Senin, 18 Mei 2020

Kasih instrumen yang menembus batas perbedaan


Artikel - Opini
‘KASIH’ INSTRUMEN YANG MENEMBUS PERBEDAAN
(sebuah refleksi filosofis hubungan antara umat beragama)

Realita sosial menunjukan bahwa negara Indonesia bersifat plural. Dalam agama  memiliki ruang bebas yang memungkinkan terjadinya interaksi dinamis bagi pemeluknya dalam membangun relasi kemanusiaan. Dialog dan kerjasama adalah dua hal yang bertalian satu sama lain. Mengingkari keberagaman, sama halnya dengan mengingkari ketentuan Tuhan yang menciptakan manusia yang berbeda beda dan unik. Mewujudkan kerukunan adalah langkah bijak dalam mengawal jalan kehidupan dalam kebebasan beragama. Sehingga, Bhineka Tunggal Ika, menjadi sebuah platform bagi kehidupan manusia Indonesia yang bijaksana dan solider.

Perbedaan seringkali menjadi sebuah sekat yang memisahkan hubungan antara individu, atau antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain. Perbedaan sering menjadi tembok yang menghalangi relasi dalam membangun semangat persaudaraan. Manusia adalah manusia yang bebas, karenanya manusia kemudian dapat merencanakan masa depannya, yang disadari berunsur kemarin, hari ini dan esok. Dalam kebebasan itu manusia kemudian berhadapan dengan pelbagai pengalaman pengalaman yang selalu didefinisikan sebagai pencarian akan makna hidup yang mendasar. Dalam pencarian tersebut, agama kemudian dilihat sebagai institusi manusiawi  dan yang dipahami secara teologis maupun sosiologis. Secara teologis agama sebagai sebuah institusi yang harus dipahami dalam kaitannya dengan wahyu Allah yang menjadi pendasaran keberadaanya (raison d’etre).  
Mengakui perbedaan-perbedaan berarti menuntut untuk berlaku, toleran. Istilah “toleransi” berasal dari bahasa Latin tolerare, yang berarti membiarkan mereka yang berpikiran lain atau berpandangan lain tanpa dihalang-halangi. Dalam kaitan dengan relasi umat beragama di Indonesia, pemahaman toleransi lebih cenderung memakai istilah “kerukunan”. Istilah kerukunan lebih dinamis, kreatif, dan positif. Dalam pemakaian istilah kerukunan adalah upaya menemukan watak otentik bangsa Indonesia yang memang dari dahulu- nya sudah senang berinteraksi dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan agama yang dianut. Tidak dapat disangkal bahwa pluralisme adalah kenyataan. Istilah pluralisme berasal dari akar kata Latin, plus, pluris, yang secara harfiah berarti: lebih dari satu. Dalam pengertian filosofisnya, pluralisme adalah paham atau ajaran yang mengacu pada adanya kenyataan yang lebih dari satu (individu). Secara mendasar dicegah adanya pemutlakan, baik dalam pemikiran maupun dalam sikap. Harus juga disadari bahwa tidak mungkin kenyataan yang kaya itu direduksi (dipermiskin/ dipersempit) hanya menjadi satu-satunya kenyataan. Setiap individu misalnya mempunyai keunikan, juga dalam cara berpikir, berpersepsi, dan bertindak sehingga memutlakkan hanya kepada satu cara berpikir, berpersepsi dan bertindak saja adalah suatu pengambilan/ perampasan terhadap (hak-hak) individu yang bersangkutan.

Franz Magnis Suseno SJ, melihat agama dalam persepktif filsafat. Ia memulainya dari Immanuel Kant, dimana lebih dari dua abad memperlihatkan – dan sejak itu (hampir) seluruh filsafat mengikutinya–bahwa tentang Yang Ilahi tidak bisa bicara seperti tentang salah satu benda, sebuah batu atau seorang manusia. Karena kata-kata, bahasa-bahasa kita diambil dari alam inderawi, kata-kata itu tidak cocok untuk diterapkan pada realitas ilahi yang jelas non-inderawi. Kebanyakan filsuf menarik kesimpulan bahwa bicara tentang Yang Ilahi tidak mungkin. Di abad ke-19 muncul ateisme yang menjelaskan agama sebagai tahap dalam penemuan diri manusia; alam di seberang alam dinyatakan mitos. Ludwig Feuerbach menyatakan agama sebagai proyeksi manusia tentang dirinya sendiri daripadanya ia terasing (bertuhan untuk mencari jati diri). Karl Marx melihat agama sebagai pelarian dari dunia nyata yang tidak manusiawi, (agama adalah candu bagi rakyat). Sigmund Freud, bapak psikoanalisa, menganggap agama sebagai ilusi infantil dan neurosiskolektif daripadanya manusia harus membebaskan diri apabila ia mau betul-betul menangani masalah-masalah yang dihadapinya. Tetapi ada juga filsuf lainnya, seperti Emmanuel Levinas, yang dengan amat halus, menunjukkan bahwa setiap kali seseorang bertemu dengan orang lain ia merasakan realitas Yang Ilahi. Bertolak dari pertimbangan Kant, menunjukkan bahwa manusia bahkan mempunyai pengalaman tentang Yang Ilahi, di dalam hati nuraninya, di dalam makna eksistensi yang dialaminya.
Berbicara tentang agama, berarti berbicara tentang pandangan teologis dan juga pandangan sosiologis. Dalam setiap perjumpaan yang dialami tersebut agama menjadi lembaga yang mengungkapkan kesadaran kolektif manusia menuju pada tujuan akhir dari hidup manusia. Perjumpaan yang terjadi antara agama yang satu dengan agama yang lain kemudian memberikan sebuah kekayaan yang senantiasa dihidupi dengan semangat persaudaraan. Dalam perjumpaan itu, agama memberikan indikasi pada bertumbuh kesadaran dalam diri manusia, bahwa ia tidak hanya hidup dalam lingkup homogen saja, melainkan ada keragamaan yang dijumpai dalam kehidupan umat beragama itu. Dalam setiap perjumpaan dan relasi tersebut, tanpa disadari bahwa kesadaran akan adanya jiwa persaudaraan menjadi kesadaran hidup yang mengemuka dan memberi indikasi pada terciptanya harmonisasi dalam kehidupan umat yang majemuk.

Seperti halnya slogan “Torang samua basudara” yang diusung oleh masyarakat Sulawesi Utara, menyiratkan sebuah kultur hidup dari masyarakat yang memahami keberagamaan sebagai kekayaan. Slogan ini, menjadi starting point, dalam mengkaji dan mendalami keberagaman hidup yang nampak di Bumi Nyiur Melambai. Kerukunan hidup yang terjalin di daerah ini, menjadikan hal ini sebagai kekayaan yang begitu bernilai dalam menciptakan kehidupan harmonis. Seorang filsuf Cina; Lao Tzu, menyebutkan bahwa mencintai adalah memasuki kehidupan manusia/ seseorang tanpa ada usaha untuk menguasainya. Pemikiran bijak, sekiranya  menjadi gaung yang hendak menawarkan sebuah kehidupan yang harmonis, dimana cinta yang dilandaskan kepekaan diri yang memandang orang lain sebagai saudara. Di sisi lain, Gabriel Marcel, filsuf eksistensialis, dalam pemikiran menyebutkan orang yang mencinta adalah orang yang memiliki kepenuhan, sebab tidak mungkin harus mencintai dengan kekosongan atau memberi tanpa totalitas. Lebih lanjut lagi Marcel, mengatakan bahwa hanya Tuhan yang bisa diharapkan dan tak akan pernah mengkhianati.

Dari persaudaraan yang terjalin ditengah perbedaan, Kasih-lah yang menjadi elemen yang merekatkan  perbedaan itu dan menjadi instrument  dalam menembus batas batas perbedaan tersebut. Kasih yang sedemikian inilah yang telah meruntuhkan tembok tembok ekslusivisme dan kemudian membuka diri pada pemahaman akan adanya keragaman sebagai sesuatu yang membebaskan. Hubungan yang terjalin ini tidak hanya sebagai hubungan yang formalitas semata melainkan sebuah ajakan serta seruan untuk bersama sama memperjuangkan kedamaian dan kerukunan ditengah terkikisnya semangat dan nilai hidup, akibat lindasan arus global yang menerpah harmoni kehidupan. Kasih yang menembus perbedaan ini, adalah sebuah pelangi kasih yang senantiasa memayungi dinamika kemajemukan yang ada.
Payung kasih ini, kemudian termanivestasi dalam pelbagai dialog yang diketengahkan yang menjadi sebuah langkah bijak yang ditempuh untuk menangkal stigma stigma yang tidak baik. Wadah atau forum itu, misalnya FMLA (forum mahasiswa lintas agama), yang merupakan forum yang dibangun untuk menciptakan pilar pilar kehidupan yang harmonis antara pemeluk agama yang ada di Sulawasi Utara. Pertemuan antar mahasiswa misalnya: STF–SP, UKIT dan STAIN / IAIN, STAKN, dan STT Parakletos, yang tercermin melalui pekan pertukaran mahasiswa adalah sebuah wajah kehidupan masyarakat mejemuk yang saling membangun dialog dialog dan mitra yang sehat dalam menumbuh kembangkan semangat persaudaraan. Slogan kasihlah yang melapisi hubungan persaudaraan ini. Dialog itu terbangun dari sebuah agora seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat Yunani kuno dahulu yang membangun diskusi yang kolektif dalam agora agora atau pasar yang ada dalam masyarakat Yunani, yang kemudian melahirkan pemikiran yang bijak mengenai kehidupan manusia yang harmonis. Seorang filsuf eksistensialis lainnya, Soren Kiekegaard, menyebutkan melalui agama, Tuhan menyatakan cinta-Nya secara unik dan istimewa. Adapun John D. Caputo, ahli filsafat agama dari Amerika serikat, menyebutkan agama berarti cinta kasih Tuhan. Baginya arti sebuah cinta adalah pemberian utuh, sebuah komitmen tanpa syarat. Cinta bukan soal tawar menawar, melainkan suatu pemberian diri tanpa syarat. Cinta selalu menuntut yang lebih, atau singkatnya soal cinta, Caputo menyebutkan bahwa ketidakmungkinan menjadi wilayah yang paling mungkin bagi cinta. Dialog yang dikemukakan dalam FMLA ini menjadi sebuah dialog yang berupaya membangun persaudaraan dan hendak melestarikan slogan khas orang Manado Torang samua basudara. Dialog yang dilaksanakan dengan stay home atau chance experience life, menjadi sebuah instrument serta praksis hidup nyata yang dapat memberikan pencerahan akan kekhasan dalam mengapai hidup bersama yang harmonis, tanpa ada stigma yang arogan serta agresif. Dalam mengelola kemajemukan ini, Diana L. Beck, dalam istilahnya menyebutkan sebagai: the energetic engagement with diversity, yakni semangat untuk terlibat aktif dalam keberagaman, dan menuntut setiap orang untuk berusaha membangun komunikasi dan dialog yang saling menumbuhkan saling pengertian dan pemahaman. Sehingga, inilah yang disebut Diana L. Leck sebagai the encounter of commitments, perjumpaan dalam komitmen.

