Artikel - Opini
‘KASIH’ INSTRUMEN
YANG MENEMBUS PERBEDAAN
(sebuah refleksi
filosofis hubungan antara umat beragama)
Realita sosial
menunjukan bahwa negara Indonesia bersifat plural. Dalam agama memiliki ruang bebas yang memungkinkan
terjadinya interaksi dinamis bagi pemeluknya dalam membangun relasi
kemanusiaan. Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang bertalian satu sama lain.
Mengingkari keberagaman, sama halnya dengan mengingkari ketentuan Tuhan yang
menciptakan manusia yang berbeda beda dan unik. Mewujudkan kerukunan adalah
langkah bijak dalam mengawal jalan kehidupan dalam kebebasan beragama.
Sehingga, Bhineka Tunggal Ika, menjadi sebuah platform bagi kehidupan manusia
Indonesia yang bijaksana dan solider.
Perbedaan seringkali menjadi
sebuah sekat yang memisahkan hubungan antara individu, atau antara lembaga yang
satu dengan lembaga yang lain. Perbedaan sering menjadi tembok yang menghalangi
relasi dalam membangun semangat persaudaraan. Manusia adalah manusia yang
bebas, karenanya manusia kemudian dapat merencanakan masa depannya, yang
disadari berunsur kemarin, hari ini dan esok. Dalam kebebasan itu
manusia kemudian berhadapan dengan pelbagai pengalaman pengalaman yang selalu
didefinisikan sebagai pencarian akan makna hidup yang mendasar. Dalam pencarian
tersebut, agama kemudian dilihat sebagai institusi manusiawi dan yang
dipahami secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis agama sebagai
sebuah institusi yang harus dipahami dalam kaitannya dengan wahyu Allah yang
menjadi pendasaran keberadaanya (raison d’etre).
Mengakui perbedaan-perbedaan
berarti menuntut untuk berlaku, toleran. Istilah “toleransi” berasal
dari bahasa Latin tolerare, yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran
lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Dalam kaitan dengan relasi
umat beragama di Indonesia, pemahaman toleransi lebih cenderung memakai istilah
“kerukunan”. Istilah kerukunan lebih dinamis, kreatif, dan positif. Dalam
pemakaian istilah kerukunan adalah upaya menemukan watak otentik bangsa
Indonesia yang memang dari dahulu- nya sudah senang berinteraksi dengan
siapa saja tanpa membeda-bedakan agama yang dianut. Tidak dapat disangkal bahwa
pluralisme adalah kenyataan. Istilah pluralisme berasal dari akar kata
Latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti: lebih dari satu. Dalam
pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu pada
adanya kenyataan yang lebih dari satu (individu). Secara mendasar dicegah adanya
pemutlakan, baik dalam pemikiran maupun dalam sikap. Harus juga disadari bahwa
tidak mungkin kenyataan yang kaya itu direduksi (dipermiskin/ dipersempit)
hanya menjadi satu-satunya kenyataan. Setiap individu misalnya mempunyai
keunikan, juga dalam cara berpikir, berpersepsi, dan bertindak sehingga
memutlakkan hanya kepada satu cara berpikir, berpersepsi dan bertindak saja
adalah suatu pengambilan/ perampasan terhadap (hak-hak) individu yang
bersangkutan.
Franz Magnis Suseno SJ, melihat
agama dalam persepktif filsafat. Ia memulainya dari Immanuel Kant, dimana lebih
dari dua abad memperlihatkan – dan sejak itu (hampir) seluruh filsafat
mengikutinya–bahwa tentang Yang Ilahi tidak bisa bicara seperti tentang
salah satu benda, sebuah batu atau seorang manusia. Karena kata-kata,
bahasa-bahasa kita diambil dari alam inderawi, kata-kata itu tidak cocok untuk
diterapkan pada realitas ilahi yang jelas non-inderawi. Kebanyakan filsuf
menarik kesimpulan bahwa bicara tentang Yang Ilahi tidak mungkin. Di
abad ke-19 muncul ateisme yang menjelaskan agama sebagai tahap dalam penemuan
diri manusia; alam di seberang alam dinyatakan mitos. Ludwig Feuerbach
menyatakan agama sebagai proyeksi manusia tentang dirinya sendiri daripadanya
ia terasing (bertuhan untuk mencari jati diri). Karl Marx melihat agama sebagai
pelarian dari dunia nyata yang tidak manusiawi, (agama adalah candu bagi
rakyat). Sigmund Freud, bapak psikoanalisa, menganggap agama sebagai ilusi
infantil dan neurosiskolektif daripadanya manusia harus membebaskan diri
apabila ia mau betul-betul menangani masalah-masalah yang dihadapinya. Tetapi
ada juga filsuf lainnya, seperti Emmanuel Levinas, yang dengan amat halus,
menunjukkan bahwa setiap kali seseorang bertemu dengan orang lain ia merasakan
realitas Yang Ilahi. Bertolak dari pertimbangan Kant, menunjukkan bahwa manusia
bahkan mempunyai pengalaman tentang Yang Ilahi, di dalam hati nuraninya, di
dalam makna eksistensi yang dialaminya.
