MAKNA PENDERITAAN DAN PERANAN
SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
(Sebuah
Refleksi Teologis hubungan penderitaan dengan Sakramen pengurapan orang sakit)
(J. A. D)
·
PENDAHULUAN
Ketika hendak berbicara
tentang penderitaan, kebanyakan orang merasa takut dan berupaya untuk menghindari
penderitaan tersebut. Penderitaan merupakan pencobaan yang terberat dalam
kehidupan manusia, karena penderitaan yang dialami itu tidak dapat dilepaskan
dari sakit penyakit, sehingga manusia
kemudian memahami bahwa penderitaan akan
bermuara pada kematian. Dari hal itu, manusia
kemudian secara kodrati memahami bahwa kematian adalah hal yang tak dapat
dielakan dari kehidupan manusia. Sehingga kondisi ini menimbulkan dalam diri
manusia adanya : ketakutan, sikap menutup diri, merasa putus asa, cemas dan bahkan ‘memberontak’ kepada Tuhan atas
penderitaan yang dialami.
1.
ARTI
DAN DIMENSI PENDERITAAN
Pertanyaan disini muncul,
mengapa Tuhan memberikan penderitaan kepada manusia? Pertanyaan ini
muncul dari kelompok yang tidak memahami akan kasih Allah kepada umat manusia,
yang hanya melihat penderitaan itu dalam dimensi akal budi semata, dan kemudian
mengesamping dimensi spiritualnya. Penderitaan, selalu menjadi isu perdebatan
sepanjang jaman, karena penderitaan merupakan fakta yang sangat dekat dengan
kehidupan manusia dan menyentuh semua orang tanpa batasan. Para filsuf dan
pemikir keagamaan terus bergumul untuk menjelaskan keberadaan penderitaan dalam
hidup manusia. Kitab Suci, sendiri menyinggung beberapa aspek dari penderitaan.
Salah satu yang paling terkenal adalah pergumulan dari Ayub.
Penderitaan (Suffering), sering kali diartikan dengan
berbagai makna. Orang Kristen memahami arti penderitaan itu sebagai sesuatu yang bukan untuk dihindari, namun untuk diterima dengan
bahagia. Sakit dan penderitaan dapat menghantar orang untuk merasa dekat dengan
Allah. Disamping itu, orang akan semakin mengenal akan kasih Allah yang besar seperti Yesus yang mau menerima salib karena
dengan salib ini, Yesus dibangkitkan dari kematian dan dibenarkan oleh Allah.[1]
Penderitaan dan penyakit yang diderita juga menjadikan manusia berpikir lebih
bijaksana, dan bersikap pasrah pada kehendak Tuhan dengan penuh iman, dan dari
sikap ini manusia kemudian dapat
menemukan hal yang lebih mendasar dalam hidupnya yakni memiliki iman dan
pengharapan didalam Tuhan. Sakit yang diderita itu, mengantar setiap manusia
yang menderita, untuk dapat mengambil bagian dalam karya keselamatan dalam
Kristus. Manusia adalah mahluk religius atau rohani, dan setiap usaha untuk
menghilangkan “the sense of God”
(cita rasa religius akan Allah) dari hati manusia justru membuat manusia gagal
memahami dirinya sendiri. Cita rasa religius yang berupa keterarahan manusia
kepada Allah itu terukir di dalam hati manusia. Allah rupanya telah menciptakan
manusia sedemikian rupa sehingga manusia itu sendiri tidak bisa dimengerti bila
keterarahannya kepada Allah diabaikan.[2]
Maka, manusia dalam penderitaannya senantiasa mengarahkan dirinya pada
penyelengaraan Ilahi.