Memahami eksistensi manusia merupakan bukti kasih dari Yang Kuasa. Kasih itu melampaui batas cakrawala nalar dan menembus batas harapan. Kasih mengisi dan mengajar pikiran kita, bahwa hidup ini adalah melihat kasih-Nya dengan melihat Dia dalam sesama. Kasih Tuhan bagaikan pintu gerbang menuju kesempurnaan hidup, dan kita menjadi pribadi yang paripurna hanya dengan memasuki pintu kasih itu. Jadi mencintai Tuhan adalah mencintai sesama dan mencintai sesama sama halnya dengan mencintai Tuhan. Kasih menjadi instrument atau medium, perantara, jembatan yang dapat merekat dan merapatkan barisan perbedaan dengan mengisi semua itu dengan balutan kasih. Sehingga, dengan kasih yang  sedemikian ini kita dapat membangun horizon kehidupan manusia yang terbentuk dalam persamaan dan kecenderungan pada meluruskan stigma dan kecenderungan yang tidak memberikan kekayaan dalam hidup bersama. Kehidupan bersama sebagai makhluk sosial adalah sebuah kenyataan yang tak dapat dielakan (sebuah keniscayaan). Perbedaan yang dilandas dengan kasih kemudian mentahirkan pemikiran manusia yang peduli pada kerukunan dan perdamaian secara kolektif dengan membingkai kehidupan ini menjadi harmonis dengan Kasih/ Love for the Others. Inilah gagasan take and give, yang membangun dialog aktif dan bukan hanya untuk mencari dialog juga didalamnya kesediaan menerima dan mengakui perbedaan yang ada. Karena itu, Marilah kita bergandengan tangan mewujudkan persaudaraan.
Penulis  : Jufry Anthonius Dotulong,
*ditulis pada Mei 2015, pada pekan pertukaran mahasiswa.



Selasa, 20 Februari 2018

Yesus dan Kerajaan-Nya


YESUS DAN KERAJAANNYA

(Yesus Sang Pemimpin)

Pendahuluan

Pada bagian awal dalam paper ini saya mengutip pernyataan dari Albert Nolan dalam pengantar buku Jesus Before Christianity yang menyatakan demikian, titik tolak kita bukanlah iman akan Yesus. Akan tetapi, saya harap itu akan menjadi kesimpulan kita.[1] Dalam konteks ini Nolan mengiring para pembaca termasuk kita untuk menyelami Yesus dalam karya hidup-Nya secara utuh sebagaimana adanya. Kemudian kita dituntun untuk mengkaji dan mengkonversikan kehidupan Yesus pada waktu itu dengan dinamika kehidupan sekarang ini.
Ketika menyelami dan membaca gagasan yang dikemukakan oleh Nolan, kita dihantar untuk mengalami sisi personal dengan Allah. Pengalaman yang personal dengan Allah itu kemudian membuka cakrawala kita tentang Yesus yang kita imani. Pengalaman bersama dengan Yesus itu serentak menuntun kita untuk sedikit demi sedikit mulai menyentuh atau mengalami hidup dengan Yesus dalam realita hidup kita. Sebagaimana yang diungkapkan dalam pengantar bahwa penelusuran mengenai iman Yesus pertama-tama tidaklah menjadi titik tolak, namun dalam dari titik awal itu akan memberi pijakan bagi kita kemudian menemukan pengalaman iman tentang Yesus. Dalam pengalaman yang demikian kita kemudian dipertemukan dengan situasi dari rupa-rupa pengalaman yang terjadi sekarang ini. Situasi itu kemudian menjadi bingkai atau juga menjadi pintu masuk dalam menyelami pengalaman bersama Yesus. Pengalaman itu kemudian tertuang dalam suatu situasi yakni Yesus dalam pengalaman saya atau Yesus dalam pengalaman kita. Dengan demikian pengalaman dengan Yesus menuntun kita untuk mulai mengambil dalam potongan-potongan kecil dari pengalaman yang besar bersama Yesus. Untuk menemukan pengalaman dengan Yesus itu, pada bagian selanjutnya diberikan paparan mengenai usaha untuk mengenal Yesus secara utuh.
1.                  YESUS DAN ‘KERAJAANNYA’
1.1.            Kerajaan Allah (The “Kingdom” of  God)
Pemahaman mengenai kata atau frase Kerajaan Allah, dapat diidentikan dengan keadaan sukacita atau kebahagiaan. Pemahaman Kerajaan Allah dan konteks disini tidak seperti kerajaan yang didefinisikan dengan kekuasaan atau otoritas. Akan tetapi Kerajaan Allah dapat disebutkan sebagai kerajaan yang berdasar pada semangat cinta kasih Kristus. Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga digunakan oleh orang Yahudi untuk menghindari penyebutan nama Allah. Sehingga surga diartikan juga dengan Allah.[2] Pemahaman mengenai frase Kerajaan Allah ditempatkan pada Yesus yang hidup dan mewartakan karya keselamatan. Dalam kitab Yesaya dengan sangat jelas diungkapkan Yesus yang menjelaskan karya-Nya untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang miskin dan tertindas. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan Yesus dalam Luk 4:16-21; 7:22 dan Mat 10:7-8.[3] Ungkapan ini merujuk dari ungkapan penginjilan. Yesus secara garis besar hendak memaklumkan pembebasan bagi mereka yang mengalami situasi miskin dan tertindas. Kemiskinan dan penindasan menjadi rujukan akan sebuah ketakberdayaan mereka yang tuli, buta, lumpuh, miskin, remuk redam, terpenjara atau yang berdukacita.[4] Mengimani Yesus adalah sebagai juruselamat berarti menerima Yesus yang seutuhnya. Hal itu tidak hanya mengenai kemuliaan-Nya di sisi Allah, melainkan seluruh keprihatinan-Nya yakni Kerajaan Allah beserta praksis memperjuangkan-Nya.[5]
Tindakan Yesus yang mewartakan pembebasan adalah sebuah tindakan penyelamatan yang diliputi sukacita. Kabar sukacita itu menjadi kabar pembebasan. Nubuatan Yesus yang paling mengema sebagai kabar gembira adalah pemakluman akan Kerajaan Allah yang merangkul dan mengikut sertakan mereka yang miskin dan tertindas dalam sukacita iman, Yesus menegaskan Kamulah yang empunya Kerajaan Allah (Luk. 6:20). Hal ini dengan jelas mengungkapkan bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan belas kasih. Yesus membangun sebuah paradigma baru dengan mewujudkan Kerajaan Allah sebagai suatu tujuan masa depan (eskatologi). Tujuan itu tidak lagi mengalami kemiskinan dan penindasan melainkan Kerajaan Allah menjadi rumah yang indah (home). Mengenai Kerajaan Allah itu Yesus memberikan sebuah penegasan sebagaimana dalam kitab suci dituliskan bahwa Kerajaanku bukan dari dunia ini.[6] Hal ini menjadi jelas bahwa bangunan Kerajaan Allah bagi Yesus tidak memiliki tingkatan politis. Sebagaimana kerajaan yang ada di dunia letaknya terdapat dalam kekuasaan dan sisi politis yang begitu dominan. Karena itu, Yesus mengatakan bahwa Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini. Dalam pemahaman ini meskipun Kerajaan Allah tinggal didunia, akan tetapi semangat atau pola hidup tidak menjadi sikap hidup dari Kerajaan Allah. Secara kongkrit yang dimaksudkan oleh Yesus ‘bukan dari dunia ini’, adalah segala pengalaman kejahatan yang ada dalam kehidupan ini tidak menawarkan nilai-nilai kebaikan bagi umat yang percaya. Sehingga tatanan kerajaan Allah dari kepemimpinan Yesus adalah sebuah kepemimpinan yang membebaskan. Dalam arti ini adalah pembebasan dari segala tipu daya setan dan juga membebaskan orang lain dari belenggu dosa yang menyerang umat manusia.
1.2.            Kerajaan Allah dan uang
Yesus menyebutkan dengan pernyataan yang paling keras dalam Injil mengenai uang dan kepemilikan. Dengan jelas Yesus menyatakan bahwa bukanlah kerajaan sudah dekat, akan tetapi kerajaan itu akan merupakan kerajaan orang-orang miskin dan bahwa orang kaya, sejauh mereka tinggal dalam keadaan mereka yang demikian maka mereka tidak akan mendapat bagian di dalamnya. Yesus mengatakan bahwa akan lebih muda seekor unta masuk ke dalam lubang jarum daripada seorang kaya.[7] Perumpamaan yang Yesus tunjukan sungguhlah sangat keras. Pernyataan itu lebih banyak mengarah kepada orang kaya. Namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang hidupnya tidak kaya namun berlaku seperti orang kaya. Dalam hal ini pula Yesus tidak sama sekali memberikan pembedaan untuk melawan pemerintah. Bahkan ia menjunjung tinggi kekuasaan kerajaan Romawi dengan berkata: berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar (bdk. Mat. 22:21). Dengan demikian Yesus membangun sebuah visi pembaharuan yang lebih fundamental. Ia melihat salah satu sebab yang menjadi akar kekacauan sosial terletak pada bagaimana membiarkan uang menguasai hubungan-hubungan.[8] Hubungan yang dimaksudkan itu adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya. Namun disini orang miskin memiliki keuntungan awal sebagaimana yang dikatakan Yesus dalam Sabda Bahagia: berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah empunya Kerajaan Allah. ( Luk.6:20)
Namun apa yang sampaikan kepada orang kaya akankah menjadi demikian? Bagi Yesus keselamatan itu adalah milik semua orang. Seperti pertanyaan banyak orang kepada-Nya. Jika demikian, siapakah dapat diselamatkan? Yesus menjawab: bagi manusia hal itu tak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah (Mrk. 10:26-27). Situasi yang demikian hanya dapat adalah percaya pada mukjizat. Mukjizat untuk meninggalkan semua kekayaan sehingga ia dapat masuk ke dalam kerajaan sebagai orang miskin. Konsekuensi dari mengarahkan hati kepada Kerajaan Allah dan menundukan diri kepada nilai-nilai kerajaan itu menuntut agar orang menjual segala miliknya (lih, Mat. 6:19-21; Luk. 12:33-34; 14:33). Yang dituntut oleh Yesus adalah lebih dari sekedar derma. Ia menghendaki pembagian seluruh milik secara menyeluruh, agar orang tidak lagi terbelenggu oleh uang dan milik.[9] Sikap Yesus ini mendorong setiap orang untuk dapat mengelolah dirinya serta ketergantungannya, sehingga Yesus sama sekali tidak memberikan pembedaan antara miskin dan kaya. Yesus dengan karya belas kasih-Nya hidup dengan keutamaan hidup yang didasari pada belas kasih. Mengejar keutamaan itu dapat dicapai dengan mengambil sikap lepas bebas atau sebagaimana Ia yang mengambil jalan pasti kearah Kalvari. Yesus mempertimbangkan dengan serius mengenai uang dan bagaimana kekayaan yang dimiliki itu tidak menjadi penghalang untuk memuji Allah.