Berbicara tentang agama, berarti
berbicara tentang pandangan teologis dan juga pandangan sosiologis. Dalam
setiap perjumpaan yang dialami tersebut agama menjadi lembaga yang
mengungkapkan kesadaran kolektif manusia menuju pada tujuan akhir dari hidup
manusia. Perjumpaan yang terjadi antara agama yang satu dengan agama yang lain
kemudian memberikan sebuah kekayaan yang senantiasa dihidupi dengan semangat
persaudaraan. Dalam perjumpaan itu, agama memberikan indikasi pada bertumbuh
kesadaran dalam diri manusia, bahwa ia tidak hanya hidup dalam lingkup homogen
saja, melainkan ada keragamaan yang dijumpai dalam kehidupan umat beragama itu.
Dalam setiap perjumpaan dan relasi tersebut, tanpa disadari bahwa kesadaran
akan adanya jiwa persaudaraan menjadi kesadaran hidup yang mengemuka dan
memberi indikasi pada terciptanya harmonisasi dalam kehidupan umat yang
majemuk.
Seperti halnya slogan “Torang
samua basudara” yang diusung oleh masyarakat Sulawesi Utara, menyiratkan
sebuah kultur hidup dari masyarakat yang memahami keberagamaan sebagai
kekayaan. Slogan ini, menjadi starting point, dalam mengkaji dan
mendalami keberagaman hidup yang nampak di Bumi Nyiur Melambai. Kerukunan hidup
yang terjalin di daerah ini, menjadikan hal ini sebagai kekayaan yang begitu
bernilai dalam menciptakan kehidupan harmonis. Seorang filsuf Cina; Lao Tzu,
menyebutkan bahwa mencintai adalah memasuki kehidupan manusia/ seseorang tanpa
ada usaha untuk menguasainya. Pemikiran bijak, sekiranya menjadi gaung
yang hendak menawarkan sebuah kehidupan yang harmonis, dimana cinta yang
dilandaskan kepekaan diri yang memandang orang lain sebagai saudara. Di sisi
lain, Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis, dalam pemikiran menyebutkan orang
yang mencinta adalah orang yang memiliki kepenuhan, sebab tidak mungkin harus
mencintai dengan kekosongan atau memberi tanpa totalitas. Lebih lanjut lagi
Marcel, mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa diharapkan dan tak akan pernah
mengkhianati.
Dari persaudaraan yang terjalin
ditengah perbedaan, Kasih-lah yang menjadi elemen yang merekatkan
perbedaan itu dan menjadi instrument dalam menembus batas batas
perbedaan tersebut. Kasih yang sedemikian inilah yang telah meruntuhkan tembok
tembok ekslusivisme dan kemudian membuka diri pada pemahaman akan adanya
keragaman sebagai sesuatu yang membebaskan. Hubungan yang terjalin ini tidak
hanya sebagai hubungan yang formalitas semata melainkan sebuah ajakan serta
seruan untuk bersama sama memperjuangkan kedamaian dan kerukunan ditengah
terkikisnya semangat dan nilai hidup, akibat lindasan arus global yang menerpah
harmoni kehidupan. Kasih yang menembus perbedaan ini, adalah sebuah pelangi
kasih yang senantiasa memayungi dinamika kemajemukan yang ada.
Payung kasih ini, kemudian
termanivestasi dalam pelbagai dialog yang diketengahkan yang menjadi sebuah
langkah bijak yang ditempuh untuk menangkal stigma stigma yang tidak baik.
