Senin, 18 Mei 2020

Kasih instrumen yang menembus batas perbedaan


Artikel - Opini
‘KASIH’ INSTRUMEN YANG MENEMBUS PERBEDAAN
(sebuah refleksi filosofis hubungan antara umat beragama)

Realita sosial menunjukan bahwa negara Indonesia bersifat plural. Dalam agama  memiliki ruang bebas yang memungkinkan terjadinya interaksi dinamis bagi pemeluknya dalam membangun relasi kemanusiaan. Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang bertalian satu sama lain. Mengingkari keberagaman, sama halnya dengan mengingkari ketentuan Tuhan yang menciptakan manusia yang berbeda beda dan unik. Mewujudkan kerukunan adalah langkah bijak dalam mengawal jalan kehidupan dalam kebebasan beragama. Sehingga, Bhineka Tunggal Ika, menjadi sebuah platform bagi kehidupan manusia Indonesia yang bijaksana dan solider.

Perbedaan seringkali menjadi sebuah sekat yang memisahkan hubungan antara individu, atau antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain. Perbedaan sering menjadi tembok yang menghalangi relasi dalam membangun semangat persaudaraan. Manusia adalah manusia yang bebas, karenanya manusia kemudian dapat merencanakan masa depannya, yang disadari berunsur kemarin, hari ini dan esok. Dalam kebebasan itu manusia kemudian berhadapan dengan pelbagai pengalaman pengalaman yang selalu didefinisikan sebagai pencarian akan makna hidup yang mendasar. Dalam pencarian tersebut, agama kemudian dilihat sebagai institusi manusiawi  dan yang dipahami secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis agama sebagai sebuah institusi yang harus dipahami dalam kaitannya dengan wahyu Allah yang menjadi pendasaran keberadaanya (raison d’etre).  
Mengakui perbedaan-perbedaan berarti menuntut untuk berlaku, toleran. Istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin tolerare, yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Dalam kaitan dengan relasi umat beragama di Indonesia, pemahaman toleransi lebih cenderung memakai istilah “kerukunan”. Istilah kerukunan lebih dinamis, kreatif, dan positif. Dalam pemakaian istilah kerukunan adalah upaya menemukan watak otentik bangsa Indonesia yang memang dari dahulu- nya sudah senang berinteraksi dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan agama yang dianut. Tidak dapat disangkal bahwa pluralisme adalah kenyataan. Istilah pluralisme berasal dari akar kata Latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti: lebih dari satu. Dalam pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu pada adanya kenyataan yang lebih dari satu (individu). Secara mendasar dicegah adanya pemutlakan, baik dalam pemikiran maupun dalam sikap. Harus juga disadari bahwa tidak mungkin kenyataan yang kaya itu direduksi (dipermiskin/ dipersempit) hanya menjadi satu-satunya kenyataan. Setiap individu misalnya mempunyai keunikan, juga dalam cara berpikir, berpersepsi, dan bertindak sehingga memutlakkan hanya kepada satu cara berpikir, berpersepsi dan bertindak saja adalah suatu pengambilan/ perampasan terhadap (hak-hak) individu yang bersangkutan.

Franz Magnis Suseno SJ, melihat agama dalam persepktif filsafat. Ia memulainya dari Immanuel Kant, dimana lebih dari dua abad memperlihatkan – dan sejak itu (hampir) seluruh filsafat mengikutinya–bahwa tentang Yang Ilahi tidak bisa bicara seperti tentang salah satu benda, sebuah batu atau seorang manusia. Karena kata-kata, bahasa-bahasa kita diambil dari alam inderawi, kata-kata itu tidak cocok untuk diterapkan pada realitas ilahi yang jelas non-inderawi. Kebanyakan filsuf menarik kesimpulan bahwa bicara tentang Yang Ilahi tidak mungkin. Di abad ke-19 muncul ateisme yang menjelaskan agama sebagai tahap dalam penemuan diri manusia; alam di seberang alam dinyatakan mitos. Ludwig Feuerbach menyatakan agama sebagai proyeksi manusia tentang dirinya sendiri daripadanya ia terasing (bertuhan untuk mencari jati diri). Karl Marx melihat agama sebagai pelarian dari dunia nyata yang tidak manusiawi, (agama adalah candu bagi rakyat). Sigmund Freud, bapak psikoanalisa, menganggap agama sebagai ilusi infantil dan neurosiskolektif daripadanya manusia harus membebaskan diri apabila ia mau betul-betul menangani masalah-masalah yang dihadapinya. Tetapi ada juga filsuf lainnya, seperti Emmanuel Levinas, yang dengan amat halus, menunjukkan bahwa setiap kali seseorang bertemu dengan orang lain ia merasakan realitas Yang Ilahi. Bertolak dari pertimbangan Kant, menunjukkan bahwa manusia bahkan mempunyai pengalaman tentang Yang Ilahi, di dalam hati nuraninya, di dalam makna eksistensi yang dialaminya.
Berbicara tentang agama, berarti berbicara tentang pandangan teologis dan juga pandangan sosiologis. Dalam setiap perjumpaan yang dialami tersebut agama menjadi lembaga yang mengungkapkan kesadaran kolektif manusia menuju pada tujuan akhir dari hidup manusia. Perjumpaan yang terjadi antara agama yang satu dengan agama yang lain kemudian memberikan sebuah kekayaan yang senantiasa dihidupi dengan semangat persaudaraan. Dalam perjumpaan itu, agama memberikan indikasi pada bertumbuh kesadaran dalam diri manusia, bahwa ia tidak hanya hidup dalam lingkup homogen saja, melainkan ada keragamaan yang dijumpai dalam kehidupan umat beragama itu. Dalam setiap perjumpaan dan relasi tersebut, tanpa disadari bahwa kesadaran akan adanya jiwa persaudaraan menjadi kesadaran hidup yang mengemuka dan memberi indikasi pada terciptanya harmonisasi dalam kehidupan umat yang majemuk.

Seperti halnya slogan “Torang samua basudara” yang diusung oleh masyarakat Sulawesi Utara, menyiratkan sebuah kultur hidup dari masyarakat yang memahami keberagamaan sebagai kekayaan. Slogan ini, menjadi starting point, dalam mengkaji dan mendalami keberagaman hidup yang nampak di Bumi Nyiur Melambai. Kerukunan hidup yang terjalin di daerah ini, menjadikan hal ini sebagai kekayaan yang begitu bernilai dalam menciptakan kehidupan harmonis. Seorang filsuf Cina; Lao Tzu, menyebutkan bahwa mencintai adalah memasuki kehidupan manusia/ seseorang tanpa ada usaha untuk menguasainya. Pemikiran bijak, sekiranya  menjadi gaung yang hendak menawarkan sebuah kehidupan yang harmonis, dimana cinta yang dilandaskan kepekaan diri yang memandang orang lain sebagai saudara. Di sisi lain, Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis, dalam pemikiran menyebutkan orang yang mencinta adalah orang yang memiliki kepenuhan, sebab tidak mungkin harus mencintai dengan kekosongan atau memberi tanpa totalitas. Lebih lanjut lagi Marcel, mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa diharapkan dan tak akan pernah mengkhianati.