1.1. Makna penderitaan dalam Pandangan Gereja
Katolik
Penderitaan dalam
Katekismus Gereja Katolik, didalamnya memiliki hubungan dengan iman. Dalam arti
ini penderitaan adalah disposisi batin dari yang menderita bahwa Yesus Kristus
menjadi teladan sejati yang rela menderita memanggul salib hingga Ia wafat di
salib yang adalah sungguh manusia yang
mengalami penderitaan, sehingga penderitaan menjadi aspek kodrati dari hidup
manusia.[3]
Penderitaan kemudian terjadi akibat dari
dosa manusia, penderitaan ini memiliki kaitannya dengan dosa manusia pertama
Adam dan Hawa.[4]
Ketika manusia diberikan kebebasan oleh Allah, namun kebebasan yang diberikan
Allah itu kemudian ditanggapi dengan jatuhnya manusia dalam kejahatan dan
penderitaan. Sehingga, manusia kemudian diusir Allah dari taman Eden, dan pada
saat itulah manusia kemudian mengalami susah payah dalam melahirkan anak dan
bersusah payah dalam mencari rejeki. (bdk.,
Kej. 3:16-20). Dari penderitaan yang dialami ini mendorong manusia untuk
bertobat, bahwa manusia kemudian menyadari akan keterbatasan dirinya, bahwa manusia
tak dapat hanya mengandalkan kekuatannya sendiri. Dan dari pengalaman
penderitaan yang dialami tersebut manusia kemudian menyadari tanpa mengandalkan
Tuhan, maka segalanya tampak akan menjadi sia sia (bdk., Pkh.1:12-18).
Gereja dalam
kehadirannya di dunia, selalu memberi perhatian pada penderitaan. Hal ini
berarti bahwa penderitaan Kristus adalah penderitaan yang menyelamatkan yang
secara terus menerus hadir dalam sejarah panjang manusia, sehingga Gereja
menghormati penderitaan didalam iman akan keselamatan.[5]
Dengan sakit yang dialami manusia kemudian lebih mendekatkan diri pada Tuhan
dan percaya bahwa penderitaan adalah bagaimana meletakan segala pengharapan hanya
pada Kristus yang telah menderita, Ia bagaikan anak domba yang digiring ke
tempat pembantaian dengan tidak membuka mulut- Nya ( bdk.,Yes 53:7). Penderitaan dan penyakit juga menjadi salah satu
ungkapan silih bagi sesama, dalam artian melalui sakit dan derita, manusia
kemudian bersikap respek terhadap sesama dengan mendoakan mereka untuk
bertobat. Dan dari hal itu, manusia kemudian mengarahkan dan mempersatukan
penderitaannya dengan penderitaan Kristus di kayu salib, sehingga dari
penderitaan inilah manusia memperoleh tanda keselamatan Allah melalui sakramen
pengurapan orang sakit.
2.
SAKRAMEN
PENGURAPAN ORANG SAKIT
2.1.
Dasar
Biblis sakramen pengurapan orang sakit
Dalam
penderitaan manusia kemudian bertanya tanya
mengapa ada sakit, dan penderitaan ? jawabannya adalah, bahwa Gereja
senantiasa memperhatikan penderitaan itu, maka sakramen hadir untuk menjadi
sarana pengharapan, kekuatan dan penyembuhan, dengan adanya sakramen pengurapan
orang sakit, akan menjadi sarana penyembuhan dan pengurapan bagi orang yang
sakit.
Sakramen pengurapan orang sakit atau sakramen
rekonsiliasi merupakan juga sakramen penyembuhan. Penulis surat Yakobus
menulis: “kalau ada seseorang diantara
kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat, supaya mereka
mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama Tuhan,
dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan akan
membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu akan
diampuni. Karena itu hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan,
supaya kamu sembuh. Doa orang yang benar, bila didoakan dengan yakin, sangat
besar kuasanya”(Yak. 5:14-15). Melalui surat Yakobus ini, Gereja berdoa agar rahmat
penyembuhan Kristus menyentuh seluruh pribadi tidak hanya penyembuhan fisik,
tetapi juga agar orang yang sakit mendapatkan pengampunan dan harapan.[6]
Sakramen pengurapan orang sakit dalam dunia perjanjian lama biasa sekali dan
dimaksudkan sebagai obat (lih,Yes.1:6;
Yer. 8:22; Luk 10:34), sehingga tidak mengherankan para rasul juga “mengoleskan
minyak pada banyak orang dan menyembuhkan mereka” (bdk, Mrk. 6:13). Ketika memperhatikan surat Yakobus, dengan jelas
kelihatan bahwa ada unsur doa didalamnya, malahan doa menjadi hal yang
fundamental bukan hanya pada ayat ayatnya saja, melainkan pada ayat ayat yang
mendahuluinya (lih, ay.13)[7].
