YESUS
DAN KERAJAANNYA
(Yesus
Sang Pemimpin)
Pendahuluan
Pada bagian awal dalam paper ini saya mengutip
pernyataan dari Albert Nolan dalam pengantar buku Jesus Before Christianity yang menyatakan demikian, titik tolak kita bukanlah iman akan Yesus.
Akan tetapi, saya harap itu akan menjadi kesimpulan kita.[1] Dalam
konteks ini Nolan mengiring para pembaca termasuk kita untuk menyelami Yesus
dalam karya hidup-Nya secara utuh sebagaimana adanya. Kemudian kita dituntun untuk
mengkaji dan mengkonversikan kehidupan Yesus pada waktu itu dengan dinamika
kehidupan sekarang ini.
Ketika menyelami dan membaca gagasan yang
dikemukakan oleh Nolan, kita dihantar untuk mengalami sisi personal dengan
Allah. Pengalaman yang personal dengan Allah itu kemudian membuka cakrawala kita
tentang Yesus yang kita imani. Pengalaman bersama dengan Yesus itu serentak
menuntun kita untuk sedikit demi sedikit mulai menyentuh atau mengalami hidup
dengan Yesus dalam realita hidup kita. Sebagaimana yang diungkapkan dalam
pengantar bahwa penelusuran mengenai iman Yesus pertama-tama tidaklah menjadi
titik tolak, namun dalam dari titik awal itu akan memberi pijakan bagi kita
kemudian menemukan pengalaman iman tentang Yesus. Dalam pengalaman yang
demikian kita kemudian dipertemukan dengan situasi dari rupa-rupa pengalaman
yang terjadi sekarang ini. Situasi itu kemudian menjadi bingkai atau juga
menjadi pintu masuk dalam menyelami pengalaman bersama Yesus. Pengalaman itu
kemudian tertuang dalam suatu situasi yakni Yesus dalam pengalaman saya atau
Yesus dalam pengalaman kita. Dengan demikian pengalaman dengan Yesus menuntun
kita untuk mulai mengambil dalam potongan-potongan kecil dari pengalaman yang
besar bersama Yesus. Untuk menemukan pengalaman dengan Yesus itu, pada bagian selanjutnya
diberikan paparan mengenai usaha untuk mengenal Yesus secara utuh.
1.
YESUS DAN ‘KERAJAANNYA’
1.1.
Kerajaan Allah (The “Kingdom” of God)
Pemahaman mengenai kata atau frase Kerajaan Allah,
dapat diidentikan dengan keadaan sukacita atau kebahagiaan. Pemahaman Kerajaan
Allah dan konteks disini tidak seperti kerajaan yang didefinisikan dengan
kekuasaan atau otoritas. Akan tetapi Kerajaan Allah dapat disebutkan sebagai
kerajaan yang berdasar pada semangat cinta kasih Kristus. Kerajaan Allah atau
Kerajaan Surga digunakan oleh orang Yahudi untuk menghindari penyebutan nama
Allah. Sehingga surga diartikan juga dengan Allah.[2] Pemahaman
mengenai frase Kerajaan Allah ditempatkan pada Yesus yang hidup dan mewartakan
karya keselamatan. Dalam kitab Yesaya dengan sangat jelas diungkapkan Yesus
yang menjelaskan karya-Nya untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang miskin
dan tertindas. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan Yesus dalam Luk 4:16-21;
7:22 dan Mat 10:7-8.[3]
Ungkapan ini merujuk dari ungkapan penginjilan. Yesus secara garis besar hendak
memaklumkan pembebasan bagi mereka yang mengalami situasi miskin dan tertindas.
Kemiskinan dan penindasan menjadi rujukan akan sebuah ketakberdayaan mereka
yang tuli, buta, lumpuh, miskin, remuk redam, terpenjara atau yang berdukacita.[4] Mengimani
Yesus adalah sebagai juruselamat berarti menerima Yesus yang seutuhnya. Hal itu
tidak hanya mengenai kemuliaan-Nya di sisi Allah, melainkan seluruh
keprihatinan-Nya yakni Kerajaan Allah beserta praksis memperjuangkan-Nya.[5]
Tindakan Yesus yang mewartakan pembebasan adalah
sebuah tindakan penyelamatan yang diliputi sukacita. Kabar sukacita itu menjadi
kabar pembebasan. Nubuatan Yesus yang paling mengema sebagai kabar gembira
adalah pemakluman akan Kerajaan Allah yang merangkul dan mengikut sertakan mereka yang miskin dan tertindas dalam
sukacita iman, Yesus menegaskan Kamulah
yang empunya Kerajaan Allah (Luk. 6:20). Hal ini dengan jelas mengungkapkan
bahwa Kerajaan Allah adalah kerajaan belas kasih. Yesus membangun sebuah
paradigma baru dengan mewujudkan Kerajaan Allah sebagai suatu tujuan masa depan
(eskatologi). Tujuan itu tidak lagi
mengalami kemiskinan dan penindasan
melainkan Kerajaan Allah menjadi rumah yang indah (home). Mengenai Kerajaan Allah itu Yesus memberikan sebuah
penegasan sebagaimana dalam kitab suci dituliskan bahwa Kerajaanku bukan dari dunia ini.[6]
Hal ini menjadi jelas bahwa bangunan Kerajaan Allah bagi Yesus tidak memiliki
tingkatan politis. Sebagaimana kerajaan yang ada di dunia letaknya terdapat
dalam kekuasaan dan sisi politis yang begitu dominan. Karena itu, Yesus
mengatakan bahwa Kerajaan-Ku bukan dari
dunia ini. Dalam pemahaman ini meskipun Kerajaan Allah tinggal didunia,
akan tetapi semangat atau pola hidup tidak menjadi sikap hidup dari Kerajaan
Allah. Secara kongkrit yang dimaksudkan oleh Yesus ‘bukan dari dunia ini’, adalah segala pengalaman kejahatan yang ada
dalam kehidupan ini tidak menawarkan nilai-nilai kebaikan bagi umat yang
percaya. Sehingga tatanan kerajaan Allah dari kepemimpinan Yesus adalah sebuah
kepemimpinan yang membebaskan. Dalam arti ini adalah pembebasan dari segala
tipu daya setan dan juga membebaskan orang lain dari belenggu dosa yang menyerang
umat manusia.
1.2.
Kerajaan Allah dan uang
Yesus
menyebutkan dengan pernyataan yang paling keras
dalam Injil mengenai uang dan kepemilikan. Dengan jelas Yesus menyatakan bahwa
bukanlah kerajaan sudah dekat, akan tetapi kerajaan itu akan merupakan kerajaan
orang-orang miskin dan bahwa orang
kaya, sejauh mereka tinggal dalam keadaan mereka yang demikian maka mereka
tidak akan mendapat bagian di dalamnya. Yesus mengatakan bahwa akan lebih muda
seekor unta masuk ke dalam lubang jarum daripada seorang kaya.[7]
Perumpamaan yang Yesus tunjukan sungguhlah sangat keras. Pernyataan itu lebih
banyak mengarah kepada orang kaya. Namun tidak menutup kemungkinan bagi mereka
yang hidupnya tidak kaya namun berlaku seperti orang kaya. Dalam hal ini pula
Yesus tidak sama sekali memberikan pembedaan untuk melawan pemerintah. Bahkan
ia menjunjung tinggi kekuasaan kerajaan Romawi dengan berkata: berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi
milik kaisar (bdk. Mat. 22:21). Dengan demikian Yesus membangun sebuah visi
pembaharuan yang lebih fundamental. Ia melihat salah satu sebab yang menjadi
akar kekacauan sosial terletak pada bagaimana membiarkan uang menguasai
hubungan-hubungan.[8]
Hubungan yang dimaksudkan itu adalah hubungan manusia dengan manusia lainnya. Namun
disini orang miskin memiliki
keuntungan awal sebagaimana yang dikatakan Yesus dalam Sabda Bahagia: berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena
kamulah empunya Kerajaan Allah. ( Luk.6:20)
Namun
apa yang sampaikan kepada orang kaya akankah menjadi demikian? Bagi Yesus
keselamatan itu adalah milik semua orang. Seperti pertanyaan banyak orang
kepada-Nya. Jika demikian, siapakah dapat
diselamatkan? Yesus menjawab: bagi manusia hal itu tak mungkin, tetapi bukan
demikian bagi Allah (Mrk. 10:26-27). Situasi yang demikian hanya dapat
adalah percaya pada mukjizat. Mukjizat untuk meninggalkan semua kekayaan
sehingga ia dapat masuk ke dalam kerajaan sebagai orang miskin. Konsekuensi
dari mengarahkan hati kepada Kerajaan Allah dan menundukan diri kepada
nilai-nilai kerajaan itu menuntut agar orang menjual segala miliknya (lih, Mat.
6:19-21; Luk. 12:33-34; 14:33). Yang dituntut oleh Yesus adalah lebih dari
sekedar derma. Ia menghendaki pembagian seluruh
milik secara menyeluruh, agar orang tidak lagi terbelenggu oleh uang dan milik.[9] Sikap
Yesus ini mendorong setiap orang untuk dapat mengelolah dirinya serta
ketergantungannya, sehingga Yesus sama sekali tidak memberikan pembedaan antara
miskin dan kaya. Yesus dengan karya belas kasih-Nya hidup dengan keutamaan
hidup yang didasari pada belas kasih. Mengejar keutamaan itu dapat dicapai
dengan mengambil sikap lepas bebas atau sebagaimana Ia yang mengambil jalan
pasti kearah Kalvari. Yesus mempertimbangkan dengan serius mengenai uang dan
bagaimana kekayaan yang dimiliki itu tidak menjadi penghalang untuk memuji
Allah.
1.3.
Kerajaan Allah dan wibawa
Dalam
konteks masyarakat tempat Yesus hidup yang paling dominan adalah wibawa atau
gengsi. Setelah gengsi uang menempati urutan kedua. Kedudukan dan gengsi
didasarkan pada keturunan, kekayaan, kekuasaan, pendidikan dan keutamaan.
Kedudukan menjadi bagian dari agama sama halnya dalam kehidupan sosial.
Orang-orang Yahudi dari kalangan paling keras dan fanatik, anggota jemaat
Qumran, mengandalkan status dan kedudukan mereka dalam komunitas mereka. Yesus
dalam hal ini, melawan semuanya itu. Ia memandang hal itu sebagai kejahatan
yang paling dasar dalam kehidupan manusia. Bahkan Yesus memberi kecaman
terhadap ahli-ahli kitab dan orang-orang farisi dengan kelakuan mereka. Yesus
berkata: celakalah kamu jika dunia memuji
kamu…. (Luk. 6:26). Yesus kemudian mengungkapkan hal itu karena wibawa yang
terlalu diagungkan oleh mereka. Ia mengecam tindakan kemunafikan yang mereka lakukan
bukan pada kesalehan. Bagi Yesus tindakan
supaya dilihat orang tidaklah benar (Mat. 6:1-6.16-18). Tindakan yang
demikian bagi Yesus adalah tindakan yang lebih mendasarkan gengsi semata.[10]
Tindakan
yang hanya mengejar gengsi dan kebesaran diri, adalah tindakan yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Hal ini tentu sangat kontradiksi
dengan apa yang dikatakan Yesus tentang sikap rendah hati. Dalam injil Matius,
Yesus menempatkan anak kecil sebagai model hidup yang sesuai dengan citra
kekristenan. Sehingga ‘anak kecil’ dalam perumpamaan hidup kristiani adalah simbol
dari kerendahan hati, tidak mengejar gengsi atau status tertentu. Anak kecil
ditempatkan dalam kedudukan sebagai yang ‘empunya Kerajaan Allah’. Dengan
demikian anak kecil menjadi gambaran akan Kerajaan Allah yang terdapat dalam
kedudukan masyarakat kelas bawah yang didalamnya terdapat orang-orang miskin,
tertindas, pengemis, pelacur dan pemungut cukai, yang oleh Yesus disebut
sebagai orang-orang kecil atau orang yang terkecil.[11]
Dalam hal ini bagi Yesus kedudukan, wibawa atau gengsi tidak mendapat tempat
dalam lingkungan ‘orang kecil’. Kasih Yesus bagi orang miskin tidak serta merta
mengingkari keberadaan orang kaya atau berkedudukan. Hal yang hendak dicapai
oleh Yesus adalah semangat untuk mengangkat nilai kemanusiaan. Yesus memberi
sebuah penegasan bahwa kasih menjadi sarana untuk menimbun strata atau tingkatan
yang akan memisahkan manusia yang diciptakan sama dan semestinya diperlakukan
secara sama. Hal ini diangkatlah nilai-nilai kemanusiaan dan meruntuhkan tembok
yang menghalangi semangat untuk mengasihi.
1.4.
Kerajaan Allah dan
solidaritas
Solidaritas
adalah salah satu konsep yang fundamental dalam Kitab suci dan seringkali
dihubungkan dengan pemahaman Yahudi tentang kolektivitas. Perbedaan antara
kerajaan Allah dan kerajaan setan atau antara yang baik dengan yang jahat dalam
pemahaman Yesus, tidak dapat dimengerti tanpa memperhitungkan pengertian
solidaritas ini. Pada zaman Yesus yang dipentingkan tidak hanya solidaritas
nasional atau solidaritas Yudaisme dalam menghadapi dunia kafir. Pada zaman
Yesus tidak hanya keluarga besar yang hidup bersama sebagai satu kesatuan.
Solidaritas juga tercipta diantara sesama kawan, pedagang, anggota kelompok sosial
dan kelompok lainnya dalam sekte.[12]
Dapat dikatakan bahwa solidaritas sungguh-sungguh menjadi sesuatu yang
berpengaruh pada waktu itu.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa antara kerajaan Allah dan kerajaan setan
sangatlah berbeda. Perbedaan itu yakni dalam kerajaan setan hal yang diutamakan
adalah solidaritas kelompok yang ekslusif dan demi kepentingan sendiri. Sedang
Kerajaan Allah dilandaskan pada solidaritas yang mencakup seluruh manusia atau
bersifat inklusif dan universal.[13]
Yesus kemudian memberikan pembedaan dalam tindakan solidaritas ini. Ia
melampaui apa yang dilakukan dalam perjanjian lama yang tindakan solidaritasnya
lebih ekslusif atau hanya mencakup pada kelompok atau keluarga saja. Cakupan
solidaritas-Nya melampaui batasan kewajaran yang dilakukan manusia. Yesus
merangkul karya keselamatan itu dalam karya kasih. Ia melepaskan sekat-sekat
permusuhan, sehingga solidaritas kasih menjadi tindakan paradoksal yakni
mencintai orang yang memusuhi kita.
Instrumen
kasih dipahami sebagai solidaritas yang mencintai semua orang tanpa ada
pembedaan. Paham mencintai orang yang dimaksudkan Yesus adalah bukan mencintai
satu orang secara khusus. Tetapi sebagaimana yang Nolan sebutkan dalam bukunya
ini yang memakai kata “kemanusiaan”
dan “semua orang” dalam arti inilah
Yesus tidak memihak kepada siapa pun. Ia mencintai semua orang dan
solidaritas-Nya mencakup seluruh umat manusia. Sehingga dasar dari solidaritas
Yesus adalah kasih. Hal itu nampak paling jelas dalam sebuah tindakan kongkrit
orang Samaria yang baik hati. Solidaritas itulah yang kemudian muncul dalam
pribadi orang yang dengan tanggap membutuhkan bantuan orang lain. Pertanyaan
dalam Injil Lukas tentang“siapakah
sesamaku?”adalah sebuah identifikasi dari diri sendiri yang tergerak karena
belas kasih. Berangkat dari karya belas kasih itulah yang disebut sebagai
solidaritas tanpa batas dan menjadi gambaran akan Kerajaan Allah.[14]
1.5.
Kerajaan Allah dan kekuasaan
Antara
kerajaan Allah dan kerajaan setan perbedaannya adalah kekuasaan. Pada zaman
Yesus, sisi politik penekanannya adalah terutama siapa yang akan menjadi raja.
Antara kata ‘Kingship’ yang berarti
berkuasanya seseorang sebagai raja dengan kata ‘Kingdom’ atau kerajaan, semua ini berhubungan dengan kata “Raja”. Namun dalam kata Yunani
diterjemahkan dengan kata basileia dapat
berarti kedua-duanya. Kata kerajaan kemudian diartikan dengan nama basilea. Dalam paham kerajaan ini
ditemukan dua hal yakni: kekuasaan setan itu adalah kekuasan yang menindas
sedangkan kekuasaan Allah adalah kekuasaan pelayanan dan kemerdekaan.[15]
Semua
kerajaan dan bangsa di dunia ini di atur oleh kekuasaan yang mengandalkan
kekuatan (power). Dengan kata lain
kerajaan yang ada di dunia ini dominasinya pada kekuatan atau mengandalkan
kekuatan. Sisi kekuatan menjadi kekhasan dari kerajaan yang ada di dunia ini.
Sikap dan cara yang demikian oleh Yesus tidak sesuai dengan kerajaan dari
Yesus. Kerajaan yang dibangun oleh Yesus tidak didasarkan pada kekuasaan atau
kekuatan melainkan kasih. Yesus menawarkan bagi pengikut-Nya bahwa Ia (Anak
Manusia) datang untuk melayani bukan untuk dilayani. (bdk. Mrk. 10:42-45). Sejalan dengan teks ini Yesus menampilkan pola
pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang melayani bahkan memberikan nyawanya untuk tebusan bagi banyak orang.[16]
Yesus
datang untuk menentang mereka yang menjalankan hukum dengan sewenang-wenang dan
kemudian menjadikan mereka penguasa yang menindas. Yesus tidak menentang hukum
sebagai hukum, melainkan Ia menentang cara orang menggunakan hukum dan sikap
mereka terhadap hukum.[17]
Menyangkut hukum ini salah satunya adalah hari sabat. Mereka menggunakan sabat
sebagai cara untuk menghukum manusia atau menjadi manusia susah dan tidak
memberikan kebaikan bagi manusia. Dalam arti ini sabat yang dimaksudkan sebagai waktu untuk membebaskan dari kerja
atau menjadikan orang beristirahat. Hukum dalam hari sabat itu tidak untuk
menghalangi atau orang berbuat baik, menolong orang lain, menyembuhkan atau
menyelamatkan kehidupan (bdk. Mrk
3:4; Mat. 12:11-12; Luk. 13:15-16). Yesus tidak menjadikan diri-Nya sebagai
pembuat hukum atau menghilangkan hukum Musa namun Ia datang untuk mengenapi-Nya
(bdk., 5:17-19).
Dengan
demikian Kerajaan Allah dan kekuasaan memiliki perbedaan. Yesus hendak
membebaskan semua orang dari hukum. Namun tidak menjadikan untuk menolak hukum.
Hukum dimaksudkan dan dihadirkan dalam kehidupan dan dipergunakan dengan
bertanggung jawab sehingga hukum itu kemudian memenuhi kebutuhan manusia. Yesus
membuat hukum relatif sehingga tujuan yang sejati itu tercapai. Dalam pemahaman
ini hukum dalam Kerajaan Allah menjadi fungsional. Semua akan mewujudkan aturan
yang perlu; jika manusia saling melayani. Sehingga perbudakan dan penindasan
yang disebabkan oleh kekuasaan yang dominan akan dihapuskan. Dalam pengertian
ini tindakan kebenaran yang dilakukan lebih dari tindakan yang dilakukan ahli
Taurat dan orang-orang Farisi.
2.
Waktu yang Baru
Pemahaman atau konsep mengenai waktu sangat penting. Namun terkadang sering dimaknai dengan keliru
ketika waktu menjadi yang absolut. Gerard Van Rad menyatakan bahwa waktu yang absolut
tidak tergantung pada peristiwa dan seperti titik-titik dalam kuesioner hanya
perlu diisi dengan data yang akan memberi isi. Hal ini tidak dikenal di Israel.
Orang-orang Yahudi berbicara dan berpikir mengenai waktu sebagai kualitas. Hal
itu dengan jelas diungkapkan dalam kitab pengkhotbah. (Pkh. 3:1-8).[18]
Orang Yahudi memahami dan mengerti waktu bukan masalah dengan tanggal, melainkan
pada kualitas waktu. Nolan menyebutkan bahwa konsep waktu bukanlah sesuatu yang
asing. Kita masih akan berbicara tentang berbagai waktu. Orang-orang Yahudi
melihat bahwa hakikat masa kini sebagai yang ditentukan atau oleh karya
penyelamatan Allah di masa lampau. Dalam hal ini Yesus mewartakan waktu yang
sama sekali baru dan segera tiba secara definif: “waktunya sudah genap Kerajaan Allah sudah dekat” (Mrk. 1:15).
Dalam hal ini Yesus mewartakan waktu baru secara kualitatif berbeda dengan yang
diwartakan oleh Yohanes.
Mengenai waktu yang baru ini erat kaitannya dengan
sikap yang ditunjukan oleh Yesus dalam kehidupan bersama masyarakat pada waktu
itu. Ia hadir dan kemudian mendobrak sekat-sekat sosial dan menunjukan sikap saling
memperhatikan, saling mengasihi serta saling berbagi. Yesus secara tegas
menolak raja yang berkuasa. Yesus memperjuangkan kehidupan kaum marginal. Ia
pun menunjukan kesamaan martabat (equality)
manusia dihadapan Allah. Yesus memperjuangkan nilai universal dari
persaudaraan, kemanusiaan, kesetiakawanan dan kesamarataan. Dengan demikian
waktu yang baru menjadi sebuah warna baru yang mengubah wajah dunia dengan
kasih Allah yang tak berkesudahan. Kasih itu terjelma dalam tindakan dan
praksis hidup Yesus yang hadir secara imanen. Ia hadir dan menampakan bahwa
Allah sungguh meraja dan Kerajaan Allah itu kemudian terwujud dalam kehidupan
manusia.
3.
Refleksi Pemikiran
Albert Nolan dalam hidup Pastoral
Membaca dan memahami gagasan yang
dikemukan oleh Nolan memberi sebuah pemahaman mengenai sikap ‘seperasaan dengan Kristus’ (Sentire cum Christo). Usaha
ber-kristologi dari Nolan nampak bahwa ia melihat tokoh Yesus secara tidak
memihak. Maksudnya adalah cara Nolan mengambarkan Yesus yang dianggap berbeda
dari cara agama Kristiani melihat Yesus dalam iman. Sehingga Pendekatan Nolan
dianggap sebagai pendekatan yang objektif dan lebih sesuai dengan Yesus sebagaimana
adanya ketika ia hidup, berkarya dan wafat di Palestina.[19]
Teologi Nolan arahnya tidak berada dalam theology
from below (teologi dari bawah) yang dimulai dari kelahiran hingga wafat
Yesus atau fokusnya ada pada injil sinoptik, atau theology from above (teologi dari atas) yang fokusnya ada pada
injil Yohanes dan surat-surat Paulus, melainkan ia menjembatani sebuah paradigma
berteologi yang berada ditengahnya (teologi alternatif). Nolan menyajikan
pemahaman akan Yesus iman dan Yesus yang historis.
Pemikiran Nolan mengenai pola
kepemimpinan Yesus membuka sebuah cakrawala dalam memahami tindakan Allah penuh
belas kasih. Allah yang penuh belas
kasih itu hadir dan memberi pembebasan. Ketika membaca gagasan dari Nolan dan
dihubungkan dengan praksis kehidupan sekarang ini tentunya memiliki kaitannya.
Nolan berbicara tentang hal Kerajaan Allah sebagai ‘kabar gembira’ bagi orang-orang yang termarginalkan. Namun
‘Kerajaan Allah’ juga adalah milik setiap orang. Melihat konteks kehidupan
sekarang ini tentu pemikiran Nolan ini telah memberikan gambaran tentang dunia
kini. Sebuah pengalaman dunia yang kini terusik dan terkikis dengan dinamika
perubahan zaman. Ketika uang, gengsi dan kekuasaan menjadi wajah hidup manusia
sekarang ini. Uang, gengsi dan kekuasaan menjadi dambaan manusia kini. Hal-hal
ini telah melemparkan jauh semangat solidaritas antar sesama manusia.
Albert Nolan membuka sebuah
pemahaman akan kepenuhan belas kasih Yesus. Pada intinya Nolan menghadirkan
wajah Yesus yang penuh belas kasih bagi umat manusia. Ketika akar-akar
ketamakan telah merajalela, maka Yesus memproklamasikan bahasa belas kasih.
Sehingga kepenuhan belas kasih menjadi perwujudan dalam membangun kerajaan
Allah. Ketika menyelami Yesus dengan kepenuhan belas kasih-Nya dan dihubungkan
dalam konteks pelayanan. Dengan demikian, hal apa yang perlu dibangun sebagai
pemimpin dalam karya pelayanan dengan meneladani contoh kepemimpinan dari
Yesus?
Sikap keteladanan dari ciri
kepemimpinan Yesus antara lain : pertama,
Pastoral gembala yang baik dengan mengunjungi umat (kunjungan umat atau
kunjungan keluarga). Mengalami suka duka bersama dengan umat adalah sebuah
bentuk peneguhan. Inilah yang menjadi sebuah solidaritas sejati sebagai
pelayan. Dalam hal ini tidak terkurung atau hanya berada dalam tembok parokial,
melainkan pemimpin yang melayani selalu bersedia ‘turun gunung’ untuk menjumpai atau memelihara jiwa-jiwa (cura animarum). Hal ini dapat disebut
sebagai pengalaman akan makna kehadiran.
Tindakan ini menjadi bentuk solidaritas dan akan menciptakan waktu yang
berkualitas. Kehadiran itu menjadi kehadiran yang meneguhkan dan juga dapat
menyembuhkan. Kedua, sebagai pemimpin
hendaknya selalu hidup dalam semangat rendah hati (low profile). Ia tidak menggunakan kedudukan atau kekuasaan untuk
menguasai melainkan untuk melayani. Ketiga,
pemimpin atau pelayan yang punya kedekatan personal dengan Tuhan. Ditengah
tawaran rutintas karya pelayanan, seorang pemimpin selalu punya waktu untuk
berdoa. Sebagai pemimpin umat yang sedang menahkodai sebuah kapal, dia perlu
waktu untuk berhenti. Dengan meng-charge
atau mengisi hidupnya dengan sabda dan ekaristi. Kedekatan personal itu akan
membawa seorang pemimpin untuk mampu mengarungi arus tantangan zaman yang
terkadang menghanyutkan. Doa dan ekaristi menjadi waktu berkualitas untuk
berdialog bersama Tuhan dan juga punya kepekaan atau solidaritas dengan menjadi
pendoa bagi banyak orang.
Penutup
Yesus sebagai pemimpin yang melayani
selalu memberikan keteladanan bagi para murid untuk melayani. Sejalan dengan
konteks ini Nolan menunjukan wajah keprihatinan dari Yesus penuh belas kasih.
Sebagai orang Kristen yang mengimani Yesus, cinta kasih adalah instrument atau
sarana untuk menghubungi pelbagai aneka pengalaman hidup yang dialami. Dalam
hal Nolan telah membuka sebuah pola
pikir baru bahwa Yesus bukan hanya tokoh yang historis melainkan Dia juga
adalah penyelamat. Menyelami kepemimpinan Yesus adalah pengalaman yang tak
kunjung berhenti. Yesus selalu hadir dalam wajah pengalaman harian kita.
Pertanyaan siapakah sesamaku, telah memberikan rumusan yang sentral bahwa memahami
dan mengimani Yesus berlangsung terus menerus. Pengalaman seperasaan dengan
Allah dalam belas kasih-Nya terjadi karena pengalaman beriman yang dialami
setiap hari.
Daftar Pustaka
·
Nolan, Albert. Jesus
Before Christianity. New York : Orbis Book, 2003.
·
__________ . Yesus
Sebelum Agama Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 1991.
·
Harjawiyata, Frans,
(ed),. Yesus dan Situasi Zaman-Nya. Yogyakarta:
Kanisius, 1998.
·
Wijngaards, John., Yesus Sang Pembebas. Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
·
Sujoko, Albertus., “
Dekonstruksi Kristologi dalam Pemikiran Albert Nolan,” Jurnal Teologi Vol.
02/II (November 2013), hlm. 124.
[1]
“Faith in Jesus is not our starting-point, but it will be, I hope, our
conclusion”. Lih, Albert Nolan,
Jesus Before Christianity (New
York : Orbis Book, 2003), hlm. 1.
[2]
Bdk. John Wijngaards. Yesus Sang Pembebas
(Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 156.
[3]
Bdk. Albert, Nolan. Yesus Sebelum Agama
Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 65.
[4]
Ibid., hlm. 66.
[5]
Frans, Harjawiyata (ed). Yesus dan
Situasi Zaman-Nya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 106.
[6]
Yohanes 18:36.
[7]
Bdk., Nolan, Jesus Before Christianity, hlm. 62.
[8]
Wijngaards, Yesus Sang Pembebas, hlm.
150.
[9]
Ibid.,
hlm. 63.
[10]
Bdk. Nolan, Yesus Sebelum Agama Kristen, hlm.
78-79.
[11]
Bdk. Ibid. hlm. 80-81.
[12]
Ibid, hlm. 85.
[13]
Ibid,
[14]
Ibid,
hlm. 94.
[15]
Ibid,
hlm. 96.
[16]
Bdk. Yohanes 15: 13.
[17]
Ibid,
hlm. 98.
[18]
Ibid, hlm. 102.
[19] Albertus Sujoko, “ Dekonstruksi Kristologi
dalam Pemikiran Albert Nolan,” Jurnal Teologi Vol. 02/II (November 2013), hlm.
124.