Dari persaudaraan yang terjalin ditengah perbedaan, Kasih-lah yang menjadi elemen yang merekatkan  perbedaan itu dan menjadi instrument  dalam menembus batas batas perbedaan tersebut. Kasih yang sedemikian inilah yang telah meruntuhkan tembok tembok ekslusivisme dan kemudian membuka diri pada pemahaman akan adanya keragaman sebagai sesuatu yang membebaskan. Hubungan yang terjalin ini tidak hanya sebagai hubungan yang formalitas semata melainkan sebuah ajakan serta seruan untuk bersama sama memperjuangkan kedamaian dan kerukunan ditengah terkikisnya semangat dan nilai hidup, akibat lindasan arus global yang menerpah harmoni kehidupan. Kasih yang menembus perbedaan ini, adalah sebuah pelangi kasih yang senantiasa memayungi dinamika kemajemukan yang ada.
Payung kasih ini, kemudian termanivestasi dalam pelbagai dialog yang diketengahkan yang menjadi sebuah langkah bijak yang ditempuh untuk menangkal stigma stigma yang tidak baik. Wadah atau forum itu, misalnya FMLA (forum mahasiswa lintas agama), yang merupakan forum yang dibangun untuk menciptakan pilar pilar kehidupan yang harmonis antara pemeluk agama yang ada di Sulawasi Utara. Pertemuan antar mahasiswa misalnya: STF–SP, UKIT dan STAIN / IAIN, STAKN, dan STT Parakletos, yang tercermin melalui pekan pertukaran mahasiswa adalah sebuah wajah kehidupan masyarakat mejemuk yang saling membangun dialog dialog dan mitra yang sehat dalam menumbuh kembangkan semangat persaudaraan. Slogan kasihlah yang melapisi hubungan persaudaraan ini. Dialog itu terbangun dari sebuah agora seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Yunani kuno dahulu yang membangun diskusi yang kolektif dalam agora agora atau pasar yang ada dalam masyarakat Yunani, yang kemudian melahirkan pemikiran yang bijak mengenai kehidupan manusia yang harmonis. Seorang filsuf eksistensialis lainnya, Soren Kiekegaard, menyebutkan melalui agama, Tuhan menyatakan cinta-Nya secara unik dan istimewa. Adapun John D. Caputo, ahli filsafat agama dari Amerika serikat, menyebutkan agama berarti cinta kasih Tuhan. Baginya arti sebuah cinta adalah pemberian utuh, sebuah komitmen tanpa syarat. Cinta bukan soal tawar menawar, melainkan suatu pemberian diri tanpa syarat. Cinta selalu menuntut yang lebih, atau singkatnya soal cinta, Caputo menyebutkan bahwa ketidakmungkinan menjadi wilayah yang paling mungkin bagi cinta. Dialog yang dikemukakan dalam FMLA ini menjadi sebuah dialog yang berupaya membangun persaudaraan dan hendak melestarikan slogan khas orang Manado Torang samua basudara. Dialog yang dilaksanakan dengan stay home atau chance experience life, menjadi sebuah instrument serta praksis hidup nyata yang dapat memberikan pencerahan akan kekhasan dalam mengapai hidup bersama yang harmonis, tanpa ada stigma yang arogan serta agresif. Dalam mengelola kemajemukan ini, Diana L. Beck, dalam istilahnya menyebutkan sebagai: the energetic engagement with diversity, yakni semangat untuk terlibat aktif dalam keberagaman, dan menuntut setiap orang untuk berusaha membangun komunikasi dan dialog yang saling menumbuhkan saling pengertian dan pemahaman. Sehingga, inilah yang disebut Diana L. Leck sebagai the encounter of commitments, perjumpaan dalam komitmen.

Memahami eksistensi manusia merupakan bukti kasih dari Yang Kuasa. Kasih itu melampaui batas cakrawala nalar dan menembus batas harapan. Kasih mengisi dan mengajar pikiran kita, bahwa hidup ini adalah melihat kasih-Nya dengan melihat Dia dalam sesama. Kasih Tuhan bagaikan pintu gerbang menuju kesempurnaan hidup, dan kita menjadi pribadi yang paripurna hanya dengan memasuki pintu kasih itu. Jadi mencintai Tuhan adalah mencintai sesama dan mencintai sesama sama halnya dengan mencintai Tuhan. Kasih menjadi instrument atau medium, perantara, jembatan yang dapat merekat dan merapatkan barisan perbedaan dengan mengisi semua itu dengan balutan kasih. Sehingga, dengan kasih yang  sedemikian ini kita dapat membangun horizon kehidupan manusia yang terbentuk dalam persamaan dan kecenderungan pada meluruskan stigma dan kecenderungan yang tidak memberikan kekayaan dalam hidup bersama. Kehidupan bersama sebagai makhluk sosial adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dielakan (sebuah keniscayaan). Perbedaan yang dilandas dengan kasih kemudian mentahirkan pemikiran manusia yang peduli pada kerukunan dan perdamaian secara kolektif dengan membingkai kehidupan ini menjadi harmonis dengan Kasih/ Love for the Others. Inilah gagasan take and give, yang membangun dialog aktif dan bukan hanya untuk mencari dialog juga didalamnya kesediaan menerima dan mengakui perbedaan yang ada. Karena itu, Marilah kita bergandengan tangan mewujudkan persaudaraan.
Penulis  : Jufry Anthonius Dotulong,
*ditulis pada Mei 2015, pada pekan pertukaran mahasiswa.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar