Obor, 1996), hlm. 414
[8] Bdk,  C. Groenen, Sakramentologi, Ciri Sakramental karya penyelamatan Allah, sejarah, wujud, struktur. (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm.67
[9]  Bdk  Konsili Vatikan  II,  Lumen Gentium, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, Terjemahan R. Harjawiryana, Cet. Ke. 9 ( Obor : Jakarta,  2009) hlm. 84.
[10]Lih. Konferensi  Waligereja Indonesia, Iman Katolik. hlm.417.  
[11] Bdk., F. A. Eka Yuantoro, MSF, Euthanasia, hlm. 89
[12] Bdk., Katekismus Gereja Katolik, dalam Artikel 5: Urapan orang sakit, ( Ende : Percetakan Arnoldus , 1995), hlm. 411-412
[13] Bdk., KGK. 1516, hlm. 410
[14] Bdk., Dr. J.L. Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral  kepada orang orang sakit, ( Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 9.
[15] Bdk., Tom Jacobs, Sakramen pengurapan orang sakit , ( Yogyakarta : Kanisius, 1987), hlm. 108.
[16] Bdk., Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia,  hlm.380- 381