2.2.
Praktek Pengurapan Orang sakit
Praktek sejarah pengurapan orang sakit ini, yang telah ada
sejak zaman perjanjian lama, para Rasul, komunitas jemaat perdana hingga zaman
Patristik telah dipraktekan akan tetapi
belum dipahami sebagai sakramen. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai macam doa
tentang pemberkatan minyak suci itu sendiri. Misalnya doa dalam Traditio Apostolica, Hipolitus dari Roma
(170-235). Praktek pengurapan orang sakit baru diterima sebagai sakramen pada
abad ke- XII, dimana Petrus Lombardus memasukan “pengurapan terakhir” kedalam
tujuh sakramennya. Baginya, Sakramen yang sesungguhnya adalah tujuh. Disebutkan
apa yang menjadi tanda dan rupa rahmat tak kelihatan, sehingga menjadi gambar,
dan itu sebabnya sakramen itu tidak hanya menandakan rahmat tetapi juga
menguduskan.[8] Akan
tetapi, Praktek pengurapan orang sakit ini sebelumnya sudah
dilihat sebagai sakramen yakni pada abad kelima, oleh Paus Innocentius I
(sebagai Paus tahun 402-417) dalam suratnya kepada uskup Decentius dari Gubbio
(DS 216). Ia, menyatakan bahwa Pengurapan orang sakit dengan minyak yang telah diberkati oleh Uskup adalah sakramen
yang ditujukan untuk menghapuskan dosa, dan meningkatkan
kekuatan jiwa dan badan.
2.3.
Penegasan Konsili Vatikan II tentang
sakramen pengurapan orang sakit
Dalam Konsili Vatikan II, dijelaskan maksud dari sakramen
orang sakit seperti yang ada dalam Dokumen Lumen Gentium 11, dikatakan bahwa : “melalui perminyakan suci dan doa para imam
seluruh Gereja menyerahkan orang yang sakit kepada Tuhan, yang bersengsara dan
telah dimuliakan, supaya Ia menyembuhkan dan menyelamatkan mereka untuk secara
bebas menggabungkan diri dengan sengsara dan wafat Kristus, dan dengan demikian
memberi sumbangan kesejateraan kepada umat Allah.[9]
Dan yang terpenting disini adalah
persatuan dengan Kristus dalam iman. Sehingga orang yang sakit itu akan
diselamatkan karena berkat imannya dan berkat iman Gereja. Dalam hal ini Gereja
menghendaki supaya sakramen pengurapan orang sakit tidak menjadi upacara lepas
melainkan sebagai bagian pastoral orang sakit.[10]
Maka, sakramen ini menjadi sakramen pengharapan, dimana yang sakit memperoleh
kekuatan ketika menghadapi maut.
Orang yang menderita atau yang sakit, perlu dilakukan
pendampingan, dengan memberikan pelayanan rohani, dan hal ini telah ada pada
zaman Bapa bapa Gereja yakni dengan memberikan pegangan iman yang kuat dalam
penderitaan yang dialami. Tujuan pendampingan ini, adalah agar mereka tetap
teguh mengimani kasih Allah dan berani menjadi saksi iman, serta mendapat
pengampunan dosa. Gereja terus memperhatikan hal ini, yang tradisi ini
berkembang hingga sekarang.[11]
Dalam arti ini, sakramen pengurapan orang sakit mendatangkan atau memberikan buah
buah bagi yang sakit, yakni : suatu anugerah khusus dari Roh Kudus yaitu iman
dan pengharapan, Persatuan dengan sengsara
Kristus,
inilah yang
disebut sebagai “redemptive suffering” atau sengsara yang menyelamatkan,
rahmat
gerejani, orang sakit yang
didoakan oleh Gereja (melalui imam) dalam
persekutuan orang kudus, dan Persiapan
untuk perjalanan terakhir, dan urapan ini membuat mereka semakin serupa
dengan Kristus sendiri[12].
Dengan melihat arti penting sakramen ini, kita dapat menyadari bahwa kehadiran Allah
dalam hidup ini. Kristus yang telah
menderita dan bangkit mulia telah menjadi sahabat bagi si sakit. Maka sakramen
ini sebaiknya diterimakan waktu si sakit masih dalam keadaan sadar, dan
mengubah paradigma berpikir umat yang memandang bahwa sakramen ini adalah
sakramen kematian. Sehingga sakramen ini sebaiknya diberikan oleh imam, saat si
sakit masih sadar dan dapat mengungkapkan perasaannya dan kalau memungkinkan si
sakit dapat mengaku dosa pada imam atau pastor[13].
Sehingga maksud pelayanan pastoral yang penting adalah hubungan yang sakit
dengan Allah, dengan melakukan pembebasan,
dan pembebasan ini bukan dalam arti psiko-somatis, melainkan pembebasan,
justru ditengah tengah penderitaan berat yang diterima oleh si sakit dengan
segala keterikatan dari padanya dan dapat menjadi satu realitas dalam
sikap-percayanya pada Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat[14].
3.
MAKNA
PENDERITAAN DAN PERANAN SAKRAMEN PENGURAPAN ORANG SAKIT
Sakramen pengurapan
orang sakit bukanlah sakramen bagi mereka yang ada di ambang kematian saja (bdk., SC 73), akan tetapi dewasa ini dipahami
sebagai sakramen bagi kesehatan dan penyembuhan. Sakit yang berkepanjangan,
usia lanjut, kesepian dan perasaan ditinggalkan bisa mempengaruhi kondisi
psikologis yang memudahkan orang untuk menerima kematian. Walaupun demikian,
kenyataannya tetap tinggal, bahwa kematian menyebabkan kegelisahan dalam hati
manusia. Penderitaan psikis maupun fisik yang berat membuat orang tidak tahan
dan ingin menghilangkannya. Ajaran kristen, mengatakan penderitaan punya makna
sebagai sarana kesatuan dengan penderitaan Kristus. Bila ada pasien yang
menolak obat penghilang rasa sakit dan dengan sengaja ingin mengalami
penderitaannya sebagai sarana mengambil bagian dalam penderitaan Kristus, maka
sikap itu bisa diterima. (bdk.,Mat
27:34).
Adanya sakramen ini, patut
disyukuri karena Yesus mau menjamah dan menyembuhkan serta menguduskan yang
sakit bukan hanya kesembuhan jasmaniah tetapi juga kesembuhan rohani, yakni
dengan pertobatan.
Sakramen ini memiliki peran yang begitu penting dalam perjalanan hidup Gereja dimana
Gereja, selalu bertemu dan berjumpa dengan berbagai orang yang menderita.
Penderitaan yang dialami oleh umat beriman selalu menjadi tanggung jawab dan
pelayanan dari Gereja. Karena Gereja hadir untuk mereka yang menderita serta
membawa semua yang menderita masuk dalam persekutuan dan kebahagiaan Allah.
