BERTEOLOGI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP
Daftar isi…...……………………………………………………………………..…………….1
Daftar Pustaka…………………………………………………………...……………………21
Kehidupan manusia tidak dapat
dilepaskan dari hubungan dengan alam sekitarnya. Keterkaitan manusia dengan
alam sekitar atau lingkungan hidup ditandai dengan perjumpaan sebagai ciptaan
Tuhan yang saling menghormati. Dalam paper ini, fokus yang hendak diangkat
dalam pembahasan disini adalah bagaiaman hubungan teologi dengan ilmu
pengetahuan. Sebagaimana teologi memiliki kaitan dengan disiplin lain, maka
dalam paper ini fokusnya adalah hubungan antara teologi dan ekologi. Hubungan
ini ditandai dengan tanggapan gereja terhadap lingkungan hidup. Dalam penulisan
paper mengenai berteologi tentang lingkungan hidup ini lebih banyak merujuk Ensiklik
dari Paus Fransiskus, Laudato Si. Ensiklik
ini membahas tentang lingkungan hidup dan tanggapan gereja terhadap lingkungan hidup.
Melalui sumber-sumber yang dibahas dan ditemukan ini, maka tujuan dari
penulisan paper ini adalah memberikan pertanggungjawaban secara teologi
terhadap lingkungan hidup. Dan bagaimana semestinya manusia menyikapi problem
lingkungan hidup terjadi sekarang ini.
Studi
tentang teologi, merupakan dasar pengenalan akan pengetahuan mengenai teologi.
Berteologi adalah suatu studi yang menghantar setiap orang untuk memahami dan
menelusuri apa itu teologi, dan bagaimana teologi memiliki kedudukannya sebagai
ilmu yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Belajar teologi dalam hal
ini mencoba untuk mempertanggung jawabkan iman. Dengan iman yang direfleksikan
akan membantu orang untuk sampai pada pemahaman dan tindakan.
Teologi sebagai induk dalam lingkup teologi, Gereja dalam kehadiran di tengah
kehidupan manusia senantiasa memberikan perhatian terhadap lingkungan hidup.
Menjaga kelestarian alam semesta dan mengupayakan pengelolaan yang sebijaksana,
menjadi panggilan dari Gereja Katolik terhadap lingkungan hidup. Lingkungan
hidup merupakan tempat tinggal dari manusia. Dewasa ini, lingkungan hidup
sebagai tempat tinggal manusia menjadi rusak dan tak lagi memperlihatkan
keindahan. Pelbagai kemajuan yang dialami oleh manusia telah menjadi manusia
sebagai penguasa alam semesta dan membuat manusia tidak lagi respek terhadap
kehidupan dalam alam semesta.
Untuk
mendalami apa yang dimaksudkan tentang berteologi terhadap lingkungan hidup. Pada
bagian selanjutnya ini akan diberikan paparan mengenai kaitan teologi dan ekologi
dalam konteks Gereja Katolik.
Teologi
berasal dari bahasa Yunani, dan merupakan kombinasi dari kata theos dan logos. Theos yang berarti Allah, sedangkan logos berarti ilmu atau
ajaran. Jadi secara etimologis kata teologi dimengerti sebagai ilmu atau ajaran
tentang Allah.
Melalui pengertian ini teologi dipahami sebagai ilmu tentang Allah, atau ilmu
memahami ajaran Allah dari perspektif Kristen.
Dalam
pengertian teologi dapat dimengeri sebagai kerinduan untuk manusia mengenal
penciptanya. Dan sekiranya teologi dapat dibedakan sebagai teologi implisit dan
teologis eksplisit. Teologi implisit berhubungan dengan olah rasa (aktivitas
umat beriman) sedangkan teologi eksplisit berhubungan dengan olah nalar
(rasio/akal budi).
Dari pengertian tentang teologi ini kemudian memunculkan pertanyaan. Mengapa
belajar teologi? Dari pertanyaan ini menghantar kita pada pengenalan akan
Allah, bahwa sebagai ilmu iman teologi memberikan pemahaman kepada manusia
untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan iman seseorang. Sehingga dari
pengertian teologi sebagai ilmu iman atau ajaran tentang Allah akan menghantar
pada manusia untuk makin mencintai Allah.
Teologi
tidak hanya ilmu tentang iman, tetapi teologi sebagai ilmu pengetahuan. Dalam
hal ini teologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan
pengetahuan objektif dan bertalian yang diperoleh secara metodis, sistemastis,
dan kritis untuk menemukan suatu keterangan yang berlaku umum dalam bidang dan
segi tertentu dari kenyataan.
Dari pemahaman ini teologi tidak hanya berdiri sendiri sebagai ilmu yang mutlak
dan tidak memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain, melainkan dalam hal ini
teologi bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya. Dalam hal ini teologi bukan
hanya ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu lain, tetapi teologi adalah ilmu
pengetahuan iman. Ia lahir dari fakta bahwa iman adalah juga pemahaman.
Sehingga dapat disebutkan di sini bahwa teologi memiliki kaitan dengan ilmu
lain untuk dapat menemukan kebenaran melalui ajaran iman.
Kesadaran manusia yang berasal dari Allah yang
diciptakan secitra dengan Allah (imago
Dei). Dalam hal ini manusia menjadi “wakil Allah” didunia ini. sebagai
gambar Allah, maka hal ini tidak hanya dimengerti secara personal, melainkan
perlu dipahami secara sosial dan ekologis. Hal ini menandakan didalamnya
terkaitan hubungan dan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan alam
semesta.