1.3.            Kerajaan Allah dan wibawa
Dalam konteks masyarakat tempat Yesus hidup yang paling dominan adalah wibawa atau gengsi. Setelah gengsi uang menempati urutan kedua. Kedudukan dan gengsi didasarkan pada keturunan, kekayaan, kekuasaan, pendidikan dan keutamaan. Kedudukan menjadi bagian dari agama sama halnya dalam kehidupan sosial. Orang-orang Yahudi dari kalangan paling keras dan fanatik, anggota jemaat Qumran, mengandalkan status dan kedudukan mereka dalam komunitas mereka. Yesus dalam hal ini, melawan semuanya itu. Ia memandang hal itu sebagai kejahatan yang paling dasar dalam kehidupan manusia. Bahkan Yesus memberi kecaman terhadap ahli-ahli kitab dan orang-orang farisi dengan kelakuan mereka. Yesus berkata: celakalah kamu jika dunia memuji kamu…. (Luk. 6:26). Yesus kemudian mengungkapkan hal itu karena wibawa yang terlalu diagungkan oleh mereka. Ia mengecam tindakan kemunafikan yang mereka lakukan bukan pada kesalehan. Bagi Yesus tindakan supaya dilihat orang tidaklah benar (Mat. 6:1-6.16-18). Tindakan yang demikian bagi Yesus adalah tindakan yang lebih mendasarkan gengsi semata.[10]
Tindakan yang hanya mengejar gengsi dan kebesaran diri, adalah tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Hal ini tentu sangat kontradiksi dengan apa yang dikatakan Yesus tentang sikap rendah hati. Dalam injil Matius, Yesus menempatkan anak kecil sebagai model hidup yang sesuai dengan citra kekristenan. Sehingga ‘anak kecil’ dalam perumpamaan hidup kristiani adalah simbol dari kerendahan hati, tidak mengejar gengsi atau status tertentu. Anak kecil ditempatkan dalam kedudukan sebagai yang ‘empunya Kerajaan Allah’. Dengan demikian anak kecil menjadi gambaran akan Kerajaan Allah yang terdapat dalam kedudukan masyarakat kelas bawah yang didalamnya terdapat orang-orang miskin, tertindas, pengemis, pelacur dan pemungut cukai, yang oleh Yesus disebut sebagai orang-orang kecil atau orang yang terkecil.[11] Dalam hal ini bagi Yesus kedudukan, wibawa atau gengsi tidak mendapat tempat dalam lingkungan ‘orang kecil’. Kasih Yesus bagi orang miskin tidak serta merta mengingkari keberadaan orang kaya atau berkedudukan. Hal yang hendak dicapai oleh Yesus adalah semangat untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Yesus memberi sebuah penegasan bahwa kasih menjadi sarana untuk menimbun strata atau tingkatan yang akan memisahkan manusia yang diciptakan sama dan semestinya diperlakukan secara sama. Hal ini diangkatlah nilai-nilai kemanusiaan dan meruntuhkan tembok yang menghalangi semangat untuk mengasihi.

1.4.            Kerajaan Allah dan solidaritas
Solidaritas adalah salah satu konsep yang fundamental dalam Kitab suci dan seringkali dihubungkan dengan pemahaman Yahudi tentang kolektivitas. Perbedaan antara kerajaan Allah dan kerajaan setan atau antara yang baik dengan yang jahat dalam pemahaman Yesus, tidak dapat dimengerti tanpa memperhitungkan pengertian solidaritas ini. Pada zaman Yesus yang dipentingkan tidak hanya solidaritas nasional atau solidaritas Yudaisme dalam menghadapi dunia kafir. Pada zaman Yesus tidak hanya keluarga besar yang hidup bersama sebagai satu kesatuan. Solidaritas juga tercipta diantara sesama kawan, pedagang, anggota kelompok sosial dan kelompok lainnya dalam sekte.[12] Dapat dikatakan bahwa solidaritas sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang berpengaruh pada waktu itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara kerajaan Allah dan kerajaan setan sangatlah berbeda. Perbedaan itu yakni dalam kerajaan setan hal yang diutamakan adalah solidaritas kelompok yang ekslusif dan demi kepentingan sendiri. Sedang Kerajaan Allah dilandaskan pada solidaritas yang mencakup seluruh manusia atau bersifat inklusif dan universal.[13] Yesus kemudian memberikan pembedaan dalam tindakan solidaritas ini. Ia melampaui apa yang dilakukan dalam perjanjian lama yang tindakan solidaritasnya lebih ekslusif atau hanya mencakup pada kelompok atau keluarga saja. Cakupan solidaritas-Nya melampaui batasan kewajaran yang dilakukan manusia. Yesus merangkul karya keselamatan itu dalam karya kasih. Ia melepaskan sekat-sekat permusuhan, sehingga solidaritas kasih menjadi tindakan paradoksal yakni mencintai orang yang memusuhi kita.
Instrumen kasih dipahami sebagai solidaritas yang mencintai semua orang tanpa ada pembedaan. Paham mencintai orang yang dimaksudkan Yesus adalah bukan mencintai satu orang secara khusus. Tetapi sebagaimana yang Nolan sebutkan dalam bukunya ini yang memakai kata “kemanusiaan” dan “semua orang” dalam arti inilah Yesus tidak memihak kepada siapa pun. Ia mencintai semua orang dan solidaritas-Nya mencakup seluruh umat manusia. Sehingga dasar dari solidaritas Yesus adalah kasih. Hal itu nampak paling jelas dalam sebuah tindakan kongkrit orang Samaria yang baik hati. Solidaritas itulah yang kemudian muncul dalam pribadi orang yang dengan tanggap membutuhkan bantuan orang lain. Pertanyaan dalam Injil Lukas tentang“siapakah sesamaku?”adalah sebuah identifikasi dari diri sendiri yang tergerak karena belas kasih. Berangkat dari karya belas kasih itulah yang disebut sebagai solidaritas tanpa batas dan menjadi gambaran akan Kerajaan Allah.[14]

1.5.            Kerajaan Allah dan kekuasaan
Antara kerajaan Allah dan kerajaan setan perbedaannya adalah kekuasaan. Pada zaman Yesus, sisi politik penekanannya adalah terutama siapa yang akan menjadi raja. Antara kata ‘Kingship’ yang berarti berkuasanya seseorang sebagai raja dengan kata ‘Kingdom’ atau kerajaan, semua ini berhubungan dengan kata “Raja”. Namun dalam kata Yunani diterjemahkan dengan kata basileia dapat berarti kedua-duanya. Kata kerajaan kemudian diartikan dengan nama basilea. Dalam paham kerajaan ini ditemukan dua hal yakni: kekuasaan setan itu adalah kekuasan yang menindas sedangkan kekuasaan Allah adalah kekuasaan pelayanan dan kemerdekaan.[15]
Semua kerajaan dan bangsa di dunia ini di atur oleh kekuasaan yang mengandalkan kekuatan (power). Dengan kata lain kerajaan yang ada di dunia ini dominasinya pada kekuatan atau mengandalkan kekuatan. Sisi kekuatan menjadi kekhasan dari kerajaan yang ada di dunia ini. Sikap dan cara yang demikian oleh Yesus tidak sesuai dengan kerajaan dari Yesus. Kerajaan yang dibangun oleh Yesus tidak didasarkan pada kekuasaan atau kekuatan melainkan kasih. Yesus menawarkan bagi pengikut-Nya bahwa Ia (Anak Manusia) datang untuk melayani bukan untuk dilayani. (bdk. Mrk. 10:42-45). Sejalan dengan teks ini Yesus menampilkan pola pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang melayani bahkan memberikan nyawanya untuk tebusan bagi banyak orang.[16]
Yesus datang untuk menentang mereka yang menjalankan hukum dengan sewenang-wenang dan kemudian menjadikan mereka penguasa yang menindas. Yesus tidak menentang hukum sebagai hukum, melainkan Ia menentang cara orang menggunakan hukum dan sikap mereka terhadap hukum.[17] Menyangkut hukum ini salah satunya adalah hari sabat. Mereka menggunakan sabat sebagai cara untuk menghukum manusia atau menjadi manusia susah dan tidak memberikan kebaikan bagi manusia. Dalam arti ini sabat yang dimaksudkan sebagai waktu untuk membebaskan dari kerja atau menjadikan orang beristirahat. Hukum dalam hari sabat itu tidak untuk menghalangi atau orang berbuat baik, menolong orang lain, menyembuhkan atau menyelamatkan kehidupan (bdk. Mrk 3:4; Mat. 12:11-12; Luk. 13:15-16). Yesus tidak menjadikan diri-Nya sebagai pembuat hukum atau menghilangkan hukum Musa namun Ia datang untuk mengenapi-Nya (bdk., 5:17-19).
Dengan demikian Kerajaan Allah dan kekuasaan memiliki perbedaan. Yesus hendak membebaskan semua orang dari hukum. Namun tidak menjadikan untuk menolak hukum. Hukum dimaksudkan dan dihadirkan dalam kehidupan dan dipergunakan dengan bertanggung jawab sehingga hukum itu kemudian memenuhi kebutuhan manusia. Yesus membuat hukum relatif sehingga tujuan yang sejati itu tercapai. Dalam pemahaman ini hukum dalam Kerajaan Allah menjadi fungsional. Semua akan mewujudkan aturan yang perlu; jika manusia saling melayani. Sehingga perbudakan dan penindasan yang disebabkan oleh kekuasaan yang dominan akan dihapuskan. Dalam pengertian ini tindakan kebenaran yang dilakukan lebih dari tindakan yang dilakukan ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

2.                  Waktu yang Baru
Pemahaman atau konsep mengenai waktu sangat penting. Namun terkadang sering dimaknai dengan keliru ketika waktu menjadi yang absolut. Gerard Van Rad menyatakan bahwa waktu yang absolut tidak tergantung pada peristiwa dan seperti titik-titik dalam kuesioner hanya perlu diisi dengan data yang akan memberi isi. Hal ini tidak dikenal di Israel. Orang-orang Yahudi berbicara dan berpikir mengenai waktu sebagai kualitas. Hal itu dengan jelas diungkapkan dalam kitab pengkhotbah. (Pkh. 3:1-8).[18] Orang Yahudi memahami dan mengerti waktu bukan masalah dengan tanggal, melainkan pada kualitas waktu. Nolan menyebutkan bahwa konsep waktu bukanlah sesuatu yang asing. Kita masih akan berbicara tentang berbagai waktu. Orang-orang Yahudi melihat bahwa hakikat masa kini sebagai yang ditentukan atau oleh karya penyelamatan Allah di masa lampau. Dalam hal ini Yesus mewartakan waktu yang sama sekali baru dan segera tiba secara definif: “waktunya sudah genap Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15). Dalam hal ini Yesus mewartakan waktu baru secara kualitatif berbeda dengan yang diwartakan oleh Yohanes.
Mengenai waktu yang baru ini erat kaitannya dengan sikap yang ditunjukan oleh Yesus dalam kehidupan bersama masyarakat pada waktu itu. Ia hadir dan kemudian mendobrak sekat-sekat sosial dan menunjukan sikap saling memperhatikan, saling mengasihi serta saling berbagi. Yesus secara tegas menolak raja yang berkuasa. Yesus memperjuangkan kehidupan kaum marginal. Ia pun menunjukan kesamaan martabat (equality) manusia dihadapan Allah. Yesus memperjuangkan nilai universal dari persaudaraan, kemanusiaan, kesetiakawanan dan kesamarataan. Dengan demikian waktu yang baru menjadi sebuah warna baru yang mengubah wajah dunia dengan kasih Allah yang tak berkesudahan. Kasih itu terjelma dalam tindakan dan praksis hidup Yesus yang hadir secara imanen. Ia hadir dan menampakan bahwa Allah sungguh meraja dan Kerajaan Allah itu kemudian terwujud dalam kehidupan manusia.
3.                  Refleksi Pemikiran Albert Nolan dalam hidup Pastoral
            Membaca dan memahami gagasan yang dikemukan oleh Nolan memberi sebuah pemahaman mengenai sikap ‘seperasaan dengan Kristus’ (Sentire cum Christo). Usaha ber-kristologi dari Nolan nampak bahwa ia melihat tokoh Yesus secara tidak memihak. Maksudnya adalah cara Nolan mengambarkan Yesus yang dianggap berbeda dari cara agama Kristiani melihat Yesus dalam iman. Sehingga Pendekatan Nolan dianggap sebagai pendekatan yang objektif  dan lebih sesuai dengan Yesus sebagaimana adanya ketika ia hidup, berkarya dan wafat di Palestina.[19] Teologi Nolan arahnya tidak berada dalam theology from below (teologi dari bawah) yang dimulai dari kelahiran hingga wafat Yesus atau fokusnya ada pada injil sinoptik, atau theology from above (teologi dari atas) yang fokusnya ada pada injil Yohanes dan surat-surat Paulus, melainkan ia menjembatani sebuah paradigma berteologi yang berada ditengahnya (teologi alternatif). Nolan menyajikan pemahaman akan Yesus iman dan Yesus yang historis.
            Pemikiran Nolan mengenai pola kepemimpinan Yesus membuka sebuah cakrawala dalam memahami tindakan Allah penuh belas kasih.  Allah yang penuh belas kasih itu hadir dan memberi pembebasan. Ketika membaca gagasan dari Nolan dan dihubungkan dengan praksis kehidupan sekarang ini tentunya memiliki kaitannya. Nolan berbicara tentang hal Kerajaan Allah sebagai ‘kabar gembira’ bagi orang-orang yang termarginalkan. Namun ‘Kerajaan Allah’ juga adalah milik setiap orang. Melihat konteks kehidupan sekarang ini tentu pemikiran Nolan ini telah memberikan gambaran tentang dunia kini. Sebuah pengalaman dunia yang kini terusik dan terkikis dengan dinamika perubahan zaman. Ketika uang, gengsi dan kekuasaan menjadi wajah hidup manusia sekarang ini. Uang, gengsi dan kekuasaan menjadi dambaan manusia kini. Hal-hal ini telah melemparkan jauh semangat solidaritas antar sesama manusia.
            Albert Nolan membuka sebuah pemahaman akan kepenuhan belas kasih Yesus. Pada intinya Nolan menghadirkan wajah Yesus yang penuh belas kasih bagi umat manusia. Ketika akar-akar ketamakan telah merajalela, maka Yesus memproklamasikan bahasa belas kasih. Sehingga kepenuhan belas kasih menjadi perwujudan dalam membangun kerajaan Allah. Ketika menyelami Yesus dengan kepenuhan belas kasih-Nya dan dihubungkan dalam konteks pelayanan. Dengan demikian, hal apa yang perlu dibangun sebagai pemimpin dalam karya pelayanan dengan meneladani contoh kepemimpinan dari Yesus?
            Sikap keteladanan dari ciri kepemimpinan Yesus antara lain : pertama, Pastoral gembala yang baik dengan mengunjungi umat (kunjungan umat atau kunjungan keluarga). Mengalami suka duka bersama dengan umat adalah sebuah bentuk peneguhan. Inilah yang menjadi sebuah solidaritas sejati sebagai pelayan. Dalam hal ini tidak terkurung atau hanya berada dalam tembok parokial, melainkan pemimpin yang melayani selalu bersedia ‘turun gunung’ untuk menjumpai atau memelihara jiwa-jiwa (cura animarum). Hal ini dapat disebut sebagai pengalaman akan makna kehadiran. Tindakan ini menjadi bentuk solidaritas dan akan menciptakan waktu yang berkualitas. Kehadiran itu menjadi kehadiran yang meneguhkan dan juga dapat menyembuhkan. Kedua, sebagai pemimpin hendaknya selalu hidup dalam semangat rendah hati (low profile). Ia tidak menggunakan kedudukan atau kekuasaan untuk menguasai melainkan untuk melayani. Ketiga, pemimpin atau pelayan yang punya kedekatan personal dengan Tuhan. Ditengah tawaran rutintas karya pelayanan, seorang pemimpin selalu punya waktu untuk berdoa. Sebagai pemimpin umat yang sedang menahkodai sebuah kapal, dia perlu waktu untuk berhenti. Dengan meng-charge atau mengisi hidupnya dengan sabda dan ekaristi. Kedekatan personal itu akan membawa seorang pemimpin untuk mampu mengarungi arus tantangan zaman yang terkadang menghanyutkan. Doa dan ekaristi menjadi waktu berkualitas untuk berdialog bersama Tuhan dan juga punya kepekaan atau solidaritas dengan menjadi pendoa bagi banyak orang.
Penutup
            Yesus sebagai pemimpin yang melayani selalu memberikan keteladanan bagi para murid untuk melayani. Sejalan dengan konteks ini Nolan menunjukan wajah keprihatinan dari Yesus penuh belas kasih. Sebagai orang Kristen yang mengimani Yesus, cinta kasih adalah instrument atau sarana untuk menghubungi pelbagai aneka pengalaman hidup yang dialami. Dalam hal Nolan  telah membuka sebuah pola pikir baru bahwa Yesus bukan hanya tokoh yang historis melainkan Dia juga adalah penyelamat. Menyelami kepemimpinan Yesus adalah pengalaman yang tak kunjung berhenti. Yesus selalu hadir dalam wajah pengalaman harian kita. Pertanyaan siapakah sesamaku, telah memberikan rumusan yang sentral bahwa memahami dan mengimani Yesus berlangsung terus menerus. Pengalaman seperasaan dengan Allah dalam belas kasih-Nya terjadi karena pengalaman beriman yang dialami setiap hari.

Daftar Pustaka
·         Nolan, Albert. Jesus Before Christianity. New York : Orbis Book, 2003.
·         __________ .  Yesus Sebelum Agama Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
·         Harjawiyata, Frans, (ed),. Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
·         Wijngaards, John., Yesus Sang Pembebas. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
·         Sujoko, Albertus., “ Dekonstruksi Kristologi dalam Pemikiran Albert Nolan,” Jurnal Teologi Vol. 02/II (November 2013), hlm. 124.




[1] “Faith in Jesus is not our starting-point, but it will be, I hope, our conclusion”. Lih,  Albert Nolan,  Jesus Before Christianity (New York : Orbis Book, 2003), hlm. 1.
[2] Bdk. John Wijngaards. Yesus Sang Pembebas (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 156.
[3] Bdk. Albert, Nolan. Yesus Sebelum Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 65.
[4] Ibid., hlm. 66.
[5] Frans, Harjawiyata (ed). Yesus dan Situasi Zaman-Nya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 106.
[6] Yohanes 18:36.
[7] Bdk., Nolan,  Jesus Before Christianity,  hlm. 62.
[8] Wijngaards, Yesus Sang Pembebas, hlm. 150.
[9]   Ibid., hlm. 63.
[10] Bdk. Nolan, Yesus Sebelum Agama Kristen, hlm. 78-79.
[11] Bdk. Ibid. hlm. 80-81.
[12] Ibid, hlm. 85.
[13] Ibid,
[14]  Ibid, hlm. 94.
[15]  Ibid, hlm. 96.
[16]  Bdk. Yohanes 15: 13.
[17]  Ibid, hlm. 98.
[18] Ibid, hlm. 102.
[19]  Albertus Sujoko, “ Dekonstruksi Kristologi dalam Pemikiran Albert Nolan,” Jurnal Teologi Vol. 02/II (November 2013), hlm. 124.

Jumat, 24 Februari 2017

Lingkungan Hidup



BERTEOLOGI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP 


Daftar isi…...……………………………………………………………………..…………….1
Daftar Pustaka…………………………………………………………...……………………21

            Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari hubungan dengan alam sekitarnya. Keterkaitan manusia dengan alam sekitar atau lingkungan hidup ditandai dengan perjumpaan sebagai ciptaan Tuhan yang saling menghormati. Dalam paper ini, fokus yang hendak diangkat dalam pembahasan disini adalah bagaiaman hubungan teologi dengan ilmu pengetahuan. Sebagaimana teologi memiliki kaitan dengan disiplin lain, maka dalam paper ini fokusnya adalah hubungan antara teologi dan ekologi. Hubungan ini ditandai dengan tanggapan gereja terhadap lingkungan hidup. Dalam penulisan paper mengenai berteologi tentang lingkungan hidup ini lebih banyak merujuk Ensiklik dari Paus Fransiskus, Laudato Si. Ensiklik ini membahas tentang lingkungan hidup dan tanggapan gereja terhadap lingkungan hidup. Melalui sumber-sumber yang dibahas dan ditemukan ini, maka tujuan dari penulisan paper ini adalah memberikan pertanggungjawaban secara teologi terhadap lingkungan hidup. Dan bagaimana semestinya manusia menyikapi problem lingkungan hidup terjadi sekarang ini.
Studi tentang teologi, merupakan dasar pengenalan akan pengetahuan mengenai teologi. Berteologi adalah suatu studi yang menghantar setiap orang untuk memahami dan menelusuri apa itu teologi, dan bagaimana teologi memiliki kedudukannya sebagai ilmu yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Belajar teologi dalam hal ini mencoba untuk mempertanggung jawabkan iman. Dengan iman yang direfleksikan akan membantu orang untuk sampai pada pemahaman dan tindakan.[1] Teologi sebagai induk dalam lingkup teologi, Gereja dalam kehadiran di tengah kehidupan manusia senantiasa memberikan perhatian terhadap lingkungan hidup. Menjaga kelestarian alam semesta dan mengupayakan pengelolaan yang sebijaksana, menjadi panggilan dari Gereja Katolik terhadap lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan tempat tinggal dari manusia. Dewasa ini, lingkungan hidup sebagai tempat tinggal manusia menjadi rusak dan tak lagi memperlihatkan keindahan. Pelbagai kemajuan yang dialami oleh manusia telah menjadi manusia sebagai penguasa alam semesta dan membuat manusia tidak lagi respek terhadap kehidupan dalam alam semesta.
Untuk mendalami apa yang dimaksudkan tentang berteologi terhadap lingkungan hidup. Pada bagian selanjutnya ini akan diberikan paparan mengenai kaitan teologi dan ekologi dalam konteks Gereja Katolik.

1.            Pengertian Teologi

Teologi berasal dari bahasa Yunani, dan merupakan kombinasi dari kata theos dan logos. Theos yang berarti Allah, sedangkan logos berarti ilmu atau ajaran. Jadi secara etimologis kata teologi dimengerti sebagai ilmu atau ajaran tentang Allah.[2] Melalui pengertian ini teologi dipahami sebagai ilmu tentang Allah, atau ilmu memahami ajaran Allah dari perspektif Kristen.
Dalam pengertian teologi dapat dimengeri sebagai kerinduan untuk manusia mengenal penciptanya. Dan sekiranya teologi dapat dibedakan sebagai teologi implisit dan teologis eksplisit. Teologi implisit berhubungan dengan olah rasa (aktivitas umat beriman) sedangkan teologi eksplisit berhubungan dengan olah nalar (rasio/akal budi).[3] Dari pengertian tentang teologi ini kemudian memunculkan pertanyaan. Mengapa belajar teologi? Dari pertanyaan ini menghantar kita pada pengenalan akan Allah, bahwa sebagai ilmu iman teologi memberikan pemahaman kepada manusia untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan iman seseorang. Sehingga dari pengertian teologi sebagai ilmu iman atau ajaran tentang Allah akan menghantar pada manusia untuk makin mencintai Allah.

1.1.      Hubungan Teologi dengan ilmu-ilmu lain

Teologi tidak hanya ilmu tentang iman, tetapi teologi sebagai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini teologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan pengetahuan objektif dan bertalian yang diperoleh secara metodis, sistemastis, dan kritis untuk menemukan suatu keterangan yang berlaku umum dalam bidang dan segi tertentu dari kenyataan.[4] Dari pemahaman ini teologi tidak hanya berdiri sendiri sebagai ilmu yang mutlak dan tidak memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain, melainkan dalam hal ini teologi bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya. Dalam hal ini teologi bukan hanya ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu lain, tetapi teologi adalah ilmu pengetahuan iman. Ia lahir dari fakta bahwa iman adalah juga pemahaman.[5] Sehingga dapat disebutkan di sini bahwa teologi memiliki kaitan dengan ilmu lain untuk dapat menemukan kebenaran melalui ajaran iman.

1.2.      Hubungan Teologi dengan Ekologi

Kesadaran manusia yang berasal dari Allah yang diciptakan secitra dengan Allah (imago Dei). Dalam hal ini manusia menjadi “wakil Allah” didunia ini. sebagai gambar Allah, maka hal ini tidak hanya dimengerti secara personal, melainkan perlu dipahami secara sosial dan ekologis. Hal ini menandakan didalamnya terkaitan hubungan dan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan alam semesta.[6] Ekologi diartikan sebagai cabang biologi yang mempelajari hubungan antara makhluk dan lingkungannya. Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos dan Logos. Oikos diartikan sebagai habitat atau rumah tempat tinggal sedangkan logos adalah ilmu. Sehingga ekologi dipahami sebagai ilmu yang mempelajari mahluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Merujuk pada kata oikos dan logos, komponen kedua kata ini memiliki implikasi suci, seperti halnya dalam Yoh. 1:1 dan dalam kitab Kebijaksanaan yang menunjuk logos dengan penuh misteri. Dengan demikian kata ekologi menunjukan kedalaman tak terhingga serta makna misteri tentang tempat tinggal.[7] Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, maka setiap orang terpanggil untuk menjaga lingkungan hidup. Ekologis dipahami sebbagai tempat tinggal bersama yang ditinggali oleh mahluk hidup, maka sudah sepantasnyalah manusia yang hidup didalamnya memperlakukan alam sekitarnya secara hormat.

1.1.      Berteologi dengan Lingkungan Hidup
Dalam pembahasan pada bagian awal paper ini telah disebutkan mengenai fokus atau sasaran dalam penulisan ini. sebagaimana yang disebutkan itu, maka pada bagian ini akan diberikan paparan tentang berteologi dengan lingkungan hidup. Hal yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana teologi memberikan kajian sekaligus tanggapannya terhadap pelbagai fenomena yang terjadi dan memberikan pengaruh dalam kehidupan umat manusia.
            Berteologi dengan lingkungan hidup disini adalah lebih banyak merujuk pada ensiklik dari Bapa suci Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato si. Paus Fransiskus menyebutkan demikian: “Tantangan yang mendesak untuk melindungi rumah kita bersama mencakup upaya untuk menyatukan seluruh manusia. Sang pencipta tidak meninggalkan kita; Ia tidak pernah meninggalkan rencana kasih-Nya atau telah menyesal memciptakan kita. Umat manusia masih memiliki kemampuan bekerja sama dalam membangun rumah kita bersama.”[8] Paus Fransiskus dalam ensikliknya ini memberikan seruan untuk melindungi “rumah” tempat tinggal manusia. Sebagai tempat tinggal manusia, maka manusia diajak untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

1.2.      Partisipasi Gereja dalam menjaga dan merawat bumi
Dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2012, yang berjudul : “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan,” dalam Nota Pastoral ini dimaksudkan sebagai pembelajaran pribadi atau bersama dengan seluruh umat dan siapapun yang mempunyai kepedulian pada masalah-masalah lingkungan hidup dan usaha-usaha untuk menjaga, memperbaiki, melindungi dan memulihkannya.[9] Nota pastoral ini menjadi bentuk partisipasi dan juga perhatian (option) gereja untuk menjaga dan merawat bumi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Nota pastoral ini menjadi panggilan gereja untuk melestarikan keutuhan ciptaan dengan tindakan pastoral lingkungan hidup (ecopastoral)[10] yang diupayakan oleh Gereja Katolik di Indonesia sebagai persekutuan umat beriman.
Pada tahun ini tepatnya pada Aksi Puasa Pembangunan (APP) Keuskupan Manado mengangkat Tema APP tahun 2015: “pendidikan pola hidup sehat dan berkecukupan demi mewujudkan hidup sejahtera”. Tema ini menjadi gaung dan juga upaya dari gereja untuk memberi perhatian bersama dengan umat beriman untuk membangun prioritas dalam upaya membangun dan juga menyeimbangkan hidup yang sehat dan berkecukupan. Dalam kerangka tersebut gereja mengajak umat untuk merawat lingkungan hidup dengan aksi nyata dalam kehidupan harian.
Sehubungan dengan Nota pastoral yang diatas tadi maka, masalah lingkungan hidup merupakan masalah bersama. Karena itu umat kristiani diajak untuk membangun kerjasama dengan siapapun. Kerjasama itu dapat terwujud dalam diskusi, seminar atau gerakan-gerakan lainnya, yang didorong bukan karena adanya kerusakan lingkungan. Tetapi merupakan panggilan dan perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan Pemeliharaan kehidupan.[11] Dengan demikian, panggilan untuk merawat dan menjaga bumi adalah amanat sekaligus juga tanggung jawab sebagai pribadi yang beriman akan Tuhan yang menciptakan lingkungan hidup ini dengan sikap yang bijaksana.

2.            Ada apa dengan lingkungan hidup sekarang ini?

Pertanyaan yang  tersaji dalam judul ini, menyiratkan pesan bahwa lingkungan hidup sekarang ini mengalami kerusakan atau chaos (kekacauan). Tanpa berpikir panjang dan melihat fenomena dan realita yang terjadi sekarang ini, memperlihatkan bahwa lingkungan hidup perlu dibenahi dan dirawat. Pertanyaan ini kemudian mengelinding dengan cepat dan indikasi yang ditemukan didalamnya adalah terjadi kesenjangan antara alam dan manusia. Disini penulis memakai ungkapan William chang, mengenai perlu “kecerdasan ekologis”. Dalam hal kecerdasan ekologis, tertuang dalam bentuk kearifan lokal. Alam semesta bukan hanya menjadi sumber untuk dieksploitasi, tetapi menjadikan alam semesta sebagai rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata dan bukan dihancurkan. Kecerdasan ini mengingatkan manusia untuk tidak boleh membiarkan masa depan bumi ini terancam dengan adanya pemanasan global. Dalam kecerdasan ekologis ini, manusia mengarahkan kualitas hidupnya untuk membangun gerakan yang ramah lingkungan, dengan memberikan prioritas pada keselamatan alam semesta.[12]
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan problem yang terjadi dalam lingkungan hidup.

2.1.      Manusia menjadi mahluk destroyer

Lingkungan sebagai tempat tinggal menjadi tempat untuk manusia membangun relasi dengan alam sekitarnya. Dalam lingkungan hidup interaksi antar berbagai komponen akan menjadi harmoni. Harmoni atau keseimbangan yang demikian adalah tergantung pada manusia. Mengapa demkian? Pada hakekatnya lingkungan hidup adalah bersifat antroposentris, artinya lingkungan hidup itu dipelihara, dibangun atau dikelolah dengan sebaik-baiknya demik kepentingan dan kelangsungan kehidupan generasi-generasi berikutnya.[13]  Karena itu manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk menguasai alam dan dengan penuh kesadaran, kepedulian dan kewajiban memperlakukan alam atau bumi ini dengan sebaik-baiknya. Manusia bukanlah menjadi mahluk perusak (destroyer), melainkan hendaknya menjadi penjaga yang merawat dan melindungi alam semesta ini sebagai ciptaan Allah.
Lingkungan hidup sekarang ini menjadi edan, dan tidak lagi memperlihatkan keindahan Taman Eden sebagaimana dalam kitab kejadian. Sungguh demikian parahnya sehingga alam semesta ini menjadi edan, dan pesona Taman Eden itu tidak lagi nampak? Mungkin sekelumit ungkapan ini memiliki kebenaran, alasannnya bahwa sekarang ini bumi telah menjadi kotor, berbau, berpolusi, beracun, berkeruh dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu keakraban dan keharmonisan yang menghantar pada kebahagiaan seluruh ciptaan tidak lagi terlihat. Titik puncaknya adalah terjadinya krisis ekologi dan sebabnya yang ditandai dengan adanya; kemiskinan, mentalitas dan gaya hidup, lemahnya kebijaksanaan dan runtuhnya benteng moral dan religiositas manusia.[14] Karena itu manusia dipanggil untuk mengembalikan citra Eden itu untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan ditengah masyarakat.

2.2.      Konsep yang keliru

Dalam Kitab kejadian 1:28, terungkap disana sebuah perintah untuk menguasai. Konsep untuk menguasai ini kemudian dianalogikan sebagai tindakan penguasaan yang semena-mena terhadap alam. Perintah tersebut dijadikan sebagai alasan untuk melakukan penguasaan  terhadap alam tanpa batas. Dalam hal ini manusia telah terpesona oleh konsep kuasa dan penaklukan seperti yang ada dalam kitab kejadian1:26-28. Akibat kuasa yang salah ini manusia berada dalam tindakan yang sesuka hati untuk merusak tanah termasuk tanah yang menjadi “ibu” bagi mahluk hidup. Akibatnya manusia kemudian kehilangan (lost) konsep untuk “memelihara dan mengusahakannya” seperti yang ada dalam Kitab kejadian 2:15.[15]
Kekeliruan manusia dalam menafsirkan teks Kitab Suci ini memberi dampak yang negatif pada pengelolaan dan pengusahaan alam semesta. Konsep manusia seperti yang ada dalam kitab suci itu disalah artikan dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan terhadap keharmonisan pada alam. Hal ini memberi kesan bahwa manusia menjadi pribadi yang rapuh dan kebebasan yang diberikan direlativir dengan melakukan perusakan. Seyogianyalah manusia melakukan tugas sebagai partner Allah yang bertugas untuk pro lingkungan atau juga pro life.

2.3.      Alam terusik karena diusik

Ketika kita membaca dalam kitab kejadian 1:10, disebutkan bahwa Allah menciptakan semuanya baik adanya. Allah melihat segala yang dijadikan-Nya adalah baik, namun kebaikan itu kemudian dibelokan oleh manusia. Bab-bab awal dalam kitab kejadian antara lain melukiskan permenungan klasik tentang peristiwa penciptaan. Penulis dalam kitab kejadian ini tidak memandangnya bahwa perintah untuk menguasai adalah pernyataan akan kuasa yang tak terbatas, akan tetapi dihadapan mata Tuhan mahkluk ciptaan nonmanusia dan manusia diandaikan membentuk suatu komunitas mahluk ciptaan, dan dalam komunitas itu manusia memiliki tanggung jawab.[16] Munculnya fenomena bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa alam terusik karena kenyamanan dan kelestariannya diusik oleh tangan manusia yang bekerja dengan pongah dan menjadi pengarap bumi yang makin brutal. Bila kita melihat sebagaimana manusia diciptakan baik adanya maka, semestinya tangan manusia dikerjakan untuk menjadi pekerja yang trampil dan berbudi serta memiliki kepekaan pada alam sekitarnya.
Karena itu bencana yang terjadi seperti di Manado pada awal tahun 2014 dan juga bencana tanah longsor serta banjir di berbagai daerah di Indonesia, adalah catatan-catatan kecil dari rusak alam karena ulah manusia. Harmoni alam yang damai kemudian menjadi musuh dari manusia karena tak sedikit kerugian material bahkan jiwa manusia yang harus dibayar dan dikorbankan.

2.4.      Ibu bumi yang menangis

Cara pandangan ‘yang salah’ tentang alam semesta menjadikan manusia menjadi pusat dalam alam semesta (antroposentrisme). Sikap ini menyebutkan bahwa manusia memiliki nilai dan berharga hanya pada dirinya, sedangkan alam dan segala isinya hanyalah sarana atau alat untuk memenuhi kepentingan manusia.[17] Situasi demikian memberikan peran bahwa manusia adalah aktor dan penentu dalam kehidupan semesta. Kerusakan alam menjadi ibu bumi menangis, hal ini sangat beralasan dimana ada banyak bencana alam yang terjadi menyirat pesan bahwa kehidupan saat berada pada krisis pada lingkungan hidup.
Menyikapi fenomena demikian, barangkali perlu dikaji dan ditegaskan kembali sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci yakni dalam Mazmur 104, yang bermaksud untuk mengatakan bahwa alam semesta memiliki dua makna; yakni alam semesta adalah tempat pertemuan dengan Tuhan; namun serentak pula berjarak dengan Tuhan. Dalam hal ini cinta kasih yang menghubungkan Tuhan dengan alam semesta. Dalam kitab Mazmur ini memberikan pemaknaan bagaimana tiap benda adalah buah sabda Tuhan, dan karena itu ciptaan  membawa makna dalam dirinya.[18]
Dengan demikian manusia sebagai partner dipanggil untuk menjadi rekan kerja dalam mengawal dan melihat fenomena alam. Bumi yang ditempati ini adalah berkat sekaligus juga amanat yang harus dijaga dan dilestarikan secara terus-menerus demi kelangsungan hidup generasi mendatang.

3.            Bebebapa pandangan Gereja terhadap Lingkungan Hidup

3.1.      Seruan dalam  Ensiklik Laudato Si

Ensiklik Laudato Si’ yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 18 Juni 2015, tentang perawatan rumah kita bersama. Bapa Suci dalam ensiklik ini memberikan beberapa seruan dan juga penegasan untuk merawat lingkungan hidup. Seruan dari Bapa Suci mengenai lingkungan ini mengaris bawahi beberapa hal penting yakni; polusi limbah dan budaya buang sampah, masalah air, kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global, tanggapan-tanggapan yang lemah, dan keragaman pendapat. Hal-hal merupakan bagian penting yang disorot dalam ensiklik ini.
Lebih lanjut lagi dalam bab II dalam ensilik ini mengenai kabar baik penciptaan. Dalam hal ini peranan teologi dan pesan-pesan Kitab suci memberikan batasan dan penegasan tentang penciptaan. Dalam hal ini ditunjukan bahwa tanggung jawab terhadap bumi milik Allah. Hal ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, hendaknya menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut antara mahluk-mahluk dunia ini, sebab “Dia memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar” (Mzm. 148:5b-6).[19] Tugas dan peranan manusia adalah memberikan batasan yang jelas dalam mengelolah kehidupan alam semesta. Karena itu manusia menjadikan alam semesta sebagai saudaranya[20] yang memberikan kekayaan hidup manusia. Itulah sebabnya Gereja tidak hanya berusaha untuk mengingatkan akan tugas pewartaan alam, tetapi sekaligus “terutama ia harus melindungi umat manusia dari penghancuran diri”.[21] Alam semesta merupakan kehadiran Allah, sehingga akan menjadi keliru bilamana ciptaan lainnya dijadikan sebagai objek oleh manusia untuk memenuhi keinginannya. Cita-cita harmoni, keadilan, persaudaran dan perdamaian yang Yesus tawarkan adalah kebalikan dari model seperti itu, dan berkaitan dengan penguasa pada zaman-Nya Ia menyatakan demikian: penguasa-penguasa bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian diantara kamu. Barangsiapa menjadi terbesar hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:25-26).[22]
Dalam hal ini ensiklik ini mengajak manusia untuk memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya dan menjadikan alam itu sebuah rumah yang ditempat dan dijaga kelestarian kehidupan yang terkandung di dalamnya.

3.2.  Paus Yohanes Paulus II: Sollicitudo Rei Socialis dan Centesimus Annus

Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 1987 dalam peringatan  20 tahun kehadiran  ensiklik Populorum Progressio menampilkan analisis baru tentang krisis lingkungan. Dalam ensiklik ini, Paus menyadari Pertama, bahwa pemanfaatan mahkluk ciptaan, selalu menimbulkan akibat yang tidak dihindarkan. Kedua, terdapat ciri keterbatasan sumber-sumber alam. Ketiga, industrialisasi selalu menambah kontaminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat. Hal yang sama dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus, yang kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan teologi yang kian berat. Dalam hal ini manusia seharusnya menjadi kolaborator dengan Tuhan dan karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Dimensi tanggung jawan dititikberatkan oleh Paus.[23]
            Kehadiran dari dua ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II, memberikan tanggapan Gereja atas situasi yang terjadi dalam dunia. Tanggapan ini merupakan sikap gereja untuk bekerja bersama dalam menciptakan alam yang penuh dengan keharmonisan. Singkatnya dalam ensiklik ini, mengajarkan dan mengarahkan manusia pada pengenalan akan keindahan alam. Dalam alam itu manusia hendaknya mengakui, menghormati dan menghargai alam ciptaan Tuhan dengan segala keindahan dan keberagamannya.

3.2.      Paus Benedictus XVI: Deus Caritas Est

   Paus Benedictus XVI pada tanggal 25 Desember 2005 menandatangani Ensikliknya yang pertama “Deus Caritas Est” (DC). Ensiklik ini berjudul ‘Allah Adalah Kasih’. Ensiklik ini secara umum tidak menyoroti masalah lingkungan, namun dalam ensiklik ini cinta itu timbul dari keinginan Eros, yang pada dasarnya baik, namun mesti dimurnikan. Hal ini dimaksudkan dengan ditransformasikan menjadi kasih Agape, yakni pemberian diri sepenuhnya kepada orang lain. Dalam ensiklik ini Gereja bukan melawan cinta, tetapi menganjurkannya sebagai kasih yang menetap dan tak berkesudahan. Merenungkan apa yang tertuang dalam ensiklik ini, menampilkan bahwa kehidupan di dunia sekarang ini membutuhkan keadilan. Tekanan pada sikap keadilan sosial itu diperparah dengan adanya pengrusakan lingkungan hidup.[24] Dengan demikian, dalam ensiklik ini cinta itu senantiasa mengarahkan manusia untuk selalu membangun kepekaannya terhadap lingkungan hidup. Sehingga jurang yang membelah pencarian keadilan sosial dapat di temukan melalui tindakan memperlakukan alam secara adil dan bijaksana, sebagaimana manusia mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia itu sendiri.[25]
            Beberapa ensiklik diatas ini adalah bukti dan peran keseriusan Gereja dalam menjaga dan melestarikan alam ciptaan Tuhan. Sehingga melalui beberapa ensiklik ini (dan masih ada beberapa yang lain lagi), gereja menampilkan wajah Kristus yang selalu memberikan perhatian pada yang miskin dan kecil. kepada mereka yang tak mendapar keadilan dan yang terabaikan akibat eksplorasi manusia yang makin menjadi-jadi. Sehingga Gereja Katolik tidak hanya hadir untuk mendalami ajaran tentang Tuhan, tetapi dalam teologinya itu gereja terjun dan memberikan option pada kehidupan manusia seluruhnya.

4.            Langkah bijak tentang kepedulian pada Lingkungan Hidup

Pada bagian pertama dalam paper ini telah diberikan batasan dan fokus dari hubungan  teologi dengan ekologi. Batasan itu telah ditunjukan dengan memperlihatkan beberapa kajian dan pandangan Gereja Katolik terhadap dimensi hidup manusia yang senantiasa bersentuhan dengan alam ciptaan manusia. 
Selanjutnya dalam paper ini akan diberikan langkah bijak atau aplikasi hidup yang dapat dilaksanakan dalam menggali dan menemukan makna hidup manusia. Langkah bijak ini bersumber pada tempat dan peranan dari lembaga hidup dalam menciptakan alam yang penuh dengan keindahan dan keharmonisan alam.

4.1.      Dari Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga dapat menjadi tempat untuk memberikan pendidikan terhadap lingkungan hidup. Pada bab VI dari ensiklik Laudato Si, diberikan penegasan akan pentingnya pendidikan dan spiritualitas ekologis. Pendidikan ekologis dapat dilakukan dalam berbagai konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, katakese, dan lain-lain. Dalam hal ini peran keluarga sentral karena dalam keluarga didalamnya dikembangkan kebiasaan awal untuk mencintai dan melestarikan lingkungan hidup. Keluarga adalah pembinaan integral, dimana pematangan pribadi dikembangkan dalam pelbagai aspek yang saling berhubungan. Tindakan sopan santun yang sederhana dan tulus ini membantu membangun budaya kehidupan bersama dan sikap hormat pada lingkungan hidup.[26] Hal ini hendak memberikan penegasan bahwa keluarga menjadi lembaga moral pertama yang mendidik individu (anak) untuk menghormati lingkungan hidup. Hal sederhana dan kecil yang dikembangkan dan diterapkan dalam keluarga adalah dengan membangun keteladan untuk mencintai alam semesta. Paus Fransiskus dalam ensiklik Lumen Fidei, menyebutkan bahwa dalam keluarga iman menemani tahap kehidupan. Dalam diri anak atau orang muda, perjumpaan dengan Kristus telah membiarkan diri ditangkap dan dibimbing oleh kasih-Nya. Dengan iman itu memastikan bahwa cinta itu dapat dan layak dipeluk berdasarkan pada kesetiaan Allah yang lebih kuat dari kelemahan manusia.[27] Dengan cinta dari orang tua kepada anak telah membentuk dan membawa anak mereka untuk memiliki kepekaan dan mampu memahami pemahaman akan cinta yang integral yang melibatkan lingkungan hidupnya.

4.2.      Lingkungan masyarakat

Masyarakat senantiasa bersentuhan dengan lingkungan hidup. Sadar atau tak sadar dominasi dari manusia sering menciptakan kesenjangan hidup yang tidak fleksibel. Pertambahan populasi manusia dan berkembang pesatnya teknologi telah bersentuhan langsung dengan pengelolaan alam oleh masyarakat. Ekologi manusia menyiratkan hal di dalamnya hubungan manusia dan hukum moral. Paus Benedictus XVI menegaskan tentang suatu ekologi manusia mengingat manusia memiliki sifat dasar yang perlu dihormati dan tidak dimanipulasi.[28] Dalam masyarakat global sekarang terjadi banyak ketimpangan dan makin banyak orang yang terpinggirkan, dirampas hak-hak asasinya, prinsip kesejahteraan umum. Hal ini menjadi solidaritas dan prioritas bagi kaum miskin.[29]
Kesenjangan ini memberi indikasi pada pengerukan kekayaan bumi tanpa ada prinsip hormat pada alam. Teori etika yang popular yang popular sekaedang ini adalah Deep Ecology (DE), yang digagas oleh Arne Naess (1973). Dalam DE menuntut etika yang tidak lagi menempatkan manusia sebagai pusat (antrposentrisme), melainkan etika ini pusatnya dapa mahkluk hidup yang dalam kaitannya berusaha mengatasi persoalan lingkungan hidup. Daam etika lingkungan hidup yang dikembangkan oleh DE dirancang sebagai etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya prinsip-prinsip moral etika harus diterjemahkan dalam aksi nyata.[30] Gerakan yang dikembangkan oleh Naess adalah menciptakan sebuah kebijakan atau kearifan yang disebutnya dengan istilah ecosophy, hal berarti mengatur hidup yang selaras dengan

4.3.      Lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan

Dalam lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan ensiklik Laudato Si memberikan ajakan untuk memiliki kepekaan terhadap lingkungan hidup. Pendidikan itu bertujuan untuk menciptakan suatu “kewarganegaraan ekologis”, sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara ciptaan dilakukan dengan tindakan kecil sehari-hari, dan sangat penting untuk mendorong orang untuk menjadikan suatu gaya hidup. Pendidikan ekologis dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorang berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan untuk pelestarian lingkungan hidup, dengan menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, pemilahan sampah dan lain sebagainya.[31]
Pendidikan dalam lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan dalam hal ini seperti Seminari dan rumah bina, diajak untuk senantiasa mengkomunikasikan dan pentingnya kepekaan lingkungan hidup. Yesus dalam Injil mengingatkan akan kasih persaudaraan hanya mungkin bila tanpa pamrih dan bukan balas jasa. Sikap tanpa pamrih itu mendorong kita untuk mencintai alam dalam persaudaraan universal.[32]

5.            Mengembalikan citra alam dengan tindakan nyata

Gambaran akan kerusakan dan kesenjangan alam semesta memberikan penekanan akan kesadaran kolektif dari manusia untuk melakukan gerakan perubahan dalam tindakan nyata sehari-hari. Mengembalikan citra alam yang rusak dengan nyata adalah sebuah langkah bijak dalam pembangunan kesadaran hidup. Gereja dalam seruan melalui ensiklik Para Paus yang menyuarakan akan keseimbangan alam yang benar-benar dicita-citakan oleh banyak orang.
Upaya mengembalikan citra alam dengan tindakan nyata dalam hidup sehari-hari, dapat dilakukan dalam berbagai cara yang ada dibawah ini.

5.1.      Penanggulangan sampah yang efektif dan efesien

Masalah sampah adalah menjadi masalah yang meresahkan ketika hal itu tidak dikelolah dengan baik. Sampah rumah tangga khususnya dalam kota-kota besar dan kota kota yang sedang berkembang telah memicu masalahnya pencemaran lingkungan. Kemajuan industri dan perubahan gaya hidup modern telah menjadikan manusia menjadi menciptakan mentalitas konsumtif. Plastik adalah salah satu konsumsi manusia modern; selain juga makanan kaleng dan jenis minuman siap saji (fast food).[33]
Masalah sampah menjadi masalah yang urgen untuk diselesaikan. Bertambahnya populasi manusia dan pesatnya produksi produk-produk yang memberi konsekuensi pada bertambahnya volume sampah. Adanya para petugas kuning yakni mereka yang bekerja sebagai pengangkut sampah, tidak akan membawa efek yang baik bila tidak ada kerjasama dari warga masyarakat. Jika ditelaah lebih jauh peranan dari petugas cleaning servis ini, sumbangsih mereka adalah sebuah panggilan menjadi co-creator Allah yang memiliki tanggung jawab atas alam ciptaan (bdk. Kej. 1:26-31). Dapat dikatakan bahwa para petugas kebersihan ini menghidupi semangat hidup kristiani, yakni seluruh alam semesta ikut serta dalam kemuliaan kebangkitan (Rom 8:19-33), dan menghadirkan “ bumi baru dan langit baru” (2 Pet 3:13-14).[34] Mengutip pernyataan Banariwatma dan Muller dalam bukunya “Berteologi Lintas Sosial Ilmu” menjelaskan pemahaman mengenai peranan manusia sebagai Imago Dei/ Image of God. Panggilan pada manusia itu adalah ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan Allah. Sebagai mitra Alllah manusia menjadi co-opreator dan co-creator Allah. Dalam konteks ini manusia dipandang sebagai Partner Allah atau rekan kerja Allah.[35]
Dengan demikian panggilan untuk melestarikan tidak hanya diletakkan pada mereka yang bekerja seabagai petugas sampah. Tetapi menjaga dan melestarikan alam dari dampak kotornya oleh sampah adalah panggilan kita bersama untuk menyikapinya. Dengan adanya budaya bersih akan menjadikan kita sebagai penghuni “rumah bumi” ini akan membantu kita untuk sehat secara ekonomis, psikologis dan social.

5.2.      Menjadikan lingkungan sebagai sahabat kita

Menjadikan lingkungan sahabat kita merupakan wujud dari kecintaan terhadap lingkungan hidup. Seperti halnya dalam Gereja terdapatlah orang-orang kudus yang senantiasa respek pada alam sekitarnya. Sebutnya saja nama Santa Theresia dari Lisieux, yang mengajak kita untuk menapaki “jalan kecil cinta”, tidak kehilangan kesempatan untuk sebuah kata ramah, untuk tersenyum, untuk suatu isyarat kecil apa pun yang memancarkan damai dan persahabatan. Cinta yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, menjadi cinta sosial yang adalah kunci hidup yang otentik.[36]
Seperti halnya santa Theresia, santo Yohanes dari Salib mengajarkan kepada kita bahwa yang baik yang terdapat dalam segala kenyataan dan pengalaman di dunia ini ditemukan dalam Allah secara istimewa. Jika menangkap kekaguman kemegahan gunung, ia tidak dapat memisahkannya dari Allah. Gunung gemunung adalah itulah Kekasihku bagiku.[37] Belajar dari dua orang kudus ini sungguh mempesona kekaguman dan ajakan mereka untuk mencintai ciptaan Tuhan. Lebih dari itu Bunda Maria dalam segala kecintaan dan ketaatannya pada kehendak Allah, merawat Yesus, sekarang merawat dunia yang terluka ini (ibu bumi) dengan kasih sayang dan rasa sakit seorang ibu. Bunda Maria tidak hanya menyimpan dalam hatinya seluruh kehidupan Yesus yang diasuh dengan setia (bdk. Luk 2:19, 51) tetapi juga memahami segala sesuatu. Karena itu, kita dapat meminta dia untuk membantu kita memandang dunia ini dengan mata yang lebih bijaksana.[38]
Dengan demikian persahabatan dengan alam adalah wujud dari solidaritas dengan pencipta yang telah memberikan kurnia yang begitu indah ini.  karena itu melalui “Jalan Kecil Cinta” dari Therese dan sapaan “Sang Kekasih” Yohanes dari Salib serta madah “ Saudaraku” dari Fransiskus Asisi yang menjadi miskin demi melihat keindahan dan kekayaan alam ciptaan Tuhan. Sehingga, nasihat dari orang-orang kudus ini menjadi sebuah suara kenabian yang mengajak manusia untuk menghentikan ekploitasi besar-besaran pada alam dengan menyerukan pertobatan kolektif demi keseimbangan ekologi yang diharapkan.  Suara profetis dan lembut dari para kudus ini menjadi mengajak kita untuk melihat rumah kita ini yang dicpitakan Tuhan dengan “sungguh amat baik adanya” (Kej 1:31).

5.3.      Gerakan Go Green Every Day

Gerakan Go Green every day, akan menjadi bernada dan bermakna praktis, jika hal itu diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Gerakan akan menjadi semangat hidup untuk menanamkan pada generasi muda kepekaan dalam membangun sebuah habitus mencinta. Dengan tindakan mencinta akan membawa pada pencerahan dan perubahan hidup yang sungguh terealisasi secara nyata dalam hidup sebagai orang yang beriman.
Dalam APP 2015, dikembangkan suatu sikap hidup baru yang dimaksudkan sebagai gerakan perubahan. Gerakan G2ED (Go Green Every Day) dapat dilihat dengan pola hidup sehat dan berkecukupan. Pola hidup sehat ini, sejatinya mengajak umat untuk membangun jalan pertobatan (Metanoia). Metanoia sejati bukan hanya terwujud dalam relasi vertical, antara manusia dan Ilahi; melainkan relasi horisental itu terbangun dari hubungan manusia dengan lingkungannya.[39] Dengan membangun vertikal dan horisental sebagai umat beriman, maka setiap orang dipanggil untuk melakukan aksi yang nyata. Aksi nyata itu menjadi aspiratif ketika didekatkan pada cara untuk mengoptimalkan lahan pekarangan, gerakan bersih dan sehat lingkungan dan gerakan keluarga sebagai seminari kecil.[40]
Selain itu juga gerakan go green, dapat diaplikasikan dalam sekolah dengan mengembangkan prinsip Living Values (Nilai-nilai kehidupan). Living values ini disebutkan sebagai: cinta kasih penghargaan, kedamaian, toleransi, kejujuran, kerjasama, tanggung jawab, kesederhanaan dan lain sebagainya. Aksi nyata dalam pendekatan ini adalah mengajak anak didik untuk memikirkan diri sendiri, orang lain dan dunia. Aplikasi dari pendekatan ini dapat berupa ajakan kepada para murid untuk berefleksi, berimajinasi, berdialog, berkomunikasi, berkreasi dan lain-lain. Dengan pendekatan ini dimaksudkan agar sedini mungkin dan sedapat mungkin anak dapat berproses untuk mengembangkan ketrampilan dan kepekaan sosial termasuk didalam kecintaan pada lingkungan hidup.[41]

6.            Ajakan Melestarikan Lingkungan Hidup

Setelah memaparkan keadaan lingkungan hidup sekarang dalam konteks gereja Katolik. Penulis kemudian menelusuri penulisan ini dengan mengajak “kita bersama” untuk memahami dan melihat lingkungan dalam bingkai pemahaman kekristenan. Pada hakekatnya Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala kebaikan yang diletakkan didalamnya. Kebaikan dari Tuhan ini adalah sebuah amanat untuk selalu memikirkan bagaimana kebaikan itu menjadi nyata dalam hubungan dengan sesama dan ciptaan Tuhan di dunia ini. dalam spiritualitas Kristen mengajak dan menawarkan jalan untuk kembali ke Taman Eden. Untuk memahami “hidup dalam Kristus” yang berimplikasi pada hidup baru dalam ekologi. “Kristus yang hidup” yang menjadi pusat terdalam kita. Bagaimanapun “Hidup dalam Kristus” merupakan cita-cita untuk dikejar manusia yang terbatas. Hidup dalam Kristus membawa manusia sampai pada tingkat untuk menjadikan hidup kita sebagai orang-orang yang sangat dibutuhkan dewasa ini. [42]
Menjadikan orang yang diperlukan dewasa ini sebagai orang yang “Hidup dalam Kristus” hal itu ditandai keterlibatan dalam menjaga alam semesta. Menjaga alam semesta atau lingkungan hidup, adalah dengan menjadi rekan kerja Allah. Co-creator yang peduli pada alam menjadi landasan hidup orang beriman.

Penutup

Lingkungan yang kita tinggali ini adalahanugerah dari pencipta bagi kita. “LAUDATO SI’,mi’ Signore, atau “Terpujilah Engkau Tuhan”. Dalam nyanyian yang indah ini Santo Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita dan seperti ibu jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.[43] Menjaga keutuhan ciptaan dan menghormati rumah tempat tinggal adalah sebuah panggilan hidup bagi kita. Ditengah maraknya pelbagai tindakan perusakan dan pengelolaan alam yang makin menjadi-jadi, ensiklik Laudato Si, memberi tanggapan kepada umat manusia untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan ciptaan Allah. Melihat dan menyaksikan kerusakan alam yang tandai dengan pembabatan hutan serta pembakaran hutan yang menyebabkan polusi, eksplorasi dan ekploitasi kekayaan alam dalam sektor pertambangan yang kurang memperhatikan dampak AMDAL, pemakaian pestisida, penggunaan plastik yang berlebihan, runtuhnya benteng moral terhadap penghormatan pada alam, sikap etis yang tidak ada lagi dalam diri manusia dewasa ini telah memberi indikasi pada terjadinya banyak, kelaparan, pemanasan global, rusaknya habitat hutan, tercemarnya air oleh limbah dan lain sebagainya adalah petaka moral dari manusia yang tidak bersikap etis pada alam. Dari semua itu alam menuntut tindakan manusia yang semena-mena dengan terjadi bencana alam dan krisis global.
Menyikapi semua itu kajian akan lingkungan hidup dalam persepktif kristiani adalah menghargai cinta pada Allah dengan mencintai ciptaan Allah. Karena itu aksi nyata dalam menangkal dan juga mengurangi kerusakan alam adalah dengan menyuarakan suara kenabian atau melakukan pertobatan ekologis. Ditengah pesatnya perkembangan teknologi ternyata jika tidak diimbangi dengan aspek kepedulian dan moral yang baik, konsekuensi akan meninggalkan kesenjangan sosial yang makin menjadi-jadi. Gaya hidup carpe diem (nikmati hari ini), seakan menjadi catatan buruknya moralitas manusia dewasa ini. Menikmati kekayaan alam hanya untuk saat ini dan tidak lagi memiliki tanggung jawab moral untuk anak cucu nanti, bukan hanya memberikan luka mendalam bagi anak generasi berikut; tetapi juga makin menjadi menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi atau kelompok. 
Karena itu suara profetis pantaslah dikumandangkan sebagaimana langkah bijak yang dilakukan oleh Gereja Katolik, yang menaruh perhatian pada kelestarian alam demi masa depan mendatang yang baik bagi generasi mendatang. Berteologi dengan lingkungan hidup adalah salah satu cara menyatakan panggilan sebagai pribadi yang diutus untuk mewartakan kabar baik dan menyatakan terang kasih Allah kepada banyak orang. Karena itu teologi dalam kaitan dengan disiplin ilmu lain telah menciptakan kesatuan dan sinergitas dalam kehidupan ini. Menyikapi tindakan bijak diatas, sebagai mahkluk sosial maka manusia atau kita dipanggil tidak untuk menjadi perusak atau menjadi monster bagi alam atau menjadi manusia menjadi serigala (homo homini lupus) bagi yang lain; tetapi menjadi menjadi sahabat dengan yang lain (homo homini socius).
Karena itu diperlukan kepekaan dan kebaikan dadlam diri kita untuk menjaga alam ataurusak kita dari kerusakan. Kepekaan (sense of belonging) demi untuk kesejahteraan bersama (bonum commune). Dari tindakan itulah manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan Allah akan menghantar pada pujian ; “Ya Tuhan, Tuhan Kami betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm. 8:2). 

Daftar Pustaka


Ensiklik
Paus Fransiskus. Surat Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, terj. Martin Harun Jakarta: Obor, 2015.
-------------------. Ensiklik Lumen Fidei, terj. Albertus Sujoko. Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2014.
Buku-buku
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Evelyn Tucker, Mary dan John A. Grim (ed.). Agama Filsafat & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Keraf, A. Sonny. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
--------------------. Etika Lingkungan. Jakarta: Buku Kompas, 2002.
Konferensi Waligereja Indonesia.  Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi.Yogyakarta dan Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
Seputra, Widyahadi A.dkk (ed.). Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, cet. ke 3. Jakarta: Sekertariat Komisi PSE/APP, 2010.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga, 2004.
Panitia APP Keuskupan Manado. Pola Hidup Sehat & Berkecukupan. Manado, 2015.

Artikel dan Majalah
Lewar, Hendrik.  “Ekologi: Edanisasi dan Edenisasi.” Vox seri 43/ 3 (2002), hlm. 55-60.
Manuk, Dismas L. “ Cleaning Servis di Kota Maumere dalam Terang Ekologi Arne Naess.” Vox Vol. 46/3 (2002), hlm. 126-132.
Gita Sang Surya, “Panggilan Merawat Saudari kita ibu bumi”, Sept-Okt, (2009).
Traktat kuliah
Hertanto, Gregorius. ”Pengantar Teologi”. Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2011.
Wuritimur, Amrosius. “Pengantar Berteologi” .Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2015.
Nota Pastoral dan Surat Kabar
KWI, “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan” .Nota Pastoral KWI: Jakarta, 2013.
Chang, William. “ Kecerdasan Ekologis,” Kompas.7  Desember 2009.


[1] Bdk. Amrosius Wuritimur, “Pengantar Berteologi” (Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2015), hlm. 1.  
[2] Bdk. Ibid., hlm. 3
[3] Bdk. Gregorius Hertanto, ”Pengantar Teologi” (Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2011), hlm. 7.  
[4] Wuritimur, “Pengantar Berteologi”, hlm. 7.
[5] Ibid., hlm. 11.
[6] Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta dan Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996), hlm. 151.
[7] Bdk. A. Widyahadi Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, cet. ke 3 (Jakarta: Sekertariat Komisi PSE/APP, 2010), hlm. 8.

[8] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, terj. Martin Harun (Jakarta: Obor, 2015), hlm. 10.
[9] Bdk. KWI, “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan” (Nota Pastoral KWI: Jakarta, 2013), hlm. 1.
[10] Gerakan Ecopastoral adalah bukan sekedar memanfaatkan alam, merawat alam, memelihara alam melainkan mengubah relasi subordinatif manusia alam menjadi relas kasih subjek-subjek. Pada akhirnya sikapdari Ekopastoral adalah membangun hati manusia yang mati-rasa menjadi hati yang peduli pada alam. Ekopastoral mendampingi iman umat bukan iman yang sermonial, melainkan iman yang liberatif, iman yang membebaskan manusia dari kuat kuasa dosa. Ekopastoral dengan demikian mengembalikan lingkungan hidup sesuai dengan kehendak Sang Pencipta sendiri. Bdk. Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup, hlm. 73.
[11] Bdk. ibid., hlm. 12.
[12] William Chang, “ Kecerdasan Ekologis,” Kompas (7 Desember 2009), hlm. 5.
[13] Bdk. N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 25.
[14] Bdk. Hendrik Lewar, “Ekologi: Edanisasi dan Edenisasi” Vox seri 43/ 3 (2002), hlm. 55-57.
[15] Bdk. Gita Sang Surya, “Panggilan Merawat Saudari kita ibu bumi”, Sept-Okt, (2009), hlm. 10.
[16] Bdk. William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 49.
[17] Bdk. A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 79.
[18] Bdk. Chang, Moral Lingkungan Hidup, hlm. 26-27.
[19] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 51.
[20] Santo Fransiskus dari Asisi dalam ungkapan indahnya  tentang alam semesta yang disebutnya dalam Gita Sang Surya. Santo Fransiskus menyebut alam ciptaan sebagai saudara. Demikian ungkapan dari Santo Fransiskus terhadap alam ciptaan; “Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari, melalui dia kami Kauberi terang. Ibid., hlm. 165.
[21] Ibid., hlm. 59-60.
[22] Ibid., hlm. 62.
[23] Bdk. Chang, Moral Lingkungan Hidup, hlm. 64-65.
[24] Bdk. Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup, hlm. 29-30.
[25] Bdk. Lukas 10:25-28.
[26] Bdk. Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 159.
[27] Bdk. Paus Fransiskus, Ensiklik Lumen Fidei, terj. Albertus Sujoko (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2014), hlm. 97-98.
[28] Ibid., hlm. 117.
[29] Ibid., hlm. 119.
[30] Bdk. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm. 76.
[31] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 157-158.
[32] Bdk. Ibid., hlm. 169.
[33] Bdk. Keraf, Etika Lingkungan, hlm. 46.
[34] Bdk. Dismas L. Manuk, “ Cleaning Servis di Kota Maumere dalam Terang Ekologi Arne Naess,” Vox Vol. 46/3 (2002), hlm. 129-130.
[35] Ibid.
[36] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 170.
[37] Ibid., hlm. 173.
[38] Ibid., hlm. 179.
[39] Bdk. Panitia APP Keuskupan Manado, Pola Hidup Sehat & Berkecukupan (Manado, 2015), hlm. 10.
[40] Ibid., hlm. 11-13.
[41] Bdk. Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup, hlm. 185.
[42] Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim (ed.), Agama Filsafat, & Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 97-98.
[43] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 1.