Semua penderitaan yang ada selalu dipersatukan dengan penderitaan Kristus. Yesus,
menyembuhkan banyak orang yang menderita bermacam macam penyakit dan mengusir
banyak setan (bdk., Mrk.1:34). Ia
menyembuhkan banyak orang, sehingga semua penderita penyakit berdesak desak
datang kepada-Nya menjamah Dia (bdk.,Mrk
3:10). Mujizat Yesus selalu berhubungan dengan pewartaan-Nya, dan karenanya itu
hal tersebut diarahkan pada iman.[15]
Cerita
tentang penderitaan Yesus menyajikan “pengalaman telanjang” dari seorang
manusia tentang penderitaan. Kisah sengsara Yesus dari taman Getsemani sampai
wafat Nya di Kalvari tidak sama sekali menceritakan sesuatu yang baik tentang
penderitaan. Yesus justru ditampilkan sebagai hamba Yahwe yang menderita
seperti yang dilukiskan oleh Nabi Yesaya (Yes
52:14; 53:2b-3). Itulah pesan kitab suci bagi manusia dalam menghadapi
penderitaan. Dan dari situlah diharapkan muncul suatu pengharapan yang tetap
untuk mampu bertahan.[16]
3.1. Refleksi atas makna penderitaan dan
peranan sakramen Pengurapan orang sakit
Pengalaman
akan ketidak berdayaan yang dirasakan telah mengajarkan manusia untuk mengalami serta merasakan kasih Allah
secara nyata. Bantuan dari orang lain menjadi kelanjutan akan kasih Allah yang
sangat diharapkan oleh si sakit karena ia tidak lagi dapat berbuat apa apa,
sehingga ia membutuhkan penebusan dan pembebasan. Dalam hal ini, Yesus
hendaknya menjadi contoh bagi kita dalam mengalami penderitaan atau pergulatan
maut. Yesus telah menyerahkan segala galanya kepada Bapa-Nya, dan Allah Bapa
yang maharahim telah melimpahkan kasihNya dan membangkitkanNya dari alam maut.
Sehingga kematian dan kebangkitan
Kristus menjadi karya keselamatan Allah. Penulis sendiri, memahami makna
penderitaan adalah bagian merupakan bagian dari mengimani Yesus sebagai Allah
yang rela menderita disalib, dan juga Bunda Maria mengalami derita dimana Bunda
Maria menderita bukan hanya karena melihat Putera-Nya wafat di salib, tetapi
saat akan melahirkan dan mencarikan tempat penginapan dengan tiada tempat
penginapan yang didapati. Sehingga makna penderitaan, adalah bagaimana manusia memandang Salib Yesus, bahwa
dalam salib tersebut ada pembebasan sejati, sehingga penderitaan adalah sebuah
keagungan salib Kristus yang didalam salib itu ada kedamaian, pengampunan dan
kebahagiaan sejati bersama Yesus Kristus yang adalah teladan dan sahabat manusia
didalam penderitaan.
·
PENUTUP
Penderitaan bukanlah sesuatu yang tanpa pengharapan, namun
kehadiran sakramen pengurapan ini, telah menjadi sarana dalam manusia melihat
kasih Allah dalam iman, harapan, dan kasih. Sehingga penderitaan bukanlah
menjadi kematian yang definitif tanpa pengharapan, akan tetapi penderitaan
dalam Kristus menghantar kita semakin dekat dengan-Nya. Penderitaan bukanlah sesuatu yang memisahkan dengan cinta
Allah tetapi yang mendekatkan, dan menyelamatkan hidup manusia, sehingga pada
akhirnya manusia akan dapat memandang kemuliaan Allah. Gereja sebagai penyalur
rahmat Allah senantiasa menaruh perhatian bagi yang sakit dan menderita. Gereja senantiasa mendoakan mereka yang sakit
dan menderita untuk secara bebas menggabungkan dirinya dengan sengsara dan
kebangkitan Kristus (bdk, Rom 8:17;
Kol. 1:24; 2 Tim 2:11-12 & 1 Pet.4:13). Dalam keadaan apapun kita, diundang
untuk senantiasa mendekatkan diri dengan Tuhan, dan mempercayakan hidup dengan
penuh pengharapan, kepada Allah,
bahwa Penderitaan sebagai karya keselamatan. Tuhan Yesus Setia (bdk, 2 Tes. 3:3), Ia senantiasa
mencintai manusia, tak perlu menggugat Tuhan dalam penderitaan. Penderitaan dan
sakit adalah esensi manusia, tetapi iman adalah karunia untuk memahami Yesus
Kristus sebagai sahabat yang sejati dan Allah yang penuh kasih (Deus Caritas
Est).
DAFTAR
PUSTAKA
·
Katekismus Gereja Katolik, Ende :
Percetakan Arnoldus, 1995.
·
Harjawiryana, R. (terj),
Dokumen Konsili Vatikan II, Cet : ke-
9, Jakarta : Obor, 2009.
·
Konferensi Waligereja Indonesia, IMAN KATOLIK : Buku Informasi dan Referensi, Yogyakarta & Jakarta : Kanisius & Obor, 1996.
·
Sujoko,
Albertus., Identitas Yesus & Misteri Manusia: ulasan tema tema teologi Moral
fundamental. Yogyakarta : Kanisius, 2009.
·
Groenen, C., Sakramentologi, : Ciri Sakramental karya penyelamatan Allah, sejarah,
wujud, struktur. Yogyakarta : Kanisius, 1990
·
Abineno, J.L. Ch. Pelayanan Pastoral kepada orang
orang sakit, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
·
Rausch, Thomas P., Katolisisme, Yogyakarta : Kanisius, 2001
·
Eka Yuantoro, F. A., Euthanasia, Jakarta : Obor , 2005
·
Jacobs, Tom., Sakramen
pengurapan orang sakit, Yogyakarta : Kanisius, 1987
·
Pope Jhon Paul II, dalam Surat Apostolik
, Salfivici Doloris ( On the Christian
meaning of human Suffering),
[1] Bdk., F. A. Eka Yuantoro, MSF, Euthanasia,
( Jakarta : Obor, 2005) hlm. 76
[2]
Albertus Sujoko, MSC, Identitas Yesus & Misteri Manusia:
ulasan tema tema teologi Moral fundamental, (Yogyakarta : Kanisius, 2009)
hlm. 174 - 175
[3] Bdk.KGK. 520.
[4] Bdk., KGK 403.
[5] Bdk. Pope Jhon Paul II, dalam Surat Apostolik Salfivici
Doloris ( On the Christian meaning of human Suffering), hlm. 19
[6] Bdk.,Thomas P. Rausch, Katolisisme,
( Yogyakarta: Kanisius , 2001) hlm. 226
[7] Bdk, Konferensi Waligereja
Indonesia, Iman Katolik : Buku Informasi dan Referensi, ( Yogyakarta & Jakarta : Kanisius
& Obor, 1996), hlm. 414
[8] Bdk, C. Groenen, Sakramentologi, Ciri Sakramental karya
penyelamatan Allah, sejarah, wujud, struktur. (Yogyakarta : Kanisius, 1990),
hlm.67
[9] Bdk Konsili
Vatikan II, Lumen Gentium, dalam Dokumen Konsili
Vatikan II, Terjemahan R. Harjawiryana, Cet. Ke. 9 ( Obor : Jakarta, 2009) hlm. 84.
[12] Bdk., Katekismus Gereja Katolik, dalam Artikel 5: Urapan orang sakit, ( Ende : Percetakan Arnoldus ,
1995), hlm. 411-412
[13] Bdk., KGK. 1516, hlm. 410
[14] Bdk., Dr. J.L. Ch. Abineno, Pelayanan
Pastoral kepada orang orang sakit, (
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 9.
[15] Bdk., Tom Jacobs, Sakramen
pengurapan orang sakit , ( Yogyakarta : Kanisius, 1987), hlm. 108.
[16] Bdk., Albertus Sujoko, MSC, Identitas
Yesus & Misteri Manusia, hlm.380-
381