Ekologi diartikan
sebagai cabang biologi yang mempelajari hubungan antara makhluk dan
lingkungannya. Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos dan Logos. Oikos
diartikan sebagai habitat atau rumah tempat tinggal sedangkan logos adalah
ilmu. Sehingga ekologi dipahami sebagai ilmu yang mempelajari mahluk hidup
sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Merujuk pada kata oikos dan logos, komponen kedua kata ini memiliki implikasi suci, seperti
halnya dalam Yoh. 1:1 dan dalam kitab Kebijaksanaan yang menunjuk logos dengan penuh misteri. Dengan demikian
kata ekologi menunjukan kedalaman tak
terhingga serta makna misteri tentang tempat tinggal.
Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, maka setiap orang terpanggil untuk menjaga
lingkungan hidup. Ekologis dipahami sebbagai tempat tinggal bersama yang
ditinggali oleh mahluk hidup, maka sudah sepantasnyalah manusia yang hidup
didalamnya memperlakukan alam sekitarnya secara hormat.
1.1.
Berteologi
dengan Lingkungan Hidup
Dalam
pembahasan pada bagian awal paper ini telah disebutkan mengenai fokus atau
sasaran dalam penulisan ini. sebagaimana yang disebutkan itu, maka pada bagian
ini akan diberikan paparan tentang berteologi dengan lingkungan hidup. Hal yang
dimaksudkan di sini adalah bagaimana teologi memberikan kajian sekaligus
tanggapannya terhadap pelbagai fenomena yang terjadi dan memberikan pengaruh
dalam kehidupan umat manusia.
Berteologi dengan lingkungan hidup
disini adalah lebih banyak merujuk pada ensiklik dari Bapa suci Paus Fransiskus
dalam ensiklik Laudato si. Paus Fransiskus menyebutkan demikian: “Tantangan
yang mendesak untuk melindungi rumah kita bersama mencakup upaya untuk
menyatukan seluruh manusia. Sang pencipta tidak meninggalkan kita; Ia tidak
pernah meninggalkan rencana kasih-Nya atau telah menyesal memciptakan kita.
Umat manusia masih memiliki kemampuan bekerja sama dalam membangun rumah kita
bersama.”
Paus Fransiskus dalam ensikliknya ini memberikan seruan untuk melindungi “rumah” tempat tinggal manusia. Sebagai tempat
tinggal manusia, maka manusia diajak untuk menjaga dan melestarikan lingkungan
hidup.
1.2. Partisipasi Gereja dalam menjaga
dan merawat bumi
Dalam Nota Pastoral Konferensi
Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2012, yang berjudul : “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan,” dalam
Nota Pastoral ini dimaksudkan sebagai pembelajaran pribadi atau bersama dengan
seluruh umat dan siapapun yang mempunyai kepedulian pada masalah-masalah
lingkungan hidup dan usaha-usaha untuk menjaga, memperbaiki, melindungi dan
memulihkannya.
Nota pastoral ini menjadi bentuk partisipasi dan juga perhatian (option) gereja untuk menjaga dan merawat
bumi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Nota pastoral ini menjadi panggilan
gereja untuk melestarikan keutuhan ciptaan dengan tindakan pastoral lingkungan
hidup (ecopastoral)
yang diupayakan oleh Gereja Katolik di Indonesia sebagai persekutuan umat
beriman.
Pada tahun ini tepatnya pada Aksi Puasa
Pembangunan (APP) Keuskupan Manado mengangkat Tema APP tahun 2015: “pendidikan pola hidup sehat dan
berkecukupan demi mewujudkan hidup sejahtera”. Tema ini menjadi gaung dan
juga upaya dari gereja untuk memberi perhatian bersama dengan umat beriman
untuk membangun prioritas dalam upaya membangun dan juga menyeimbangkan hidup
yang sehat dan berkecukupan. Dalam kerangka tersebut gereja mengajak umat untuk
merawat lingkungan hidup dengan aksi nyata dalam kehidupan harian.
Sehubungan dengan Nota pastoral yang
diatas tadi maka, masalah lingkungan hidup merupakan masalah bersama. Karena
itu umat kristiani diajak untuk membangun kerjasama dengan siapapun. Kerjasama
itu dapat terwujud dalam diskusi, seminar atau gerakan-gerakan lainnya, yang
didorong bukan karena adanya kerusakan lingkungan. Tetapi merupakan panggilan
dan perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan Pemeliharaan kehidupan.
Dengan demikian, panggilan untuk merawat dan menjaga bumi adalah amanat
sekaligus juga tanggung jawab sebagai pribadi yang beriman akan Tuhan yang
menciptakan lingkungan hidup ini dengan sikap yang bijaksana.
Pertanyaan
yang tersaji dalam judul ini,
menyiratkan pesan bahwa lingkungan hidup sekarang ini mengalami kerusakan atau chaos (kekacauan). Tanpa berpikir
panjang dan melihat fenomena dan realita yang terjadi sekarang ini,
memperlihatkan bahwa lingkungan hidup perlu dibenahi dan dirawat. Pertanyaan
ini kemudian mengelinding dengan cepat dan indikasi yang ditemukan didalamnya
adalah terjadi kesenjangan antara alam dan manusia. Disini penulis memakai
ungkapan William chang, mengenai
perlu “kecerdasan ekologis”. Dalam hal kecerdasan
ekologis, tertuang dalam bentuk kearifan lokal. Alam semesta bukan hanya
menjadi sumber untuk dieksploitasi, tetapi menjadikan alam semesta sebagai
rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata dan bukan
dihancurkan. Kecerdasan ini mengingatkan manusia untuk tidak boleh membiarkan
masa depan bumi ini terancam dengan adanya pemanasan global. Dalam kecerdasan ekologis
ini, manusia mengarahkan kualitas hidupnya untuk membangun gerakan yang ramah
lingkungan, dengan memberikan prioritas pada keselamatan alam semesta.
Pada
bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan problem
yang terjadi dalam lingkungan hidup.
Lingkungan
sebagai tempat tinggal menjadi tempat untuk manusia membangun relasi dengan
alam sekitarnya. Dalam lingkungan hidup interaksi antar berbagai komponen akan
menjadi harmoni. Harmoni atau keseimbangan yang demikian adalah tergantung pada
manusia. Mengapa demkian? Pada hakekatnya lingkungan hidup adalah bersifat antroposentris, artinya lingkungan hidup
itu dipelihara, dibangun atau dikelolah dengan sebaik-baiknya demik kepentingan
dan kelangsungan kehidupan generasi-generasi berikutnya. Karena itu manusia diberikan kebebasan oleh
Allah untuk menguasai alam dan dengan penuh kesadaran, kepedulian dan kewajiban
memperlakukan alam atau bumi ini dengan sebaik-baiknya. Manusia bukanlah menjadi
mahluk perusak (destroyer), melainkan
hendaknya menjadi penjaga yang merawat dan melindungi alam semesta ini sebagai
ciptaan Allah.
Lingkungan
hidup sekarang ini menjadi edan, dan
tidak lagi memperlihatkan keindahan Taman Eden sebagaimana dalam kitab
kejadian. Sungguh demikian parahnya sehingga alam semesta ini menjadi edan, dan pesona Taman Eden itu tidak
lagi nampak? Mungkin sekelumit ungkapan ini memiliki kebenaran, alasannnya
bahwa sekarang ini bumi telah menjadi kotor, berbau, berpolusi, beracun, berkeruh
dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu keakraban dan keharmonisan yang
menghantar pada kebahagiaan seluruh ciptaan tidak lagi terlihat. Titik puncaknya
adalah terjadinya krisis ekologi dan sebabnya yang ditandai dengan adanya; kemiskinan, mentalitas dan gaya hidup,
lemahnya kebijaksanaan dan runtuhnya benteng moral dan religiositas manusia.
Karena itu manusia dipanggil untuk mengembalikan citra Eden itu untuk
menciptakan harmoni dalam kehidupan ditengah masyarakat.
Dalam
Kitab kejadian 1:28, terungkap disana sebuah perintah untuk menguasai. Konsep
untuk menguasai ini kemudian dianalogikan sebagai tindakan penguasaan yang
semena-mena terhadap alam. Perintah tersebut dijadikan sebagai alasan untuk
melakukan penguasaan terhadap alam tanpa
batas. Dalam hal ini manusia telah terpesona oleh konsep kuasa dan penaklukan
seperti yang ada dalam kitab kejadian1:26-28. Akibat kuasa yang salah ini
manusia berada dalam tindakan yang sesuka hati untuk merusak tanah termasuk
tanah yang menjadi “ibu” bagi mahluk
hidup. Akibatnya manusia kemudian kehilangan (lost) konsep untuk “memelihara dan mengusahakannya” seperti yang
ada dalam Kitab kejadian 2:15.
Kekeliruan
manusia dalam menafsirkan teks Kitab Suci ini memberi dampak yang negatif pada
pengelolaan dan pengusahaan alam semesta. Konsep manusia seperti yang ada dalam
kitab suci itu disalah artikan dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan
terhadap keharmonisan pada alam. Hal ini memberi kesan bahwa manusia menjadi
pribadi yang rapuh dan kebebasan yang diberikan direlativir dengan melakukan
perusakan. Seyogianyalah manusia melakukan tugas sebagai partner Allah yang
bertugas untuk pro lingkungan atau juga pro
life.
Ketika
kita membaca dalam kitab kejadian 1:10, disebutkan bahwa Allah menciptakan
semuanya baik adanya. Allah melihat segala yang dijadikan-Nya adalah baik,
namun kebaikan itu kemudian dibelokan oleh manusia. Bab-bab awal dalam kitab
kejadian antara lain melukiskan permenungan klasik tentang peristiwa
penciptaan. Penulis dalam kitab kejadian ini tidak memandangnya bahwa perintah
untuk menguasai adalah pernyataan akan kuasa yang tak terbatas, akan tetapi
dihadapan mata Tuhan mahkluk ciptaan nonmanusia dan manusia diandaikan
membentuk suatu komunitas mahluk ciptaan, dan dalam komunitas itu manusia
memiliki tanggung jawab.
Munculnya fenomena bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini memperlihatkan
bahwa alam terusik karena kenyamanan dan kelestariannya diusik oleh tangan
manusia yang bekerja dengan pongah
dan menjadi pengarap bumi yang makin brutal. Bila kita melihat sebagaimana
manusia diciptakan baik adanya maka, semestinya tangan manusia dikerjakan untuk
menjadi pekerja yang trampil dan berbudi serta memiliki kepekaan pada alam
sekitarnya.
Karena
itu bencana yang terjadi seperti di Manado pada awal tahun 2014 dan juga
bencana tanah longsor serta banjir di berbagai daerah di Indonesia, adalah
catatan-catatan kecil dari rusak alam karena ulah manusia. Harmoni alam yang
damai kemudian menjadi musuh dari manusia karena tak sedikit kerugian material
bahkan jiwa manusia yang harus dibayar dan dikorbankan.
Cara
pandangan ‘yang salah’ tentang alam
semesta menjadikan manusia menjadi pusat dalam alam semesta (antroposentrisme).
Sikap ini menyebutkan bahwa manusia memiliki nilai dan berharga hanya pada
dirinya, sedangkan alam dan segala isinya hanyalah sarana atau alat untuk
memenuhi kepentingan manusia.
Situasi demikian memberikan peran bahwa manusia adalah aktor dan penentu dalam
kehidupan semesta. Kerusakan alam menjadi ibu
bumi menangis, hal ini sangat beralasan dimana ada banyak bencana alam yang
terjadi menyirat pesan bahwa kehidupan saat berada pada krisis pada lingkungan
hidup.
Menyikapi
fenomena demikian, barangkali perlu dikaji dan ditegaskan kembali sebagaimana
yang tertuang dalam kitab suci yakni dalam Mazmur 104, yang bermaksud untuk
mengatakan bahwa alam semesta memiliki dua makna; yakni alam semesta adalah
tempat pertemuan dengan Tuhan; namun serentak pula berjarak dengan Tuhan. Dalam
hal ini cinta kasih yang menghubungkan Tuhan dengan alam semesta. Dalam kitab Mazmur
ini memberikan pemaknaan bagaimana tiap benda adalah buah sabda Tuhan, dan karena
itu ciptaan membawa makna dalam dirinya.
Dengan
demikian manusia sebagai partner dipanggil
untuk menjadi rekan kerja dalam mengawal dan melihat fenomena alam. Bumi yang
ditempati ini adalah berkat sekaligus juga amanat yang harus dijaga dan dilestarikan
secara terus-menerus demi kelangsungan hidup generasi mendatang.
Ensiklik
Laudato Si’ yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 18 Juni 2015, tentang
perawatan rumah kita bersama. Bapa Suci dalam ensiklik ini memberikan beberapa
seruan dan juga penegasan untuk merawat lingkungan hidup. Seruan dari Bapa Suci
mengenai lingkungan ini mengaris bawahi beberapa hal penting yakni; polusi limbah dan budaya buang sampah,
masalah air, kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global,
tanggapan-tanggapan yang lemah, dan keragaman pendapat. Hal-hal merupakan
bagian penting yang disorot dalam ensiklik ini.
Lebih
lanjut lagi dalam bab II dalam ensilik ini mengenai kabar baik penciptaan. Dalam hal ini peranan teologi dan
pesan-pesan Kitab suci memberikan batasan dan penegasan tentang penciptaan.
Dalam hal ini ditunjukan bahwa tanggung jawab terhadap bumi milik Allah. Hal
ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, hendaknya menghormati
hukum alam dan keseimbangan yang lembut antara mahluk-mahluk dunia ini, sebab
“Dia memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar” (Mzm. 148:5b-6).
Tugas dan peranan manusia adalah memberikan batasan yang jelas dalam mengelolah
kehidupan alam semesta. Karena itu manusia menjadikan alam semesta sebagai
saudaranya
yang memberikan kekayaan hidup manusia. Itulah sebabnya Gereja tidak hanya
berusaha untuk mengingatkan akan tugas pewartaan alam, tetapi sekaligus “terutama
ia harus melindungi umat manusia dari penghancuran diri”.
Alam semesta merupakan kehadiran Allah, sehingga akan menjadi keliru bilamana
ciptaan lainnya dijadikan sebagai objek oleh manusia untuk memenuhi
keinginannya. Cita-cita harmoni, keadilan, persaudaran dan perdamaian yang
Yesus tawarkan adalah kebalikan dari model seperti itu, dan berkaitan dengan
penguasa pada zaman-Nya Ia menyatakan demikian: penguasa-penguasa bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi
dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah
demikian diantara kamu. Barangsiapa menjadi terbesar hendaklah ia menjadi
pelayanmu” (Mat. 20:25-26).
Dalam
hal ini ensiklik ini mengajak manusia untuk memperlakukan alam dengan
sebaik-baiknya dan menjadikan alam itu sebuah rumah yang ditempat dan dijaga
kelestarian kehidupan yang terkandung di dalamnya.
Paus
Yohanes Paulus II, pada tahun 1987 dalam peringatan 20 tahun kehadiran ensiklik Populorum Progressio menampilkan
analisis baru tentang krisis lingkungan. Dalam ensiklik ini, Paus menyadari Pertama, bahwa pemanfaatan mahkluk
ciptaan, selalu menimbulkan akibat yang tidak dihindarkan. Kedua, terdapat ciri keterbatasan sumber-sumber alam. Ketiga, industrialisasi selalu menambah
kontaminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat.
Hal yang sama dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus
Annus, yang kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan teologi yang kian
berat. Dalam hal ini manusia seharusnya menjadi kolaborator dengan Tuhan dan
karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Dimensi
tanggung jawan dititikberatkan oleh Paus.
Kehadiran dari dua ensiklik dari
Paus Yohanes Paulus II, memberikan tanggapan Gereja atas situasi yang terjadi
dalam dunia. Tanggapan ini merupakan sikap gereja untuk bekerja bersama dalam
menciptakan alam yang penuh dengan keharmonisan. Singkatnya dalam ensiklik ini,
mengajarkan dan mengarahkan manusia pada pengenalan akan keindahan alam. Dalam
alam itu manusia hendaknya mengakui, menghormati dan menghargai alam ciptaan
Tuhan dengan segala keindahan dan keberagamannya.
Paus Benedictus XVI pada tanggal 25 Desember
2005 menandatangani Ensikliknya yang pertama “Deus Caritas Est” (DC). Ensiklik
ini berjudul ‘Allah Adalah Kasih’. Ensiklik ini secara umum tidak menyoroti
masalah lingkungan, namun dalam ensiklik ini cinta itu timbul dari keinginan Eros, yang pada dasarnya baik, namun
mesti dimurnikan. Hal ini dimaksudkan dengan ditransformasikan menjadi kasih Agape,
yakni pemberian diri sepenuhnya kepada orang lain. Dalam ensiklik ini Gereja
bukan melawan cinta, tetapi menganjurkannya sebagai kasih yang menetap dan tak
berkesudahan. Merenungkan apa yang tertuang dalam ensiklik ini, menampilkan
bahwa kehidupan di dunia sekarang ini membutuhkan keadilan. Tekanan pada sikap
keadilan sosial itu diperparah dengan adanya pengrusakan lingkungan hidup.
Dengan demikian, dalam ensiklik ini cinta itu senantiasa mengarahkan manusia
untuk selalu membangun kepekaannya terhadap lingkungan hidup. Sehingga jurang
yang membelah pencarian keadilan sosial dapat di temukan melalui tindakan
memperlakukan alam secara adil dan bijaksana, sebagaimana manusia mencintai
Tuhan dan mencintai sesama manusia itu sendiri.
Beberapa ensiklik diatas ini adalah bukti
dan peran keseriusan Gereja dalam menjaga dan melestarikan alam ciptaan Tuhan.
Sehingga melalui beberapa ensiklik ini (dan masih ada beberapa yang lain lagi),
gereja menampilkan wajah Kristus yang selalu memberikan perhatian pada yang
miskin dan kecil. kepada mereka yang tak mendapar keadilan dan yang terabaikan
akibat eksplorasi manusia yang makin menjadi-jadi. Sehingga Gereja Katolik tidak
hanya hadir untuk mendalami ajaran tentang Tuhan, tetapi dalam teologinya itu
gereja terjun dan memberikan option pada
kehidupan manusia seluruhnya.
Pada
bagian pertama dalam paper ini telah diberikan batasan dan fokus dari
hubungan teologi dengan ekologi. Batasan
itu telah ditunjukan dengan memperlihatkan beberapa kajian dan pandangan Gereja
Katolik terhadap dimensi hidup manusia yang senantiasa bersentuhan dengan alam
ciptaan manusia.
Selanjutnya
dalam paper ini akan diberikan langkah bijak atau aplikasi hidup yang dapat
dilaksanakan dalam menggali dan menemukan makna hidup manusia. Langkah bijak
ini bersumber pada tempat dan peranan dari lembaga hidup dalam menciptakan alam
yang penuh dengan keindahan dan keharmonisan alam.
Lingkungan
keluarga dapat menjadi tempat untuk memberikan pendidikan terhadap lingkungan
hidup. Pada bab VI dari ensiklik Laudato Si, diberikan penegasan akan pentingnya
pendidikan dan spiritualitas ekologis. Pendidikan ekologis dapat dilakukan
dalam berbagai konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, katakese, dan
lain-lain. Dalam hal ini peran keluarga sentral karena dalam keluarga
didalamnya dikembangkan kebiasaan awal untuk mencintai dan melestarikan
lingkungan hidup. Keluarga adalah pembinaan integral, dimana pematangan pribadi
dikembangkan dalam pelbagai aspek yang saling berhubungan. Tindakan sopan
santun yang sederhana dan tulus ini membantu membangun budaya kehidupan bersama
dan sikap hormat pada lingkungan hidup.
Hal ini hendak memberikan penegasan bahwa keluarga menjadi lembaga moral
pertama yang mendidik individu (anak) untuk menghormati lingkungan hidup. Hal
sederhana dan kecil yang dikembangkan dan diterapkan dalam keluarga adalah dengan
membangun keteladan untuk mencintai alam semesta. Paus Fransiskus dalam
ensiklik Lumen Fidei, menyebutkan
bahwa dalam keluarga iman menemani tahap kehidupan. Dalam diri anak atau orang
muda, perjumpaan dengan Kristus telah membiarkan diri ditangkap dan dibimbing
oleh kasih-Nya. Dengan iman itu memastikan bahwa cinta itu dapat dan layak
dipeluk berdasarkan pada kesetiaan Allah yang lebih kuat dari kelemahan
manusia.
Dengan cinta dari orang tua kepada anak telah membentuk dan membawa anak mereka
untuk memiliki kepekaan dan mampu memahami pemahaman akan cinta yang integral
yang melibatkan lingkungan hidupnya.
Masyarakat
senantiasa bersentuhan dengan lingkungan hidup. Sadar atau tak sadar dominasi
dari manusia sering menciptakan kesenjangan hidup yang tidak fleksibel.
Pertambahan populasi manusia dan berkembang pesatnya teknologi telah
bersentuhan langsung dengan pengelolaan alam oleh masyarakat. Ekologi manusia
menyiratkan hal di dalamnya hubungan manusia dan hukum moral. Paus Benedictus
XVI menegaskan tentang suatu ekologi manusia mengingat manusia memiliki sifat
dasar yang perlu dihormati dan tidak dimanipulasi.
Dalam masyarakat global sekarang terjadi banyak ketimpangan dan makin banyak
orang yang terpinggirkan, dirampas hak-hak asasinya, prinsip kesejahteraan
umum. Hal ini menjadi solidaritas dan prioritas bagi kaum miskin.
Kesenjangan
ini memberi indikasi pada pengerukan kekayaan bumi tanpa ada prinsip hormat
pada alam. Teori etika yang popular yang popular sekaedang ini adalah Deep Ecology (DE), yang digagas oleh
Arne Naess (1973). Dalam DE menuntut etika yang tidak lagi menempatkan manusia
sebagai pusat (antrposentrisme), melainkan etika ini pusatnya dapa mahkluk
hidup yang dalam kaitannya berusaha mengatasi persoalan lingkungan hidup. Daam
etika lingkungan hidup yang dikembangkan oleh DE dirancang sebagai etika
praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya prinsip-prinsip moral etika harus
diterjemahkan dalam aksi nyata.
Gerakan yang dikembangkan oleh Naess adalah menciptakan sebuah kebijakan atau
kearifan yang disebutnya dengan istilah ecosophy,
hal berarti mengatur hidup yang selaras dengan
Dalam
lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan ensiklik Laudato Si memberikan ajakan
untuk memiliki kepekaan terhadap lingkungan hidup. Pendidikan itu bertujuan
untuk menciptakan suatu “kewarganegaraan
ekologis”, sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara ciptaan
dilakukan dengan tindakan kecil sehari-hari, dan sangat penting untuk mendorong
orang untuk menjadikan suatu gaya hidup. Pendidikan ekologis dalam tanggung
jawab ekologis dapat mendorang berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung
dan signifikan untuk pelestarian lingkungan hidup, dengan menghindari
penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, pemilahan sampah dan
lain sebagainya.
Pendidikan
dalam lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan dalam hal ini seperti Seminari
dan rumah bina, diajak untuk senantiasa mengkomunikasikan dan pentingnya kepekaan
lingkungan hidup. Yesus dalam Injil mengingatkan akan kasih persaudaraan hanya
mungkin bila tanpa pamrih dan bukan balas jasa. Sikap tanpa pamrih itu
mendorong kita untuk mencintai alam dalam persaudaraan universal.
Gambaran
akan kerusakan dan kesenjangan alam semesta memberikan penekanan akan kesadaran
kolektif dari manusia untuk melakukan gerakan perubahan dalam tindakan nyata
sehari-hari. Mengembalikan citra alam yang rusak dengan nyata adalah sebuah
langkah bijak dalam pembangunan kesadaran hidup. Gereja dalam seruan melalui
ensiklik Para Paus yang menyuarakan akan keseimbangan alam yang benar-benar
dicita-citakan oleh banyak orang.
Upaya
mengembalikan citra alam dengan tindakan nyata dalam hidup sehari-hari, dapat
dilakukan dalam berbagai cara yang ada dibawah ini.
Masalah
sampah adalah menjadi masalah yang meresahkan ketika hal itu tidak dikelolah
dengan baik. Sampah rumah tangga khususnya dalam kota-kota besar dan kota kota
yang sedang berkembang telah memicu masalahnya pencemaran lingkungan. Kemajuan
industri dan perubahan gaya hidup modern telah menjadikan manusia menjadi
menciptakan mentalitas konsumtif. Plastik adalah salah satu konsumsi manusia
modern; selain juga makanan kaleng dan jenis minuman siap saji (fast food).
Masalah
sampah menjadi masalah yang urgen untuk diselesaikan. Bertambahnya populasi
manusia dan pesatnya produksi produk-produk yang memberi konsekuensi pada
bertambahnya volume sampah. Adanya para petugas
kuning yakni mereka yang bekerja sebagai pengangkut sampah, tidak akan
membawa efek yang baik bila tidak ada kerjasama dari warga masyarakat. Jika ditelaah
lebih jauh peranan dari petugas cleaning servis ini, sumbangsih mereka adalah
sebuah panggilan menjadi co-creator Allah yang memiliki tanggung jawab atas
alam ciptaan (bdk. Kej. 1:26-31). Dapat dikatakan bahwa para petugas kebersihan
ini menghidupi semangat hidup kristiani, yakni seluruh alam semesta ikut serta
dalam kemuliaan kebangkitan (Rom 8:19-33), dan menghadirkan “ bumi baru dan
langit baru” (2 Pet 3:13-14).
Mengutip pernyataan Banariwatma dan Muller dalam bukunya “Berteologi Lintas
Sosial Ilmu” menjelaskan pemahaman mengenai peranan manusia sebagai Imago Dei/ Image of God. Panggilan pada
manusia itu adalah ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan Allah. Sebagai
mitra Alllah manusia menjadi co-opreator dan
co-creator Allah. Dalam konteks ini
manusia dipandang sebagai Partner Allah atau rekan kerja Allah.
Dengan
demikian panggilan untuk melestarikan tidak hanya diletakkan pada mereka yang
bekerja seabagai petugas sampah. Tetapi menjaga dan melestarikan alam dari
dampak kotornya oleh sampah adalah panggilan kita bersama untuk menyikapinya. Dengan adanya budaya bersih akan
menjadikan kita sebagai penghuni “rumah bumi” ini akan membantu kita untuk
sehat secara ekonomis, psikologis dan social.
Menjadikan
lingkungan sahabat kita merupakan wujud dari kecintaan terhadap lingkungan
hidup. Seperti halnya dalam Gereja terdapatlah orang-orang kudus yang
senantiasa respek pada alam sekitarnya. Sebutnya saja nama Santa Theresia dari
Lisieux, yang mengajak kita untuk menapaki “jalan
kecil cinta”, tidak kehilangan kesempatan untuk sebuah kata ramah, untuk
tersenyum, untuk suatu isyarat kecil apa pun yang memancarkan damai dan
persahabatan. Cinta yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, menjadi cinta sosial
yang adalah kunci hidup yang otentik.
Seperti
halnya santa Theresia, santo Yohanes dari Salib mengajarkan kepada kita bahwa yang
baik yang terdapat dalam segala kenyataan dan pengalaman di dunia ini ditemukan
dalam Allah secara istimewa. Jika menangkap kekaguman kemegahan gunung, ia
tidak dapat memisahkannya dari Allah. Gunung gemunung adalah itulah Kekasihku
bagiku.
Belajar dari dua orang kudus ini sungguh mempesona kekaguman dan ajakan mereka
untuk mencintai ciptaan Tuhan. Lebih dari itu Bunda Maria dalam segala
kecintaan dan ketaatannya pada kehendak Allah, merawat Yesus, sekarang merawat
dunia yang terluka ini (ibu bumi) dengan kasih sayang dan rasa sakit seorang
ibu. Bunda Maria tidak hanya menyimpan dalam hatinya seluruh kehidupan Yesus
yang diasuh dengan setia (bdk. Luk 2:19, 51) tetapi juga memahami segala
sesuatu. Karena itu, kita dapat meminta dia untuk membantu kita memandang dunia
ini dengan mata yang lebih bijaksana.
Dengan
demikian persahabatan dengan alam adalah wujud dari solidaritas dengan pencipta
yang telah memberikan kurnia yang begitu indah ini. karena itu melalui “Jalan Kecil Cinta” dari Therese dan sapaan “Sang Kekasih” Yohanes dari Salib serta madah “ Saudaraku” dari Fransiskus Asisi yang menjadi miskin demi melihat
keindahan dan kekayaan alam ciptaan Tuhan. Sehingga, nasihat dari orang-orang
kudus ini menjadi sebuah suara kenabian yang mengajak manusia untuk
menghentikan ekploitasi besar-besaran pada alam dengan menyerukan pertobatan
kolektif demi keseimbangan ekologi yang diharapkan. Suara profetis dan lembut dari para kudus ini
menjadi mengajak kita untuk melihat rumah kita ini yang dicpitakan Tuhan dengan
“sungguh amat baik adanya” (Kej 1:31).
Gerakan
Go Green every day, akan menjadi
bernada dan bermakna praktis, jika hal itu diaplikasikan dalam kehidupan nyata
sehari-hari. Gerakan akan menjadi semangat hidup untuk menanamkan pada generasi
muda kepekaan dalam membangun sebuah habitus
mencinta. Dengan tindakan mencinta akan membawa pada pencerahan dan
perubahan hidup yang sungguh terealisasi secara nyata dalam hidup sebagai orang
yang beriman.
Dalam
APP 2015, dikembangkan suatu sikap hidup baru yang dimaksudkan sebagai gerakan
perubahan. Gerakan G2ED (Go Green Every
Day) dapat dilihat dengan pola hidup sehat dan berkecukupan. Pola hidup
sehat ini, sejatinya mengajak umat untuk membangun jalan pertobatan (Metanoia). Metanoia sejati bukan hanya
terwujud dalam relasi vertical, antara manusia dan Ilahi; melainkan relasi
horisental itu terbangun dari hubungan manusia dengan lingkungannya.
Dengan membangun vertikal dan horisental sebagai umat beriman, maka setiap
orang dipanggil untuk melakukan aksi yang nyata. Aksi nyata itu menjadi
aspiratif ketika didekatkan pada cara untuk mengoptimalkan lahan pekarangan,
gerakan bersih dan sehat lingkungan dan gerakan keluarga sebagai seminari
kecil.
Selain
itu juga gerakan go green, dapat diaplikasikan
dalam sekolah dengan mengembangkan prinsip Living
Values (Nilai-nilai kehidupan). Living values ini disebutkan sebagai: cinta
kasih penghargaan, kedamaian, toleransi, kejujuran, kerjasama, tanggung jawab,
kesederhanaan dan lain sebagainya. Aksi nyata dalam pendekatan ini adalah
mengajak anak didik untuk memikirkan diri sendiri, orang lain dan dunia.
Aplikasi dari pendekatan ini dapat berupa ajakan kepada para murid untuk
berefleksi, berimajinasi, berdialog, berkomunikasi, berkreasi dan lain-lain. Dengan
pendekatan ini dimaksudkan agar sedini mungkin dan sedapat mungkin anak dapat
berproses untuk mengembangkan ketrampilan dan kepekaan sosial termasuk didalam
kecintaan pada lingkungan hidup.
Setelah
memaparkan keadaan lingkungan hidup sekarang dalam konteks gereja Katolik.
Penulis kemudian menelusuri penulisan ini dengan mengajak “kita bersama” untuk
memahami dan melihat lingkungan dalam bingkai pemahaman kekristenan. Pada
hakekatnya Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala kebaikan yang diletakkan
didalamnya. Kebaikan dari Tuhan ini adalah sebuah amanat untuk selalu
memikirkan bagaimana kebaikan itu menjadi nyata dalam hubungan dengan sesama
dan ciptaan Tuhan di dunia ini. dalam spiritualitas Kristen mengajak dan
menawarkan jalan untuk kembali ke Taman Eden. Untuk memahami “hidup dalam
Kristus” yang berimplikasi pada hidup baru dalam ekologi. “Kristus yang hidup”
yang menjadi pusat terdalam kita. Bagaimanapun “Hidup dalam Kristus” merupakan
cita-cita untuk dikejar manusia yang terbatas. Hidup dalam Kristus membawa
manusia sampai pada tingkat untuk menjadikan hidup kita sebagai orang-orang
yang sangat dibutuhkan dewasa ini.
Menjadikan
orang yang diperlukan dewasa ini sebagai orang yang “Hidup dalam Kristus” hal
itu ditandai keterlibatan dalam menjaga alam semesta. Menjaga alam semesta atau
lingkungan hidup, adalah dengan menjadi rekan kerja Allah. Co-creator yang
peduli pada alam menjadi landasan hidup orang beriman.
Lingkungan
yang kita tinggali ini adalahanugerah dari pencipta bagi kita. “LAUDATO SI’,mi’ Signore, atau “Terpujilah
Engkau Tuhan”. Dalam nyanyian yang indah ini Santo Fransiskus dari Asisi
mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup
dengan kita dan seperti ibu jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.
Menjaga keutuhan ciptaan dan menghormati rumah tempat tinggal adalah sebuah
panggilan hidup bagi kita. Ditengah maraknya pelbagai tindakan perusakan dan
pengelolaan alam yang makin menjadi-jadi, ensiklik
Laudato Si, memberi tanggapan kepada umat manusia untuk bersama-sama
menjaga dan melestarikan ciptaan Allah. Melihat dan menyaksikan kerusakan alam
yang tandai dengan pembabatan hutan serta pembakaran hutan yang menyebabkan
polusi, eksplorasi dan ekploitasi kekayaan alam dalam sektor pertambangan yang
kurang memperhatikan dampak AMDAL, pemakaian pestisida, penggunaan plastik yang
berlebihan, runtuhnya benteng moral terhadap penghormatan pada alam, sikap etis
yang tidak ada lagi dalam diri manusia dewasa ini telah memberi indikasi pada
terjadinya banyak, kelaparan, pemanasan global, rusaknya habitat hutan,
tercemarnya air oleh limbah dan lain sebagainya adalah petaka moral dari manusia yang tidak bersikap etis pada alam. Dari
semua itu alam menuntut tindakan manusia yang semena-mena dengan terjadi
bencana alam dan krisis global.
Menyikapi
semua itu kajian akan lingkungan hidup dalam persepktif kristiani adalah
menghargai cinta pada Allah dengan mencintai ciptaan Allah. Karena itu aksi
nyata dalam menangkal dan juga mengurangi kerusakan alam adalah dengan
menyuarakan suara kenabian atau melakukan pertobatan
ekologis. Ditengah pesatnya perkembangan teknologi ternyata jika tidak
diimbangi dengan aspek kepedulian dan moral yang baik, konsekuensi akan
meninggalkan kesenjangan sosial yang makin menjadi-jadi. Gaya hidup carpe diem (nikmati hari ini), seakan
menjadi catatan buruknya moralitas manusia dewasa ini. Menikmati kekayaan alam
hanya untuk saat ini dan tidak lagi memiliki tanggung jawab moral untuk anak
cucu nanti, bukan hanya memberikan luka mendalam bagi anak generasi berikut;
tetapi juga makin menjadi menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi atau
kelompok.
Karena
itu suara profetis pantaslah dikumandangkan sebagaimana langkah bijak yang
dilakukan oleh Gereja Katolik, yang menaruh perhatian pada kelestarian alam
demi masa depan mendatang yang baik bagi generasi mendatang. Berteologi dengan
lingkungan hidup adalah salah satu cara menyatakan panggilan sebagai pribadi
yang diutus untuk mewartakan kabar baik dan menyatakan terang kasih Allah
kepada banyak orang. Karena itu teologi dalam kaitan dengan disiplin ilmu lain
telah menciptakan kesatuan dan sinergitas dalam kehidupan ini. Menyikapi
tindakan bijak diatas, sebagai mahkluk sosial maka manusia atau kita dipanggil
tidak untuk menjadi perusak atau menjadi monster bagi alam atau menjadi manusia
menjadi serigala (homo homini lupus)
bagi yang lain; tetapi menjadi menjadi sahabat dengan yang lain (homo homini socius).
Karena
itu diperlukan kepekaan dan kebaikan dadlam diri kita untuk menjaga alam
ataurusak kita dari kerusakan. Kepekaan (sense
of belonging) demi untuk kesejahteraan bersama (bonum commune). Dari tindakan itulah manusia sebagai ciptaan yang
secitra dengan Allah akan menghantar pada pujian ; “Ya Tuhan, Tuhan Kami betapa
mulia nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm. 8:2).
Ensiklik
Paus
Fransiskus. Surat Ensiklik Laudato Si’:
Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, terj. Martin Harun Jakarta: Obor,
2015.
-------------------.
Ensiklik Lumen Fidei, terj. Albertus
Sujoko. Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2014.
Buku-buku
Evelyn
Tucker, Mary dan John A. Grim (ed.). Agama
Filsafat & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Keraf,
A. Sonny. Krisis dan Bencana Lingkungan
Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
--------------------.
Etika Lingkungan. Jakarta: Buku
Kompas, 2002.
Konferensi
Waligereja Indonesia. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi.Yogyakarta
dan Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
Seputra, Widyahadi A.dkk
(ed.). Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan
dari Perspektif Pastoral Sosial, cet. ke 3. Jakarta: Sekertariat Komisi
PSE/APP, 2010.
Siahaan,
N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi
Pembangunan. Jakarta: Erlangga, 2004.
Artikel dan Majalah
Manuk, Dismas L. “ Cleaning
Servis di Kota Maumere dalam Terang Ekologi Arne Naess.” Vox Vol. 46/3 (2002), hlm. 126-132.
Traktat
kuliah
Wuritimur,
Amrosius. “Pengantar Berteologi” .Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2015.
Nota
Pastoral dan Surat Kabar
KWI,
“Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan” .Nota Pastoral KWI: Jakarta,
2013.
Chang,
William. “ Kecerdasan Ekologis,” Kompas.7
Desember 2009.
Bdk. A. Widyahadi Seputra, dkk
(ed.), Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan
dari Perspektif Pastoral Sosial, cet. ke 3 (Jakarta: Sekertariat Komisi
PSE/APP, 2010), hlm. 8.