Selasa, 20 Februari 2018

Yesus dan Kerajaan-Nya


YESUS DAN KERAJAANNYA

(Yesus Sang Pemimpin)

Pendahuluan

Pada bagian awal dalam paper ini saya mengutip pernyataan dari Albert Nolan dalam pengantar buku Jesus Before Christianity yang menyatakan demikian, titik tolak kita bukanlah iman akan Yesus. Akan tetapi, saya harap itu akan menjadi kesimpulan kita.[1] Dalam konteks ini Nolan mengiring para pembaca termasuk kita untuk menyelami Yesus dalam karya hidup-Nya secara utuh sebagaimana adanya. Kemudian kita dituntun untuk mengkaji dan mengkonversikan kehidupan Yesus pada waktu itu dengan dinamika kehidupan sekarang ini.
Ketika menyelami dan membaca gagasan yang dikemukakan oleh Nolan, kita dihantar untuk mengalami sisi personal dengan Allah. Pengalaman yang personal dengan Allah itu kemudian membuka cakrawala kita tentang Yesus yang kita imani. Pengalaman bersama dengan Yesus itu serentak menuntun kita untuk sedikit demi sedikit mulai menyentuh atau mengalami hidup dengan Yesus dalam realita hidup kita. Sebagaimana yang diungkapkan dalam pengantar bahwa penelusuran mengenai iman Yesus pertama-tama tidaklah menjadi titik tolak, namun dalam dari titik awal itu akan memberi pijakan bagi kita kemudian menemukan pengalaman iman tentang Yesus. Dalam pengalaman yang demikian kita kemudian dipertemukan dengan situasi dari rupa-rupa pengalaman yang terjadi sekarang ini. Situasi itu kemudian menjadi bingkai atau juga menjadi pintu masuk dalam menyelami pengalaman bersama Yesus. Pengalaman itu kemudian tertuang dalam suatu situasi yakni Yesus dalam pengalaman saya atau Yesus dalam pengalaman kita. Dengan demikian pengalaman dengan Yesus menuntun kita untuk mulai mengambil dalam potongan-potongan kecil dari pengalaman yang besar bersama Yesus. Untuk menemukan pengalaman dengan Yesus itu, pada bagian selanjutnya diberikan paparan mengenai usaha untuk mengenal Yesus secara utuh.
1.                  YESUS DAN ‘KERAJAANNYA’
1.1.            Kerajaan Allah (The “Kingdom” of  God)
Pemahaman mengenai kata atau frase Kerajaan Allah, dapat diidentikan dengan keadaan sukacita atau kebahagiaan. Pemahaman Kerajaan Allah dan konteks disini tidak seperti kerajaan yang didefinisikan dengan kekuasaan atau otoritas. Akan tetapi Kerajaan Allah dapat disebutkan sebagai kerajaan yang berdasar pada semangat cinta kasih Kristus. Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga digunakan oleh orang Yahudi untuk menghindari penyebutan nama Allah. Sehingga surga diartikan juga dengan Allah.[2] Pemahaman mengenai frase Kerajaan Allah ditempatkan pada Yesus yang hidup dan mewartakan karya keselamatan. Dalam kitab Yesaya dengan sangat jelas diungkapkan Yesus yang menjelaskan karya-Nya untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang miskin dan tertindas. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan Yesus dalam Luk 4:16-21; 7:22 dan Mat 10:7-8.[3] Ungkapan ini merujuk dari ungkapan penginjilan. Yesus secara garis besar hendak memaklumkan pembebasan bagi mereka yang mengalami situasi miskin dan tertindas. Kemiskinan dan penindasan menjadi rujukan akan sebuah ketakberdayaan mereka yang tuli, buta, lumpuh, miskin, remuk redam, terpenjara atau yang berdukacita.[4] Mengimani Yesus adalah sebagai juruselamat berarti menerima Yesus yang seutuhnya. Hal itu tidak hanya mengenai kemuliaan-Nya di sisi Allah, melainkan seluruh keprihatinan-Nya yakni Kerajaan Allah beserta praksis memperjuangkan-Nya.[5]
Tindakan Yesus yang mewartakan pembebasan adalah sebuah tindakan penyelamatan yang diliputi sukacita. Kabar sukacita itu menjadi kabar pembebasan. Nubuatan Yesus yang paling mengema sebagai kabar gembira adalah pemakluman akan Kerajaan Allah yang merangkul dan mengikut sertakan mereka yang miskin dan tertindas dalam sukacita iman, Yesus menegaskan Kamulah yang empunya Kerajaan Allah (Luk. 6:20). Hal ini dengan jelas mengungkapkan bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan belas kasih. Yesus membangun sebuah paradigma baru dengan mewujudkan Kerajaan Allah sebagai suatu tujuan masa depan (eskatologi). Tujuan itu tidak lagi mengalami kemiskinan dan penindasan melainkan Kerajaan Allah menjadi rumah yang indah (home). Mengenai Kerajaan Allah itu Yesus memberikan sebuah penegasan sebagaimana dalam kitab suci dituliskan bahwa Kerajaanku bukan dari dunia ini.[6] Hal ini menjadi jelas bahwa bangunan Kerajaan Allah bagi Yesus tidak memiliki tingkatan politis. Sebagaimana kerajaan yang ada di dunia letaknya terdapat dalam kekuasaan dan sisi politis yang begitu dominan. Karena itu, Yesus mengatakan bahwa Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini. Dalam pemahaman ini meskipun Kerajaan Allah tinggal didunia, akan tetapi semangat atau pola hidup tidak menjadi sikap hidup dari Kerajaan Allah. Secara kongkrit yang dimaksudkan oleh Yesus ‘bukan dari dunia ini’, adalah segala pengalaman kejahatan yang ada dalam kehidupan ini tidak menawarkan nilai-nilai kebaikan bagi umat yang percaya. Sehingga tatanan kerajaan Allah dari kepemimpinan Yesus adalah sebuah kepemimpinan yang membebaskan. Dalam arti ini adalah pembebasan dari segala tipu daya setan dan juga membebaskan orang lain dari belenggu dosa yang menyerang umat manusia.
1.2.            Kerajaan Allah dan uang
Yesus menyebutkan dengan pernyataan yang paling keras dalam Injil mengenai uang dan kepemilikan. Dengan jelas Yesus menyatakan bahwa bukanlah kerajaan sudah dekat, akan tetapi kerajaan itu akan merupakan kerajaan orang-orang miskin dan bahwa orang kaya, sejauh mereka tinggal dalam keadaan mereka yang demikian maka mereka tidak akan mendapat bagian di dalamnya. Yesus mengatakan bahwa akan lebih muda seekor unta masuk ke dalam lubang jarum daripada seorang kaya.[7] Perumpamaan yang Yesus tunjukan sungguhlah sangat keras. Pernyataan itu lebih banyak mengarah kepada orang kaya. Namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka yang hidupnya tidak kaya namun berlaku seperti orang kaya. Dalam hal ini pula Yesus tidak sama sekali memberikan pembedaan untuk melawan pemerintah. Bahkan ia menjunjung tinggi kekuasaan kerajaan Romawi dengan berkata: berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar (bdk. Mat. 22:21). Dengan demikian Yesus membangun sebuah visi pembaharuan yang lebih fundamental. Ia melihat salah satu sebab yang menjadi akar kekacauan sosial terletak pada bagaimana membiarkan uang menguasai hubungan-hubungan.[8] Hubungan yang dimaksudkan itu adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya. Namun disini orang miskin memiliki keuntungan awal sebagaimana yang dikatakan Yesus dalam Sabda Bahagia: berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah empunya Kerajaan Allah. ( Luk.6:20)
Namun apa yang sampaikan kepada orang kaya akankah menjadi demikian? Bagi Yesus keselamatan itu adalah milik semua orang. Seperti pertanyaan banyak orang kepada-Nya. Jika demikian, siapakah dapat diselamatkan? Yesus menjawab: bagi manusia hal itu tak mungkin, tetapi bukan demikian bagi Allah (Mrk. 10:26-27). Situasi yang demikian hanya dapat adalah percaya pada mukjizat. Mukjizat untuk meninggalkan semua kekayaan sehingga ia dapat masuk ke dalam kerajaan sebagai orang miskin. Konsekuensi dari mengarahkan hati kepada Kerajaan Allah dan menundukan diri kepada nilai-nilai kerajaan itu menuntut agar orang menjual segala miliknya (lih, Mat. 6:19-21; Luk. 12:33-34; 14:33). Yang dituntut oleh Yesus adalah lebih dari sekedar derma. Ia menghendaki pembagian seluruh milik secara menyeluruh, agar orang tidak lagi terbelenggu oleh uang dan milik.[9] Sikap Yesus ini mendorong setiap orang untuk dapat mengelolah dirinya serta ketergantungannya, sehingga Yesus sama sekali tidak memberikan pembedaan antara miskin dan kaya. Yesus dengan karya belas kasih-Nya hidup dengan keutamaan hidup yang didasari pada belas kasih. Mengejar keutamaan itu dapat dicapai dengan mengambil sikap lepas bebas atau sebagaimana Ia yang mengambil jalan pasti kearah Kalvari. Yesus mempertimbangkan dengan serius mengenai uang dan bagaimana kekayaan yang dimiliki itu tidak menjadi penghalang untuk memuji Allah.

1.3.            Kerajaan Allah dan wibawa
Dalam konteks masyarakat tempat Yesus hidup yang paling dominan adalah wibawa atau gengsi. Setelah gengsi uang menempati urutan kedua. Kedudukan dan gengsi didasarkan pada keturunan, kekayaan, kekuasaan, pendidikan dan keutamaan. Kedudukan menjadi bagian dari agama sama halnya dalam kehidupan sosial. Orang-orang Yahudi dari kalangan paling keras dan fanatik, anggota jemaat Qumran, mengandalkan status dan kedudukan mereka dalam komunitas mereka. Yesus dalam hal ini, melawan semuanya itu. Ia memandang hal itu sebagai kejahatan yang paling dasar dalam kehidupan manusia. Bahkan Yesus memberi kecaman terhadap ahli-ahli kitab dan orang-orang farisi dengan kelakuan mereka. Yesus berkata: celakalah kamu jika dunia memuji kamu…. (Luk. 6:26). Yesus kemudian mengungkapkan hal itu karena wibawa yang terlalu diagungkan oleh mereka. Ia mengecam tindakan kemunafikan yang mereka lakukan bukan pada kesalehan. Bagi Yesus tindakan supaya dilihat orang tidaklah benar (Mat. 6:1-6.16-18). Tindakan yang demikian bagi Yesus adalah tindakan yang lebih mendasarkan gengsi semata.[10]
Tindakan yang hanya mengejar gengsi dan kebesaran diri, adalah tindakan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Hal ini tentu sangat kontradiksi dengan apa yang dikatakan Yesus tentang sikap rendah hati. Dalam injil Matius, Yesus menempatkan anak kecil sebagai model hidup yang sesuai dengan citra kekristenan. Sehingga ‘anak kecil’ dalam perumpamaan hidup kristiani adalah simbol dari kerendahan hati, tidak mengejar gengsi atau status tertentu. Anak kecil ditempatkan dalam kedudukan sebagai yang ‘empunya Kerajaan Allah’. Dengan demikian anak kecil menjadi gambaran akan Kerajaan Allah yang terdapat dalam kedudukan masyarakat kelas bawah yang didalamnya terdapat orang-orang miskin, tertindas, pengemis, pelacur dan pemungut cukai, yang oleh Yesus disebut sebagai orang-orang kecil atau orang yang terkecil.[11] Dalam hal ini bagi Yesus kedudukan, wibawa atau gengsi tidak mendapat tempat dalam lingkungan ‘orang kecil’. Kasih Yesus bagi orang miskin tidak serta merta mengingkari keberadaan orang kaya atau berkedudukan. Hal yang hendak dicapai oleh Yesus adalah semangat untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Yesus memberi sebuah penegasan bahwa kasih menjadi sarana untuk menimbun strata atau tingkatan yang akan memisahkan manusia yang diciptakan sama dan semestinya diperlakukan secara sama. Hal ini diangkatlah nilai-nilai kemanusiaan dan meruntuhkan tembok yang menghalangi semangat untuk mengasihi.

1.4.            Kerajaan Allah dan solidaritas
Solidaritas adalah salah satu konsep yang fundamental dalam Kitab suci dan seringkali dihubungkan dengan pemahaman Yahudi tentang kolektivitas. Perbedaan antara kerajaan Allah dan kerajaan setan atau antara yang baik dengan yang jahat dalam pemahaman Yesus, tidak dapat dimengerti tanpa memperhitungkan pengertian solidaritas ini. Pada zaman Yesus yang dipentingkan tidak hanya solidaritas nasional atau solidaritas Yudaisme dalam menghadapi dunia kafir. Pada zaman Yesus tidak hanya keluarga besar yang hidup bersama sebagai satu kesatuan. Solidaritas juga tercipta diantara sesama kawan, pedagang, anggota kelompok sosial dan kelompok lainnya dalam sekte.[12] Dapat dikatakan bahwa solidaritas sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang berpengaruh pada waktu itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa antara kerajaan Allah dan kerajaan setan sangatlah berbeda. Perbedaan itu yakni dalam kerajaan setan hal yang diutamakan adalah solidaritas kelompok yang ekslusif dan demi kepentingan sendiri. Sedang Kerajaan Allah dilandaskan pada solidaritas yang mencakup seluruh manusia atau bersifat inklusif dan universal.[13] Yesus kemudian memberikan pembedaan dalam tindakan solidaritas ini. Ia melampaui apa yang dilakukan dalam perjanjian lama yang tindakan solidaritasnya lebih ekslusif atau hanya mencakup pada kelompok atau keluarga saja. Cakupan solidaritas-Nya melampaui batasan kewajaran yang dilakukan manusia. Yesus merangkul karya keselamatan itu dalam karya kasih. Ia melepaskan sekat-sekat permusuhan, sehingga solidaritas kasih menjadi tindakan paradoksal yakni mencintai orang yang memusuhi kita.
Instrumen kasih dipahami sebagai solidaritas yang mencintai semua orang tanpa ada pembedaan. Paham mencintai orang yang dimaksudkan Yesus adalah bukan mencintai satu orang secara khusus. Tetapi sebagaimana yang Nolan sebutkan dalam bukunya ini yang memakai kata “kemanusiaan” dan “semua orang” dalam arti inilah Yesus tidak memihak kepada siapa pun. Ia mencintai semua orang dan solidaritas-Nya mencakup seluruh umat manusia. Sehingga dasar dari solidaritas Yesus adalah kasih. Hal itu nampak paling jelas dalam sebuah tindakan kongkrit orang Samaria yang baik hati. Solidaritas itulah yang kemudian muncul dalam pribadi orang yang dengan tanggap membutuhkan bantuan orang lain. Pertanyaan dalam Injil Lukas tentang“siapakah sesamaku?”adalah sebuah identifikasi dari diri sendiri yang tergerak karena belas kasih. Berangkat dari karya belas kasih itulah yang disebut sebagai solidaritas tanpa batas dan menjadi gambaran akan Kerajaan Allah.[14]

1.5.            Kerajaan Allah dan kekuasaan
Antara kerajaan Allah dan kerajaan setan perbedaannya adalah kekuasaan. Pada zaman Yesus, sisi politik penekanannya adalah terutama siapa yang akan menjadi raja. Antara kata ‘Kingship’ yang berarti berkuasanya seseorang sebagai raja dengan kata ‘Kingdom’ atau kerajaan, semua ini berhubungan dengan kata “Raja”. Namun dalam kata Yunani diterjemahkan dengan kata basileia dapat berarti kedua-duanya. Kata kerajaan kemudian diartikan dengan nama basilea. Dalam paham kerajaan ini ditemukan dua hal yakni: kekuasaan setan itu adalah kekuasan yang menindas sedangkan kekuasaan Allah adalah kekuasaan pelayanan dan kemerdekaan.[15]
Semua kerajaan dan bangsa di dunia ini di atur oleh kekuasaan yang mengandalkan kekuatan (power). Dengan kata lain kerajaan yang ada di dunia ini dominasinya pada kekuatan atau mengandalkan kekuatan. Sisi kekuatan menjadi kekhasan dari kerajaan yang ada di dunia ini. Sikap dan cara yang demikian oleh Yesus tidak sesuai dengan kerajaan dari Yesus. Kerajaan yang dibangun oleh Yesus tidak didasarkan pada kekuasaan atau kekuatan melainkan kasih. Yesus menawarkan bagi pengikut-Nya bahwa Ia (Anak Manusia) datang untuk melayani bukan untuk dilayani. (bdk. Mrk. 10:42-45). Sejalan dengan teks ini Yesus menampilkan pola pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang melayani bahkan memberikan nyawanya untuk tebusan bagi banyak orang.[16]
Yesus datang untuk menentang mereka yang menjalankan hukum dengan sewenang-wenang dan kemudian menjadikan mereka penguasa yang menindas. Yesus tidak menentang hukum sebagai hukum, melainkan Ia menentang cara orang menggunakan hukum dan sikap mereka terhadap hukum.[17] Menyangkut hukum ini salah satunya adalah hari sabat. Mereka menggunakan sabat sebagai cara untuk menghukum manusia atau menjadi manusia susah dan tidak memberikan kebaikan bagi manusia. Dalam arti ini sabat yang dimaksudkan sebagai waktu untuk membebaskan dari kerja atau menjadikan orang beristirahat. Hukum dalam hari sabat itu tidak untuk menghalangi atau orang berbuat baik, menolong orang lain, menyembuhkan atau menyelamatkan kehidupan (bdk. Mrk 3:4; Mat. 12:11-12; Luk. 13:15-16). Yesus tidak menjadikan diri-Nya sebagai pembuat hukum atau menghilangkan hukum Musa namun Ia datang untuk mengenapi-Nya (bdk., 5:17-19).
Dengan demikian Kerajaan Allah dan kekuasaan memiliki perbedaan. Yesus hendak membebaskan semua orang dari hukum. Namun tidak menjadikan untuk menolak hukum. Hukum dimaksudkan dan dihadirkan dalam kehidupan dan dipergunakan dengan bertanggung jawab sehingga hukum itu kemudian memenuhi kebutuhan manusia. Yesus membuat hukum relatif sehingga tujuan yang sejati itu tercapai. Dalam pemahaman ini hukum dalam Kerajaan Allah menjadi fungsional. Semua akan mewujudkan aturan yang perlu; jika manusia saling melayani. Sehingga perbudakan dan penindasan yang disebabkan oleh kekuasaan yang dominan akan dihapuskan. Dalam pengertian ini tindakan kebenaran yang dilakukan lebih dari tindakan yang dilakukan ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

2.                  Waktu yang Baru
Pemahaman atau konsep mengenai waktu sangat penting. Namun terkadang sering dimaknai dengan keliru ketika waktu menjadi yang absolut. Gerard Van Rad menyatakan bahwa waktu yang absolut tidak tergantung pada peristiwa dan seperti titik-titik dalam kuesioner hanya perlu diisi dengan data yang akan memberi isi. Hal ini tidak dikenal di Israel. Orang-orang Yahudi berbicara dan berpikir mengenai waktu sebagai kualitas. Hal itu dengan jelas diungkapkan dalam kitab pengkhotbah. (Pkh. 3:1-8).[18] Orang Yahudi memahami dan mengerti waktu bukan masalah dengan tanggal, melainkan pada kualitas waktu. Nolan menyebutkan bahwa konsep waktu bukanlah sesuatu yang asing. Kita masih akan berbicara tentang berbagai waktu. Orang-orang Yahudi melihat bahwa hakikat masa kini sebagai yang ditentukan atau oleh karya penyelamatan Allah di masa lampau. Dalam hal ini Yesus mewartakan waktu yang sama sekali baru dan segera tiba secara definif: “waktunya sudah genap Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15). Dalam hal ini Yesus mewartakan waktu baru secara kualitatif berbeda dengan yang diwartakan oleh Yohanes.
Mengenai waktu yang baru ini erat kaitannya dengan sikap yang ditunjukan oleh Yesus dalam kehidupan bersama masyarakat pada waktu itu. Ia hadir dan kemudian mendobrak sekat-sekat sosial dan menunjukan sikap saling memperhatikan, saling mengasihi serta saling berbagi. Yesus secara tegas menolak raja yang berkuasa. Yesus memperjuangkan kehidupan kaum marginal. Ia pun menunjukan kesamaan martabat (equality) manusia dihadapan Allah. Yesus memperjuangkan nilai universal dari persaudaraan, kemanusiaan, kesetiakawanan dan kesamarataan. Dengan demikian waktu yang baru menjadi sebuah warna baru yang mengubah wajah dunia dengan kasih Allah yang tak berkesudahan. Kasih itu terjelma dalam tindakan dan praksis hidup Yesus yang hadir secara imanen. Ia hadir dan menampakan bahwa Allah sungguh meraja dan Kerajaan Allah itu kemudian terwujud dalam kehidupan manusia.
3.                  Refleksi Pemikiran Albert Nolan dalam hidup Pastoral
            Membaca dan memahami gagasan yang dikemukan oleh Nolan memberi sebuah pemahaman mengenai sikap ‘seperasaan dengan Kristus’ (Sentire cum Christo). Usaha ber-kristologi dari Nolan nampak bahwa ia melihat tokoh Yesus secara tidak memihak. Maksudnya adalah cara Nolan mengambarkan Yesus yang dianggap berbeda dari cara agama Kristiani melihat Yesus dalam iman. Sehingga Pendekatan Nolan dianggap sebagai pendekatan yang objektif  dan lebih sesuai dengan Yesus sebagaimana adanya ketika ia hidup, berkarya dan wafat di Palestina.[19] Teologi Nolan arahnya tidak berada dalam theology from below (teologi dari bawah) yang dimulai dari kelahiran hingga wafat Yesus atau fokusnya ada pada injil sinoptik, atau theology from above (teologi dari atas) yang fokusnya ada pada injil Yohanes dan surat-surat Paulus, melainkan ia menjembatani sebuah paradigma berteologi yang berada ditengahnya (teologi alternatif). Nolan menyajikan pemahaman akan Yesus iman dan Yesus yang historis.
            Pemikiran Nolan mengenai pola kepemimpinan Yesus membuka sebuah cakrawala dalam memahami tindakan Allah penuh belas kasih.  Allah yang penuh belas kasih itu hadir dan memberi pembebasan. Ketika membaca gagasan dari Nolan dan dihubungkan dengan praksis kehidupan sekarang ini tentunya memiliki kaitannya. Nolan berbicara tentang hal Kerajaan Allah sebagai ‘kabar gembira’ bagi orang-orang yang termarginalkan. Namun ‘Kerajaan Allah’ juga adalah milik setiap orang. Melihat konteks kehidupan sekarang ini tentu pemikiran Nolan ini telah memberikan gambaran tentang dunia kini. Sebuah pengalaman dunia yang kini terusik dan terkikis dengan dinamika perubahan zaman. Ketika uang, gengsi dan kekuasaan menjadi wajah hidup manusia sekarang ini. Uang, gengsi dan kekuasaan menjadi dambaan manusia kini. Hal-hal ini telah melemparkan jauh semangat solidaritas antar sesama manusia.
            Albert Nolan membuka sebuah pemahaman akan kepenuhan belas kasih Yesus. Pada intinya Nolan menghadirkan wajah Yesus yang penuh belas kasih bagi umat manusia. Ketika akar-akar ketamakan telah merajalela, maka Yesus memproklamasikan bahasa belas kasih. Sehingga kepenuhan belas kasih menjadi perwujudan dalam membangun kerajaan Allah. Ketika menyelami Yesus dengan kepenuhan belas kasih-Nya dan dihubungkan dalam konteks pelayanan. Dengan demikian, hal apa yang perlu dibangun sebagai pemimpin dalam karya pelayanan dengan meneladani contoh kepemimpinan dari Yesus?
            Sikap keteladanan dari ciri kepemimpinan Yesus antara lain : pertama, Pastoral gembala yang baik dengan mengunjungi umat (kunjungan umat atau kunjungan keluarga). Mengalami suka duka bersama dengan umat adalah sebuah bentuk peneguhan. Inilah yang menjadi sebuah solidaritas sejati sebagai pelayan. Dalam hal ini tidak terkurung atau hanya berada dalam tembok parokial, melainkan pemimpin yang melayani selalu bersedia ‘turun gunung’ untuk menjumpai atau memelihara jiwa-jiwa (cura animarum). Hal ini dapat disebut sebagai pengalaman akan makna kehadiran. Tindakan ini menjadi bentuk solidaritas dan akan menciptakan waktu yang berkualitas. Kehadiran itu menjadi kehadiran yang meneguhkan dan juga dapat menyembuhkan. Kedua, sebagai pemimpin hendaknya selalu hidup dalam semangat rendah hati (low profile). Ia tidak menggunakan kedudukan atau kekuasaan untuk menguasai melainkan untuk melayani. Ketiga, pemimpin atau pelayan yang punya kedekatan personal dengan Tuhan. Ditengah tawaran rutintas karya pelayanan, seorang pemimpin selalu punya waktu untuk berdoa. Sebagai pemimpin umat yang sedang menahkodai sebuah kapal, dia perlu waktu untuk berhenti. Dengan meng-charge atau mengisi hidupnya dengan sabda dan ekaristi. Kedekatan personal itu akan membawa seorang pemimpin untuk mampu mengarungi arus tantangan zaman yang terkadang menghanyutkan. Doa dan ekaristi menjadi waktu berkualitas untuk berdialog bersama Tuhan dan juga punya kepekaan atau solidaritas dengan menjadi pendoa bagi banyak orang.
Penutup
            Yesus sebagai pemimpin yang melayani selalu memberikan keteladanan bagi para murid untuk melayani. Sejalan dengan konteks ini Nolan menunjukan wajah keprihatinan dari Yesus penuh belas kasih. Sebagai orang Kristen yang mengimani Yesus, cinta kasih adalah instrument atau sarana untuk menghubungi pelbagai aneka pengalaman hidup yang dialami. Dalam hal Nolan  telah membuka sebuah pola pikir baru bahwa Yesus bukan hanya tokoh yang historis melainkan Dia juga adalah penyelamat. Menyelami kepemimpinan Yesus adalah pengalaman yang tak kunjung berhenti. Yesus selalu hadir dalam wajah pengalaman harian kita. Pertanyaan siapakah sesamaku, telah memberikan rumusan yang sentral bahwa memahami dan mengimani Yesus berlangsung terus menerus. Pengalaman seperasaan dengan Allah dalam belas kasih-Nya terjadi karena pengalaman beriman yang dialami setiap hari.

Daftar Pustaka
·         Nolan, Albert. Jesus Before Christianity. New York : Orbis Book, 2003.
·         __________ .  Yesus Sebelum Agama Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
·         Harjawiyata, Frans, (ed),. Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
·         Wijngaards, John., Yesus Sang Pembebas. Yogyakarta: Kanisius, 1994.
·         Sujoko, Albertus., “ Dekonstruksi Kristologi dalam Pemikiran Albert Nolan,” Jurnal Teologi Vol. 02/II (November 2013), hlm. 124.




[1] “Faith in Jesus is not our starting-point, but it will be, I hope, our conclusion”. Lih,  Albert Nolan,  Jesus Before Christianity (New York : Orbis Book, 2003), hlm. 1.
[2] Bdk. John Wijngaards. Yesus Sang Pembebas (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 156.
[3] Bdk. Albert, Nolan. Yesus Sebelum Agama Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 65.
[4] Ibid., hlm. 66.
[5] Frans, Harjawiyata (ed). Yesus dan Situasi Zaman-Nya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 106.
[6] Yohanes 18:36.
[7] Bdk., Nolan,  Jesus Before Christianity,  hlm. 62.
[8] Wijngaards, Yesus Sang Pembebas, hlm. 150.
[9]   Ibid., hlm. 63.
[10] Bdk. Nolan, Yesus Sebelum Agama Kristen, hlm. 78-79.
[11] Bdk. Ibid. hlm. 80-81.
[12] Ibid, hlm. 85.
[13] Ibid,
[14]  Ibid, hlm. 94.
[15]  Ibid, hlm. 96.
[16]  Bdk. Yohanes 15: 13.
[17]  Ibid, hlm. 98.
[18] Ibid, hlm. 102.
[19]  Albertus Sujoko, “ Dekonstruksi Kristologi dalam Pemikiran Albert Nolan,” Jurnal Teologi Vol. 02/II (November 2013), hlm. 124.