Wadah atau forum itu, misalnya FMLA (forum mahasiswa lintas agama), yang
merupakan forum yang dibangun untuk menciptakan pilar pilar kehidupan yang
harmonis antara pemeluk agama yang ada di Sulawasi Utara. Pertemuan antar
mahasiswa misalnya: STF–SP, UKIT dan STAIN / IAIN, STAKN, dan STT Parakletos,
yang tercermin melalui pekan pertukaran mahasiswa adalah sebuah wajah kehidupan
masyarakat mejemuk yang saling membangun dialog dialog dan mitra yang sehat
dalam menumbuh kembangkan semangat persaudaraan. Slogan kasihlah yang melapisi
hubungan persaudaraan ini. Dialog itu terbangun dari sebuah agora
seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Yunani kuno dahulu yang membangun
diskusi yang kolektif dalam agora agora atau pasar yang ada dalam
masyarakat Yunani, yang kemudian melahirkan pemikiran yang bijak mengenai
kehidupan manusia yang harmonis. Seorang filsuf eksistensialis lainnya, Soren
Kiekegaard, menyebutkan melalui agama, Tuhan menyatakan cinta-Nya secara unik
dan istimewa. Adapun John D. Caputo, ahli filsafat agama dari Amerika serikat,
menyebutkan agama berarti cinta kasih Tuhan. Baginya arti sebuah cinta adalah
pemberian utuh, sebuah komitmen tanpa syarat. Cinta bukan soal tawar menawar,
melainkan suatu pemberian diri tanpa syarat. Cinta selalu menuntut yang lebih,
atau singkatnya soal cinta, Caputo menyebutkan bahwa ketidakmungkinan menjadi
wilayah yang paling mungkin bagi cinta. Dialog yang dikemukakan dalam FMLA ini
menjadi sebuah dialog yang berupaya membangun persaudaraan dan hendak melestarikan
slogan khas orang Manado Torang samua basudara. Dialog yang dilaksanakan
dengan stay home atau chance experience life, menjadi sebuah
instrument serta praksis hidup nyata yang dapat memberikan pencerahan akan
kekhasan dalam mengapai hidup bersama yang harmonis, tanpa ada stigma yang
arogan serta agresif. Dalam mengelola kemajemukan ini, Diana L. Beck, dalam
istilahnya menyebutkan sebagai: the energetic engagement with diversity,
yakni semangat untuk terlibat aktif dalam keberagaman, dan menuntut setiap
orang untuk berusaha membangun komunikasi dan dialog yang saling menumbuhkan
saling pengertian dan pemahaman. Sehingga, inilah yang disebut Diana L. Leck
sebagai the encounter of commitments, perjumpaan dalam komitmen.
Memahami eksistensi manusia
merupakan bukti kasih dari Yang Kuasa. Kasih itu melampaui batas cakrawala
nalar dan menembus batas harapan. Kasih mengisi dan mengajar pikiran kita,
bahwa hidup ini adalah melihat kasih-Nya dengan melihat Dia dalam sesama. Kasih
Tuhan bagaikan pintu gerbang menuju kesempurnaan hidup, dan kita menjadi
pribadi yang paripurna hanya dengan memasuki pintu kasih itu. Jadi mencintai
Tuhan adalah mencintai sesama dan mencintai sesama sama halnya dengan mencintai
Tuhan. Kasih menjadi instrument atau medium, perantara, jembatan yang dapat
merekat dan merapatkan barisan perbedaan dengan mengisi semua itu dengan
balutan kasih. Sehingga, dengan kasih yang sedemikian ini kita dapat
membangun horizon kehidupan manusia yang terbentuk dalam persamaan dan
kecenderungan pada meluruskan stigma dan kecenderungan yang tidak memberikan
kekayaan dalam hidup bersama. Kehidupan bersama sebagai makhluk sosial adalah
sebuah kenyataan yang tak dapat dielakan (sebuah keniscayaan). Perbedaan yang
dilandas dengan kasih kemudian mentahirkan pemikiran manusia yang peduli pada
kerukunan dan perdamaian secara kolektif dengan membingkai kehidupan ini
menjadi harmonis dengan Kasih/ Love for the Others. Inilah gagasan
take and give, yang membangun dialog aktif dan bukan hanya untuk mencari
dialog juga didalamnya kesediaan menerima dan mengakui perbedaan yang ada.
Karena itu, Marilah kita bergandengan tangan mewujudkan persaudaraan.
Penulis : Jufry Anthonius Dotulong, *ditulis pada Mei 2015, pada pekan pertukaran mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar