Jumat, 24 Februari 2017

Lingkungan Hidup



BERTEOLOGI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP 


Daftar isi…...……………………………………………………………………..…………….1
Daftar Pustaka…………………………………………………………...……………………21

            Kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari hubungan dengan alam sekitarnya. Keterkaitan manusia dengan alam sekitar atau lingkungan hidup ditandai dengan perjumpaan sebagai ciptaan Tuhan yang saling menghormati. Dalam paper ini, fokus yang hendak diangkat dalam pembahasan disini adalah bagaiaman hubungan teologi dengan ilmu pengetahuan. Sebagaimana teologi memiliki kaitan dengan disiplin lain, maka dalam paper ini fokusnya adalah hubungan antara teologi dan ekologi. Hubungan ini ditandai dengan tanggapan gereja terhadap lingkungan hidup. Dalam penulisan paper mengenai berteologi tentang lingkungan hidup ini lebih banyak merujuk Ensiklik dari Paus Fransiskus, Laudato Si. Ensiklik ini membahas tentang lingkungan hidup dan tanggapan gereja terhadap lingkungan hidup. Melalui sumber-sumber yang dibahas dan ditemukan ini, maka tujuan dari penulisan paper ini adalah memberikan pertanggungjawaban secara teologi terhadap lingkungan hidup. Dan bagaimana semestinya manusia menyikapi problem lingkungan hidup terjadi sekarang ini.
Studi tentang teologi, merupakan dasar pengenalan akan pengetahuan mengenai teologi. Berteologi adalah suatu studi yang menghantar setiap orang untuk memahami dan menelusuri apa itu teologi, dan bagaimana teologi memiliki kedudukannya sebagai ilmu yang mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Belajar teologi dalam hal ini mencoba untuk mempertanggung jawabkan iman. Dengan iman yang direfleksikan akan membantu orang untuk sampai pada pemahaman dan tindakan.[1] Teologi sebagai induk dalam lingkup teologi, Gereja dalam kehadiran di tengah kehidupan manusia senantiasa memberikan perhatian terhadap lingkungan hidup. Menjaga kelestarian alam semesta dan mengupayakan pengelolaan yang sebijaksana, menjadi panggilan dari Gereja Katolik terhadap lingkungan hidup. Lingkungan hidup merupakan tempat tinggal dari manusia. Dewasa ini, lingkungan hidup sebagai tempat tinggal manusia menjadi rusak dan tak lagi memperlihatkan keindahan. Pelbagai kemajuan yang dialami oleh manusia telah menjadi manusia sebagai penguasa alam semesta dan membuat manusia tidak lagi respek terhadap kehidupan dalam alam semesta.
Untuk mendalami apa yang dimaksudkan tentang berteologi terhadap lingkungan hidup. Pada bagian selanjutnya ini akan diberikan paparan mengenai kaitan teologi dan ekologi dalam konteks Gereja Katolik.

1.            Pengertian Teologi

Teologi berasal dari bahasa Yunani, dan merupakan kombinasi dari kata theos dan logos. Theos yang berarti Allah, sedangkan logos berarti ilmu atau ajaran. Jadi secara etimologis kata teologi dimengerti sebagai ilmu atau ajaran tentang Allah.[2] Melalui pengertian ini teologi dipahami sebagai ilmu tentang Allah, atau ilmu memahami ajaran Allah dari perspektif Kristen.
Dalam pengertian teologi dapat dimengeri sebagai kerinduan untuk manusia mengenal penciptanya. Dan sekiranya teologi dapat dibedakan sebagai teologi implisit dan teologis eksplisit. Teologi implisit berhubungan dengan olah rasa (aktivitas umat beriman) sedangkan teologi eksplisit berhubungan dengan olah nalar (rasio/akal budi).[3] Dari pengertian tentang teologi ini kemudian memunculkan pertanyaan. Mengapa belajar teologi? Dari pertanyaan ini menghantar kita pada pengenalan akan Allah, bahwa sebagai ilmu iman teologi memberikan pemahaman kepada manusia untuk memahami hal-hal yang berhubungan dengan iman seseorang. Sehingga dari pengertian teologi sebagai ilmu iman atau ajaran tentang Allah akan menghantar pada manusia untuk makin mencintai Allah.

1.1.      Hubungan Teologi dengan ilmu-ilmu lain

Teologi tidak hanya ilmu tentang iman, tetapi teologi sebagai ilmu pengetahuan. Dalam hal ini teologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan sebagai keseluruhan pengetahuan objektif dan bertalian yang diperoleh secara metodis, sistemastis, dan kritis untuk menemukan suatu keterangan yang berlaku umum dalam bidang dan segi tertentu dari kenyataan.[4] Dari pemahaman ini teologi tidak hanya berdiri sendiri sebagai ilmu yang mutlak dan tidak memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain, melainkan dalam hal ini teologi bersinggungan dengan disiplin ilmu lainnya. Dalam hal ini teologi bukan hanya ilmu pengetahuan sebagaimana ilmu-ilmu lain, tetapi teologi adalah ilmu pengetahuan iman. Ia lahir dari fakta bahwa iman adalah juga pemahaman.[5] Sehingga dapat disebutkan di sini bahwa teologi memiliki kaitan dengan ilmu lain untuk dapat menemukan kebenaran melalui ajaran iman.

1.2.      Hubungan Teologi dengan Ekologi

Kesadaran manusia yang berasal dari Allah yang diciptakan secitra dengan Allah (imago Dei). Dalam hal ini manusia menjadi “wakil Allah” didunia ini. sebagai gambar Allah, maka hal ini tidak hanya dimengerti secara personal, melainkan perlu dipahami secara sosial dan ekologis. Hal ini menandakan didalamnya terkaitan hubungan dan tanggung jawab terhadap kehidupan bersama dan alam semesta.[6] Ekologi diartikan sebagai cabang biologi yang mempelajari hubungan antara makhluk dan lingkungannya. Ekologi berasal dari bahasa Yunani; Oikos dan Logos. Oikos diartikan sebagai habitat atau rumah tempat tinggal sedangkan logos adalah ilmu. Sehingga ekologi dipahami sebagai ilmu yang mempelajari mahluk hidup sebagai satu kesatuan atau sistem dengan lingkungannya. Merujuk pada kata oikos dan logos, komponen kedua kata ini memiliki implikasi suci, seperti halnya dalam Yoh. 1:1 dan dalam kitab Kebijaksanaan yang menunjuk logos dengan penuh misteri. Dengan demikian kata ekologi menunjukan kedalaman tak terhingga serta makna misteri tentang tempat tinggal.[7] Sebagai mahluk ciptaan Tuhan, maka setiap orang terpanggil untuk menjaga lingkungan hidup. Ekologis dipahami sebbagai tempat tinggal bersama yang ditinggali oleh mahluk hidup, maka sudah sepantasnyalah manusia yang hidup didalamnya memperlakukan alam sekitarnya secara hormat.

1.1.      Berteologi dengan Lingkungan Hidup
Dalam pembahasan pada bagian awal paper ini telah disebutkan mengenai fokus atau sasaran dalam penulisan ini. sebagaimana yang disebutkan itu, maka pada bagian ini akan diberikan paparan tentang berteologi dengan lingkungan hidup. Hal yang dimaksudkan di sini adalah bagaimana teologi memberikan kajian sekaligus tanggapannya terhadap pelbagai fenomena yang terjadi dan memberikan pengaruh dalam kehidupan umat manusia.
            Berteologi dengan lingkungan hidup disini adalah lebih banyak merujuk pada ensiklik dari Bapa suci Paus Fransiskus dalam ensiklik Laudato si. Paus Fransiskus menyebutkan demikian: “Tantangan yang mendesak untuk melindungi rumah kita bersama mencakup upaya untuk menyatukan seluruh manusia. Sang pencipta tidak meninggalkan kita; Ia tidak pernah meninggalkan rencana kasih-Nya atau telah menyesal memciptakan kita. Umat manusia masih memiliki kemampuan bekerja sama dalam membangun rumah kita bersama.”[8] Paus Fransiskus dalam ensikliknya ini memberikan seruan untuk melindungi “rumah” tempat tinggal manusia. Sebagai tempat tinggal manusia, maka manusia diajak untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.

1.2.      Partisipasi Gereja dalam menjaga dan merawat bumi
Dalam Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2012, yang berjudul : “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan,” dalam Nota Pastoral ini dimaksudkan sebagai pembelajaran pribadi atau bersama dengan seluruh umat dan siapapun yang mempunyai kepedulian pada masalah-masalah lingkungan hidup dan usaha-usaha untuk menjaga, memperbaiki, melindungi dan memulihkannya.[9] Nota pastoral ini menjadi bentuk partisipasi dan juga perhatian (option) gereja untuk menjaga dan merawat bumi. Secara singkat dapat dikatakan bahwa Nota pastoral ini menjadi panggilan gereja untuk melestarikan keutuhan ciptaan dengan tindakan pastoral lingkungan hidup (ecopastoral)[10] yang diupayakan oleh Gereja Katolik di Indonesia sebagai persekutuan umat beriman.
Pada tahun ini tepatnya pada Aksi Puasa Pembangunan (APP) Keuskupan Manado mengangkat Tema APP tahun 2015: “pendidikan pola hidup sehat dan berkecukupan demi mewujudkan hidup sejahtera”. Tema ini menjadi gaung dan juga upaya dari gereja untuk memberi perhatian bersama dengan umat beriman untuk membangun prioritas dalam upaya membangun dan juga menyeimbangkan hidup yang sehat dan berkecukupan. Dalam kerangka tersebut gereja mengajak umat untuk merawat lingkungan hidup dengan aksi nyata dalam kehidupan harian.
Sehubungan dengan Nota pastoral yang diatas tadi maka, masalah lingkungan hidup merupakan masalah bersama. Karena itu umat kristiani diajak untuk membangun kerjasama dengan siapapun. Kerjasama itu dapat terwujud dalam diskusi, seminar atau gerakan-gerakan lainnya, yang didorong bukan karena adanya kerusakan lingkungan. Tetapi merupakan panggilan dan perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan Pemeliharaan kehidupan.[11] Dengan demikian, panggilan untuk merawat dan menjaga bumi adalah amanat sekaligus juga tanggung jawab sebagai pribadi yang beriman akan Tuhan yang menciptakan lingkungan hidup ini dengan sikap yang bijaksana.

2.            Ada apa dengan lingkungan hidup sekarang ini?

Pertanyaan yang  tersaji dalam judul ini, menyiratkan pesan bahwa lingkungan hidup sekarang ini mengalami kerusakan atau chaos (kekacauan). Tanpa berpikir panjang dan melihat fenomena dan realita yang terjadi sekarang ini, memperlihatkan bahwa lingkungan hidup perlu dibenahi dan dirawat. Pertanyaan ini kemudian mengelinding dengan cepat dan indikasi yang ditemukan didalamnya adalah terjadi kesenjangan antara alam dan manusia. Disini penulis memakai ungkapan William chang, mengenai perlu “kecerdasan ekologis”. Dalam hal kecerdasan ekologis, tertuang dalam bentuk kearifan lokal. Alam semesta bukan hanya menjadi sumber untuk dieksploitasi, tetapi menjadikan alam semesta sebagai rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata dan bukan dihancurkan. Kecerdasan ini mengingatkan manusia untuk tidak boleh membiarkan masa depan bumi ini terancam dengan adanya pemanasan global. Dalam kecerdasan ekologis ini, manusia mengarahkan kualitas hidupnya untuk membangun gerakan yang ramah lingkungan, dengan memberikan prioritas pada keselamatan alam semesta.[12]
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan beberapa hal yang terkait dengan problem yang terjadi dalam lingkungan hidup.

2.1.      Manusia menjadi mahluk destroyer

Lingkungan sebagai tempat tinggal menjadi tempat untuk manusia membangun relasi dengan alam sekitarnya. Dalam lingkungan hidup interaksi antar berbagai komponen akan menjadi harmoni. Harmoni atau keseimbangan yang demikian adalah tergantung pada manusia. Mengapa demkian? Pada hakekatnya lingkungan hidup adalah bersifat antroposentris, artinya lingkungan hidup itu dipelihara, dibangun atau dikelolah dengan sebaik-baiknya demik kepentingan dan kelangsungan kehidupan generasi-generasi berikutnya.[13]  Karena itu manusia diberikan kebebasan oleh Allah untuk menguasai alam dan dengan penuh kesadaran, kepedulian dan kewajiban memperlakukan alam atau bumi ini dengan sebaik-baiknya. Manusia bukanlah menjadi mahluk perusak (destroyer), melainkan hendaknya menjadi penjaga yang merawat dan melindungi alam semesta ini sebagai ciptaan Allah.
Lingkungan hidup sekarang ini menjadi edan, dan tidak lagi memperlihatkan keindahan Taman Eden sebagaimana dalam kitab kejadian. Sungguh demikian parahnya sehingga alam semesta ini menjadi edan, dan pesona Taman Eden itu tidak lagi nampak? Mungkin sekelumit ungkapan ini memiliki kebenaran, alasannnya bahwa sekarang ini bumi telah menjadi kotor, berbau, berpolusi, beracun, berkeruh dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu keakraban dan keharmonisan yang menghantar pada kebahagiaan seluruh ciptaan tidak lagi terlihat. Titik puncaknya adalah terjadinya krisis ekologi dan sebabnya yang ditandai dengan adanya; kemiskinan, mentalitas dan gaya hidup, lemahnya kebijaksanaan dan runtuhnya benteng moral dan religiositas manusia.[14] Karena itu manusia dipanggil untuk mengembalikan citra Eden itu untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan ditengah masyarakat.

2.2.      Konsep yang keliru

Dalam Kitab kejadian 1:28, terungkap disana sebuah perintah untuk menguasai. Konsep untuk menguasai ini kemudian dianalogikan sebagai tindakan penguasaan yang semena-mena terhadap alam. Perintah tersebut dijadikan sebagai alasan untuk melakukan penguasaan  terhadap alam tanpa batas. Dalam hal ini manusia telah terpesona oleh konsep kuasa dan penaklukan seperti yang ada dalam kitab kejadian1:26-28. Akibat kuasa yang salah ini manusia berada dalam tindakan yang sesuka hati untuk merusak tanah termasuk tanah yang menjadi “ibu” bagi mahluk hidup. Akibatnya manusia kemudian kehilangan (lost) konsep untuk “memelihara dan mengusahakannya” seperti yang ada dalam Kitab kejadian 2:15.[15]
Kekeliruan manusia dalam menafsirkan teks Kitab Suci ini memberi dampak yang negatif pada pengelolaan dan pengusahaan alam semesta. Konsep manusia seperti yang ada dalam kitab suci itu disalah artikan dan pada akhirnya menimbulkan kesenjangan terhadap keharmonisan pada alam. Hal ini memberi kesan bahwa manusia menjadi pribadi yang rapuh dan kebebasan yang diberikan direlativir dengan melakukan perusakan. Seyogianyalah manusia melakukan tugas sebagai partner Allah yang bertugas untuk pro lingkungan atau juga pro life.

2.3.      Alam terusik karena diusik

Ketika kita membaca dalam kitab kejadian 1:10, disebutkan bahwa Allah menciptakan semuanya baik adanya. Allah melihat segala yang dijadikan-Nya adalah baik, namun kebaikan itu kemudian dibelokan oleh manusia. Bab-bab awal dalam kitab kejadian antara lain melukiskan permenungan klasik tentang peristiwa penciptaan. Penulis dalam kitab kejadian ini tidak memandangnya bahwa perintah untuk menguasai adalah pernyataan akan kuasa yang tak terbatas, akan tetapi dihadapan mata Tuhan mahkluk ciptaan nonmanusia dan manusia diandaikan membentuk suatu komunitas mahluk ciptaan, dan dalam komunitas itu manusia memiliki tanggung jawab.[16] Munculnya fenomena bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa alam terusik karena kenyamanan dan kelestariannya diusik oleh tangan manusia yang bekerja dengan pongah dan menjadi pengarap bumi yang makin brutal. Bila kita melihat sebagaimana manusia diciptakan baik adanya maka, semestinya tangan manusia dikerjakan untuk menjadi pekerja yang trampil dan berbudi serta memiliki kepekaan pada alam sekitarnya.
Karena itu bencana yang terjadi seperti di Manado pada awal tahun 2014 dan juga bencana tanah longsor serta banjir di berbagai daerah di Indonesia, adalah catatan-catatan kecil dari rusak alam karena ulah manusia. Harmoni alam yang damai kemudian menjadi musuh dari manusia karena tak sedikit kerugian material bahkan jiwa manusia yang harus dibayar dan dikorbankan.

2.4.      Ibu bumi yang menangis

Cara pandangan ‘yang salah’ tentang alam semesta menjadikan manusia menjadi pusat dalam alam semesta (antroposentrisme). Sikap ini menyebutkan bahwa manusia memiliki nilai dan berharga hanya pada dirinya, sedangkan alam dan segala isinya hanyalah sarana atau alat untuk memenuhi kepentingan manusia.[17] Situasi demikian memberikan peran bahwa manusia adalah aktor dan penentu dalam kehidupan semesta. Kerusakan alam menjadi ibu bumi menangis, hal ini sangat beralasan dimana ada banyak bencana alam yang terjadi menyirat pesan bahwa kehidupan saat berada pada krisis pada lingkungan hidup.
Menyikapi fenomena demikian, barangkali perlu dikaji dan ditegaskan kembali sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci yakni dalam Mazmur 104, yang bermaksud untuk mengatakan bahwa alam semesta memiliki dua makna; yakni alam semesta adalah tempat pertemuan dengan Tuhan; namun serentak pula berjarak dengan Tuhan. Dalam hal ini cinta kasih yang menghubungkan Tuhan dengan alam semesta. Dalam kitab Mazmur ini memberikan pemaknaan bagaimana tiap benda adalah buah sabda Tuhan, dan karena itu ciptaan  membawa makna dalam dirinya.[18]
Dengan demikian manusia sebagai partner dipanggil untuk menjadi rekan kerja dalam mengawal dan melihat fenomena alam. Bumi yang ditempati ini adalah berkat sekaligus juga amanat yang harus dijaga dan dilestarikan secara terus-menerus demi kelangsungan hidup generasi mendatang.

3.            Bebebapa pandangan Gereja terhadap Lingkungan Hidup

3.1.      Seruan dalam  Ensiklik Laudato Si

Ensiklik Laudato Si’ yang diterbitkan oleh Paus Fransiskus pada 18 Juni 2015, tentang perawatan rumah kita bersama. Bapa Suci dalam ensiklik ini memberikan beberapa seruan dan juga penegasan untuk merawat lingkungan hidup. Seruan dari Bapa Suci mengenai lingkungan ini mengaris bawahi beberapa hal penting yakni; polusi limbah dan budaya buang sampah, masalah air, kualitas hidup manusia dan kemerosotan sosial, ketimpangan global, tanggapan-tanggapan yang lemah, dan keragaman pendapat. Hal-hal merupakan bagian penting yang disorot dalam ensiklik ini.
Lebih lanjut lagi dalam bab II dalam ensilik ini mengenai kabar baik penciptaan. Dalam hal ini peranan teologi dan pesan-pesan Kitab suci memberikan batasan dan penegasan tentang penciptaan. Dalam hal ini ditunjukan bahwa tanggung jawab terhadap bumi milik Allah. Hal ini menyiratkan bahwa manusia yang diberkati dengan akal budi, hendaknya menghormati hukum alam dan keseimbangan yang lembut antara mahluk-mahluk dunia ini, sebab “Dia memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar” (Mzm. 148:5b-6).[19] Tugas dan peranan manusia adalah memberikan batasan yang jelas dalam mengelolah kehidupan alam semesta. Karena itu manusia menjadikan alam semesta sebagai saudaranya[20] yang memberikan kekayaan hidup manusia. Itulah sebabnya Gereja tidak hanya berusaha untuk mengingatkan akan tugas pewartaan alam, tetapi sekaligus “terutama ia harus melindungi umat manusia dari penghancuran diri”.[21] Alam semesta merupakan kehadiran Allah, sehingga akan menjadi keliru bilamana ciptaan lainnya dijadikan sebagai objek oleh manusia untuk memenuhi keinginannya. Cita-cita harmoni, keadilan, persaudaran dan perdamaian yang Yesus tawarkan adalah kebalikan dari model seperti itu, dan berkaitan dengan penguasa pada zaman-Nya Ia menyatakan demikian: penguasa-penguasa bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian diantara kamu. Barangsiapa menjadi terbesar hendaklah ia menjadi pelayanmu” (Mat. 20:25-26).[22]
Dalam hal ini ensiklik ini mengajak manusia untuk memperlakukan alam dengan sebaik-baiknya dan menjadikan alam itu sebuah rumah yang ditempat dan dijaga kelestarian kehidupan yang terkandung di dalamnya.

3.2.  Paus Yohanes Paulus II: Sollicitudo Rei Socialis dan Centesimus Annus

Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 1987 dalam peringatan  20 tahun kehadiran  ensiklik Populorum Progressio menampilkan analisis baru tentang krisis lingkungan. Dalam ensiklik ini, Paus menyadari Pertama, bahwa pemanfaatan mahkluk ciptaan, selalu menimbulkan akibat yang tidak dihindarkan. Kedua, terdapat ciri keterbatasan sumber-sumber alam. Ketiga, industrialisasi selalu menambah kontaminasi lingkungan dengan akibat-akibat berat untuk kesehatan masyarakat. Hal yang sama dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Centesimus Annus, yang kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan teologi yang kian berat. Dalam hal ini manusia seharusnya menjadi kolaborator dengan Tuhan dan karya penciptaan dan bukan mengganti kedudukan dan peran Tuhan. Dimensi tanggung jawan dititikberatkan oleh Paus.[23]
            Kehadiran dari dua ensiklik dari Paus Yohanes Paulus II, memberikan tanggapan Gereja atas situasi yang terjadi dalam dunia. Tanggapan ini merupakan sikap gereja untuk bekerja bersama dalam menciptakan alam yang penuh dengan keharmonisan. Singkatnya dalam ensiklik ini, mengajarkan dan mengarahkan manusia pada pengenalan akan keindahan alam. Dalam alam itu manusia hendaknya mengakui, menghormati dan menghargai alam ciptaan Tuhan dengan segala keindahan dan keberagamannya.

3.2.      Paus Benedictus XVI: Deus Caritas Est

   Paus Benedictus XVI pada tanggal 25 Desember 2005 menandatangani Ensikliknya yang pertama “Deus Caritas Est” (DC). Ensiklik ini berjudul ‘Allah Adalah Kasih’. Ensiklik ini secara umum tidak menyoroti masalah lingkungan, namun dalam ensiklik ini cinta itu timbul dari keinginan Eros, yang pada dasarnya baik, namun mesti dimurnikan. Hal ini dimaksudkan dengan ditransformasikan menjadi kasih Agape, yakni pemberian diri sepenuhnya kepada orang lain. Dalam ensiklik ini Gereja bukan melawan cinta, tetapi menganjurkannya sebagai kasih yang menetap dan tak berkesudahan. Merenungkan apa yang tertuang dalam ensiklik ini, menampilkan bahwa kehidupan di dunia sekarang ini membutuhkan keadilan. Tekanan pada sikap keadilan sosial itu diperparah dengan adanya pengrusakan lingkungan hidup.[24] Dengan demikian, dalam ensiklik ini cinta itu senantiasa mengarahkan manusia untuk selalu membangun kepekaannya terhadap lingkungan hidup. Sehingga jurang yang membelah pencarian keadilan sosial dapat di temukan melalui tindakan memperlakukan alam secara adil dan bijaksana, sebagaimana manusia mencintai Tuhan dan mencintai sesama manusia itu sendiri.[25]
            Beberapa ensiklik diatas ini adalah bukti dan peran keseriusan Gereja dalam menjaga dan melestarikan alam ciptaan Tuhan. Sehingga melalui beberapa ensiklik ini (dan masih ada beberapa yang lain lagi), gereja menampilkan wajah Kristus yang selalu memberikan perhatian pada yang miskin dan kecil. kepada mereka yang tak mendapar keadilan dan yang terabaikan akibat eksplorasi manusia yang makin menjadi-jadi. Sehingga Gereja Katolik tidak hanya hadir untuk mendalami ajaran tentang Tuhan, tetapi dalam teologinya itu gereja terjun dan memberikan option pada kehidupan manusia seluruhnya.

4.            Langkah bijak tentang kepedulian pada Lingkungan Hidup

Pada bagian pertama dalam paper ini telah diberikan batasan dan fokus dari hubungan  teologi dengan ekologi. Batasan itu telah ditunjukan dengan memperlihatkan beberapa kajian dan pandangan Gereja Katolik terhadap dimensi hidup manusia yang senantiasa bersentuhan dengan alam ciptaan manusia. 
Selanjutnya dalam paper ini akan diberikan langkah bijak atau aplikasi hidup yang dapat dilaksanakan dalam menggali dan menemukan makna hidup manusia. Langkah bijak ini bersumber pada tempat dan peranan dari lembaga hidup dalam menciptakan alam yang penuh dengan keindahan dan keharmonisan alam.

4.1.      Dari Lingkungan keluarga

Lingkungan keluarga dapat menjadi tempat untuk memberikan pendidikan terhadap lingkungan hidup. Pada bab VI dari ensiklik Laudato Si, diberikan penegasan akan pentingnya pendidikan dan spiritualitas ekologis. Pendidikan ekologis dapat dilakukan dalam berbagai konteks: sekolah, keluarga, media komunikasi, katakese, dan lain-lain. Dalam hal ini peran keluarga sentral karena dalam keluarga didalamnya dikembangkan kebiasaan awal untuk mencintai dan melestarikan lingkungan hidup. Keluarga adalah pembinaan integral, dimana pematangan pribadi dikembangkan dalam pelbagai aspek yang saling berhubungan. Tindakan sopan santun yang sederhana dan tulus ini membantu membangun budaya kehidupan bersama dan sikap hormat pada lingkungan hidup.[26] Hal ini hendak memberikan penegasan bahwa keluarga menjadi lembaga moral pertama yang mendidik individu (anak) untuk menghormati lingkungan hidup. Hal sederhana dan kecil yang dikembangkan dan diterapkan dalam keluarga adalah dengan membangun keteladan untuk mencintai alam semesta. Paus Fransiskus dalam ensiklik Lumen Fidei, menyebutkan bahwa dalam keluarga iman menemani tahap kehidupan. Dalam diri anak atau orang muda, perjumpaan dengan Kristus telah membiarkan diri ditangkap dan dibimbing oleh kasih-Nya. Dengan iman itu memastikan bahwa cinta itu dapat dan layak dipeluk berdasarkan pada kesetiaan Allah yang lebih kuat dari kelemahan manusia.[27] Dengan cinta dari orang tua kepada anak telah membentuk dan membawa anak mereka untuk memiliki kepekaan dan mampu memahami pemahaman akan cinta yang integral yang melibatkan lingkungan hidupnya.

4.2.      Lingkungan masyarakat

Masyarakat senantiasa bersentuhan dengan lingkungan hidup. Sadar atau tak sadar dominasi dari manusia sering menciptakan kesenjangan hidup yang tidak fleksibel. Pertambahan populasi manusia dan berkembang pesatnya teknologi telah bersentuhan langsung dengan pengelolaan alam oleh masyarakat. Ekologi manusia menyiratkan hal di dalamnya hubungan manusia dan hukum moral. Paus Benedictus XVI menegaskan tentang suatu ekologi manusia mengingat manusia memiliki sifat dasar yang perlu dihormati dan tidak dimanipulasi.[28] Dalam masyarakat global sekarang terjadi banyak ketimpangan dan makin banyak orang yang terpinggirkan, dirampas hak-hak asasinya, prinsip kesejahteraan umum. Hal ini menjadi solidaritas dan prioritas bagi kaum miskin.[29]
Kesenjangan ini memberi indikasi pada pengerukan kekayaan bumi tanpa ada prinsip hormat pada alam. Teori etika yang popular yang popular sekaedang ini adalah Deep Ecology (DE), yang digagas oleh Arne Naess (1973). Dalam DE menuntut etika yang tidak lagi menempatkan manusia sebagai pusat (antrposentrisme), melainkan etika ini pusatnya dapa mahkluk hidup yang dalam kaitannya berusaha mengatasi persoalan lingkungan hidup. Daam etika lingkungan hidup yang dikembangkan oleh DE dirancang sebagai etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya prinsip-prinsip moral etika harus diterjemahkan dalam aksi nyata.[30] Gerakan yang dikembangkan oleh Naess adalah menciptakan sebuah kebijakan atau kearifan yang disebutnya dengan istilah ecosophy, hal berarti mengatur hidup yang selaras dengan

4.3.      Lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan

Dalam lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan ensiklik Laudato Si memberikan ajakan untuk memiliki kepekaan terhadap lingkungan hidup. Pendidikan itu bertujuan untuk menciptakan suatu “kewarganegaraan ekologis”, sangatlah mulia bila kewajiban untuk memelihara ciptaan dilakukan dengan tindakan kecil sehari-hari, dan sangat penting untuk mendorong orang untuk menjadikan suatu gaya hidup. Pendidikan ekologis dalam tanggung jawab ekologis dapat mendorang berbagai perilaku yang memiliki dampak langsung dan signifikan untuk pelestarian lingkungan hidup, dengan menghindari penggunaan plastik dan kertas, mengurangi penggunaan air, pemilahan sampah dan lain sebagainya.[31]
Pendidikan dalam lingkungan sekolah dan lembaga pembinaan dalam hal ini seperti Seminari dan rumah bina, diajak untuk senantiasa mengkomunikasikan dan pentingnya kepekaan lingkungan hidup. Yesus dalam Injil mengingatkan akan kasih persaudaraan hanya mungkin bila tanpa pamrih dan bukan balas jasa. Sikap tanpa pamrih itu mendorong kita untuk mencintai alam dalam persaudaraan universal.[32]

5.            Mengembalikan citra alam dengan tindakan nyata

Gambaran akan kerusakan dan kesenjangan alam semesta memberikan penekanan akan kesadaran kolektif dari manusia untuk melakukan gerakan perubahan dalam tindakan nyata sehari-hari. Mengembalikan citra alam yang rusak dengan nyata adalah sebuah langkah bijak dalam pembangunan kesadaran hidup. Gereja dalam seruan melalui ensiklik Para Paus yang menyuarakan akan keseimbangan alam yang benar-benar dicita-citakan oleh banyak orang.
Upaya mengembalikan citra alam dengan tindakan nyata dalam hidup sehari-hari, dapat dilakukan dalam berbagai cara yang ada dibawah ini.

5.1.      Penanggulangan sampah yang efektif dan efesien

Masalah sampah adalah menjadi masalah yang meresahkan ketika hal itu tidak dikelolah dengan baik. Sampah rumah tangga khususnya dalam kota-kota besar dan kota kota yang sedang berkembang telah memicu masalahnya pencemaran lingkungan. Kemajuan industri dan perubahan gaya hidup modern telah menjadikan manusia menjadi menciptakan mentalitas konsumtif. Plastik adalah salah satu konsumsi manusia modern; selain juga makanan kaleng dan jenis minuman siap saji (fast food).[33]
Masalah sampah menjadi masalah yang urgen untuk diselesaikan. Bertambahnya populasi manusia dan pesatnya produksi produk-produk yang memberi konsekuensi pada bertambahnya volume sampah. Adanya para petugas kuning yakni mereka yang bekerja sebagai pengangkut sampah, tidak akan membawa efek yang baik bila tidak ada kerjasama dari warga masyarakat. Jika ditelaah lebih jauh peranan dari petugas cleaning servis ini, sumbangsih mereka adalah sebuah panggilan menjadi co-creator Allah yang memiliki tanggung jawab atas alam ciptaan (bdk. Kej. 1:26-31). Dapat dikatakan bahwa para petugas kebersihan ini menghidupi semangat hidup kristiani, yakni seluruh alam semesta ikut serta dalam kemuliaan kebangkitan (Rom 8:19-33), dan menghadirkan “ bumi baru dan langit baru” (2 Pet 3:13-14).[34] Mengutip pernyataan Banariwatma dan Muller dalam bukunya “Berteologi Lintas Sosial Ilmu” menjelaskan pemahaman mengenai peranan manusia sebagai Imago Dei/ Image of God. Panggilan pada manusia itu adalah ikut serta dalam memelihara keutuhan ciptaan Allah. Sebagai mitra Alllah manusia menjadi co-opreator dan co-creator Allah. Dalam konteks ini manusia dipandang sebagai Partner Allah atau rekan kerja Allah.[35]
Dengan demikian panggilan untuk melestarikan tidak hanya diletakkan pada mereka yang bekerja seabagai petugas sampah. Tetapi menjaga dan melestarikan alam dari dampak kotornya oleh sampah adalah panggilan kita bersama untuk menyikapinya. Dengan adanya budaya bersih akan menjadikan kita sebagai penghuni “rumah bumi” ini akan membantu kita untuk sehat secara ekonomis, psikologis dan social.

5.2.      Menjadikan lingkungan sebagai sahabat kita

Menjadikan lingkungan sahabat kita merupakan wujud dari kecintaan terhadap lingkungan hidup. Seperti halnya dalam Gereja terdapatlah orang-orang kudus yang senantiasa respek pada alam sekitarnya. Sebutnya saja nama Santa Theresia dari Lisieux, yang mengajak kita untuk menapaki “jalan kecil cinta”, tidak kehilangan kesempatan untuk sebuah kata ramah, untuk tersenyum, untuk suatu isyarat kecil apa pun yang memancarkan damai dan persahabatan. Cinta yang kecil dalam kehidupan sehari-hari, menjadi cinta sosial yang adalah kunci hidup yang otentik.[36]
Seperti halnya santa Theresia, santo Yohanes dari Salib mengajarkan kepada kita bahwa yang baik yang terdapat dalam segala kenyataan dan pengalaman di dunia ini ditemukan dalam Allah secara istimewa. Jika menangkap kekaguman kemegahan gunung, ia tidak dapat memisahkannya dari Allah. Gunung gemunung adalah itulah Kekasihku bagiku.[37] Belajar dari dua orang kudus ini sungguh mempesona kekaguman dan ajakan mereka untuk mencintai ciptaan Tuhan. Lebih dari itu Bunda Maria dalam segala kecintaan dan ketaatannya pada kehendak Allah, merawat Yesus, sekarang merawat dunia yang terluka ini (ibu bumi) dengan kasih sayang dan rasa sakit seorang ibu. Bunda Maria tidak hanya menyimpan dalam hatinya seluruh kehidupan Yesus yang diasuh dengan setia (bdk. Luk 2:19, 51) tetapi juga memahami segala sesuatu. Karena itu, kita dapat meminta dia untuk membantu kita memandang dunia ini dengan mata yang lebih bijaksana.[38]
Dengan demikian persahabatan dengan alam adalah wujud dari solidaritas dengan pencipta yang telah memberikan kurnia yang begitu indah ini.  karena itu melalui “Jalan Kecil Cinta” dari Therese dan sapaan “Sang Kekasih” Yohanes dari Salib serta madah “ Saudaraku” dari Fransiskus Asisi yang menjadi miskin demi melihat keindahan dan kekayaan alam ciptaan Tuhan. Sehingga, nasihat dari orang-orang kudus ini menjadi sebuah suara kenabian yang mengajak manusia untuk menghentikan ekploitasi besar-besaran pada alam dengan menyerukan pertobatan kolektif demi keseimbangan ekologi yang diharapkan.  Suara profetis dan lembut dari para kudus ini menjadi mengajak kita untuk melihat rumah kita ini yang dicpitakan Tuhan dengan “sungguh amat baik adanya” (Kej 1:31).

5.3.      Gerakan Go Green Every Day

Gerakan Go Green every day, akan menjadi bernada dan bermakna praktis, jika hal itu diaplikasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Gerakan akan menjadi semangat hidup untuk menanamkan pada generasi muda kepekaan dalam membangun sebuah habitus mencinta. Dengan tindakan mencinta akan membawa pada pencerahan dan perubahan hidup yang sungguh terealisasi secara nyata dalam hidup sebagai orang yang beriman.
Dalam APP 2015, dikembangkan suatu sikap hidup baru yang dimaksudkan sebagai gerakan perubahan. Gerakan G2ED (Go Green Every Day) dapat dilihat dengan pola hidup sehat dan berkecukupan. Pola hidup sehat ini, sejatinya mengajak umat untuk membangun jalan pertobatan (Metanoia). Metanoia sejati bukan hanya terwujud dalam relasi vertical, antara manusia dan Ilahi; melainkan relasi horisental itu terbangun dari hubungan manusia dengan lingkungannya.[39] Dengan membangun vertikal dan horisental sebagai umat beriman, maka setiap orang dipanggil untuk melakukan aksi yang nyata. Aksi nyata itu menjadi aspiratif ketika didekatkan pada cara untuk mengoptimalkan lahan pekarangan, gerakan bersih dan sehat lingkungan dan gerakan keluarga sebagai seminari kecil.[40]
Selain itu juga gerakan go green, dapat diaplikasikan dalam sekolah dengan mengembangkan prinsip Living Values (Nilai-nilai kehidupan). Living values ini disebutkan sebagai: cinta kasih penghargaan, kedamaian, toleransi, kejujuran, kerjasama, tanggung jawab, kesederhanaan dan lain sebagainya. Aksi nyata dalam pendekatan ini adalah mengajak anak didik untuk memikirkan diri sendiri, orang lain dan dunia. Aplikasi dari pendekatan ini dapat berupa ajakan kepada para murid untuk berefleksi, berimajinasi, berdialog, berkomunikasi, berkreasi dan lain-lain. Dengan pendekatan ini dimaksudkan agar sedini mungkin dan sedapat mungkin anak dapat berproses untuk mengembangkan ketrampilan dan kepekaan sosial termasuk didalam kecintaan pada lingkungan hidup.[41]

6.            Ajakan Melestarikan Lingkungan Hidup

Setelah memaparkan keadaan lingkungan hidup sekarang dalam konteks gereja Katolik. Penulis kemudian menelusuri penulisan ini dengan mengajak “kita bersama” untuk memahami dan melihat lingkungan dalam bingkai pemahaman kekristenan. Pada hakekatnya Tuhan menciptakan alam semesta dengan segala kebaikan yang diletakkan didalamnya. Kebaikan dari Tuhan ini adalah sebuah amanat untuk selalu memikirkan bagaimana kebaikan itu menjadi nyata dalam hubungan dengan sesama dan ciptaan Tuhan di dunia ini. dalam spiritualitas Kristen mengajak dan menawarkan jalan untuk kembali ke Taman Eden. Untuk memahami “hidup dalam Kristus” yang berimplikasi pada hidup baru dalam ekologi. “Kristus yang hidup” yang menjadi pusat terdalam kita. Bagaimanapun “Hidup dalam Kristus” merupakan cita-cita untuk dikejar manusia yang terbatas. Hidup dalam Kristus membawa manusia sampai pada tingkat untuk menjadikan hidup kita sebagai orang-orang yang sangat dibutuhkan dewasa ini. [42]
Menjadikan orang yang diperlukan dewasa ini sebagai orang yang “Hidup dalam Kristus” hal itu ditandai keterlibatan dalam menjaga alam semesta. Menjaga alam semesta atau lingkungan hidup, adalah dengan menjadi rekan kerja Allah. Co-creator yang peduli pada alam menjadi landasan hidup orang beriman.

Penutup

Lingkungan yang kita tinggali ini adalahanugerah dari pencipta bagi kita. “LAUDATO SI’,mi’ Signore, atau “Terpujilah Engkau Tuhan”. Dalam nyanyian yang indah ini Santo Fransiskus dari Asisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang berbagi hidup dengan kita dan seperti ibu jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.[43] Menjaga keutuhan ciptaan dan menghormati rumah tempat tinggal adalah sebuah panggilan hidup bagi kita. Ditengah maraknya pelbagai tindakan perusakan dan pengelolaan alam yang makin menjadi-jadi, ensiklik Laudato Si, memberi tanggapan kepada umat manusia untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan ciptaan Allah. Melihat dan menyaksikan kerusakan alam yang tandai dengan pembabatan hutan serta pembakaran hutan yang menyebabkan polusi, eksplorasi dan ekploitasi kekayaan alam dalam sektor pertambangan yang kurang memperhatikan dampak AMDAL, pemakaian pestisida, penggunaan plastik yang berlebihan, runtuhnya benteng moral terhadap penghormatan pada alam, sikap etis yang tidak ada lagi dalam diri manusia dewasa ini telah memberi indikasi pada terjadinya banyak, kelaparan, pemanasan global, rusaknya habitat hutan, tercemarnya air oleh limbah dan lain sebagainya adalah petaka moral dari manusia yang tidak bersikap etis pada alam. Dari semua itu alam menuntut tindakan manusia yang semena-mena dengan terjadi bencana alam dan krisis global.
Menyikapi semua itu kajian akan lingkungan hidup dalam persepktif kristiani adalah menghargai cinta pada Allah dengan mencintai ciptaan Allah. Karena itu aksi nyata dalam menangkal dan juga mengurangi kerusakan alam adalah dengan menyuarakan suara kenabian atau melakukan pertobatan ekologis. Ditengah pesatnya perkembangan teknologi ternyata jika tidak diimbangi dengan aspek kepedulian dan moral yang baik, konsekuensi akan meninggalkan kesenjangan sosial yang makin menjadi-jadi. Gaya hidup carpe diem (nikmati hari ini), seakan menjadi catatan buruknya moralitas manusia dewasa ini. Menikmati kekayaan alam hanya untuk saat ini dan tidak lagi memiliki tanggung jawab moral untuk anak cucu nanti, bukan hanya memberikan luka mendalam bagi anak generasi berikut; tetapi juga makin menjadi menghalalkan segala cara demi keuntungan pribadi atau kelompok. 
Karena itu suara profetis pantaslah dikumandangkan sebagaimana langkah bijak yang dilakukan oleh Gereja Katolik, yang menaruh perhatian pada kelestarian alam demi masa depan mendatang yang baik bagi generasi mendatang. Berteologi dengan lingkungan hidup adalah salah satu cara menyatakan panggilan sebagai pribadi yang diutus untuk mewartakan kabar baik dan menyatakan terang kasih Allah kepada banyak orang. Karena itu teologi dalam kaitan dengan disiplin ilmu lain telah menciptakan kesatuan dan sinergitas dalam kehidupan ini. Menyikapi tindakan bijak diatas, sebagai mahkluk sosial maka manusia atau kita dipanggil tidak untuk menjadi perusak atau menjadi monster bagi alam atau menjadi manusia menjadi serigala (homo homini lupus) bagi yang lain; tetapi menjadi menjadi sahabat dengan yang lain (homo homini socius).
Karena itu diperlukan kepekaan dan kebaikan dadlam diri kita untuk menjaga alam ataurusak kita dari kerusakan. Kepekaan (sense of belonging) demi untuk kesejahteraan bersama (bonum commune). Dari tindakan itulah manusia sebagai ciptaan yang secitra dengan Allah akan menghantar pada pujian ; “Ya Tuhan, Tuhan Kami betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi” (Mzm. 8:2). 

Daftar Pustaka


Ensiklik
Paus Fransiskus. Surat Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, terj. Martin Harun Jakarta: Obor, 2015.
-------------------. Ensiklik Lumen Fidei, terj. Albertus Sujoko. Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2014.
Buku-buku
Chang, William. Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Evelyn Tucker, Mary dan John A. Grim (ed.). Agama Filsafat & Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Keraf, A. Sonny. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
--------------------. Etika Lingkungan. Jakarta: Buku Kompas, 2002.
Konferensi Waligereja Indonesia.  Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi.Yogyakarta dan Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996.
Seputra, Widyahadi A.dkk (ed.). Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, cet. ke 3. Jakarta: Sekertariat Komisi PSE/APP, 2010.
Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta: Erlangga, 2004.
Panitia APP Keuskupan Manado. Pola Hidup Sehat & Berkecukupan. Manado, 2015.

Artikel dan Majalah
Lewar, Hendrik.  “Ekologi: Edanisasi dan Edenisasi.” Vox seri 43/ 3 (2002), hlm. 55-60.
Manuk, Dismas L. “ Cleaning Servis di Kota Maumere dalam Terang Ekologi Arne Naess.” Vox Vol. 46/3 (2002), hlm. 126-132.
Gita Sang Surya, “Panggilan Merawat Saudari kita ibu bumi”, Sept-Okt, (2009).
Traktat kuliah
Hertanto, Gregorius. ”Pengantar Teologi”. Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2011.
Wuritimur, Amrosius. “Pengantar Berteologi” .Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2015.
Nota Pastoral dan Surat Kabar
KWI, “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan” .Nota Pastoral KWI: Jakarta, 2013.
Chang, William. “ Kecerdasan Ekologis,” Kompas.7  Desember 2009.


[1] Bdk. Amrosius Wuritimur, “Pengantar Berteologi” (Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2015), hlm. 1.  
[2] Bdk. Ibid., hlm. 3
[3] Bdk. Gregorius Hertanto, ”Pengantar Teologi” (Traktat Kuliah STF Seminari Pineleng, 2011), hlm. 7.  
[4] Wuritimur, “Pengantar Berteologi”, hlm. 7.
[5] Ibid., hlm. 11.
[6] Bdk. Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta dan Jakarta: Kanisius dan Obor, 1996), hlm. 151.
[7] Bdk. A. Widyahadi Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup: Tinjauan dari Perspektif Pastoral Sosial, cet. ke 3 (Jakarta: Sekertariat Komisi PSE/APP, 2010), hlm. 8.

[8] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’: Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama, terj. Martin Harun (Jakarta: Obor, 2015), hlm. 10.
[9] Bdk. KWI, “Keterlibatan Gereja dalam melestarikan keutuhan ciptaan” (Nota Pastoral KWI: Jakarta, 2013), hlm. 1.
[10] Gerakan Ecopastoral adalah bukan sekedar memanfaatkan alam, merawat alam, memelihara alam melainkan mengubah relasi subordinatif manusia alam menjadi relas kasih subjek-subjek. Pada akhirnya sikapdari Ekopastoral adalah membangun hati manusia yang mati-rasa menjadi hati yang peduli pada alam. Ekopastoral mendampingi iman umat bukan iman yang sermonial, melainkan iman yang liberatif, iman yang membebaskan manusia dari kuat kuasa dosa. Ekopastoral dengan demikian mengembalikan lingkungan hidup sesuai dengan kehendak Sang Pencipta sendiri. Bdk. Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup, hlm. 73.
[11] Bdk. ibid., hlm. 12.
[12] William Chang, “ Kecerdasan Ekologis,” Kompas (7 Desember 2009), hlm. 5.
[13] Bdk. N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 25.
[14] Bdk. Hendrik Lewar, “Ekologi: Edanisasi dan Edenisasi” Vox seri 43/ 3 (2002), hlm. 55-57.
[15] Bdk. Gita Sang Surya, “Panggilan Merawat Saudari kita ibu bumi”, Sept-Okt, (2009), hlm. 10.
[16] Bdk. William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 49.
[17] Bdk. A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 79.
[18] Bdk. Chang, Moral Lingkungan Hidup, hlm. 26-27.
[19] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 51.
[20] Santo Fransiskus dari Asisi dalam ungkapan indahnya  tentang alam semesta yang disebutnya dalam Gita Sang Surya. Santo Fransiskus menyebut alam ciptaan sebagai saudara. Demikian ungkapan dari Santo Fransiskus terhadap alam ciptaan; “Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhluk-Mu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari, melalui dia kami Kauberi terang. Ibid., hlm. 165.
[21] Ibid., hlm. 59-60.
[22] Ibid., hlm. 62.
[23] Bdk. Chang, Moral Lingkungan Hidup, hlm. 64-65.
[24] Bdk. Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup, hlm. 29-30.
[25] Bdk. Lukas 10:25-28.
[26] Bdk. Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 159.
[27] Bdk. Paus Fransiskus, Ensiklik Lumen Fidei, terj. Albertus Sujoko (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2014), hlm. 97-98.
[28] Ibid., hlm. 117.
[29] Ibid., hlm. 119.
[30] Bdk. A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan (Jakarta: Buku Kompas, 2002), hlm. 76.
[31] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 157-158.
[32] Bdk. Ibid., hlm. 169.
[33] Bdk. Keraf, Etika Lingkungan, hlm. 46.
[34] Bdk. Dismas L. Manuk, “ Cleaning Servis di Kota Maumere dalam Terang Ekologi Arne Naess,” Vox Vol. 46/3 (2002), hlm. 129-130.
[35] Ibid.
[36] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 170.
[37] Ibid., hlm. 173.
[38] Ibid., hlm. 179.
[39] Bdk. Panitia APP Keuskupan Manado, Pola Hidup Sehat & Berkecukupan (Manado, 2015), hlm. 10.
[40] Ibid., hlm. 11-13.
[41] Bdk. Seputra, dkk (ed.), Kajian Lingkungan Hidup, hlm. 185.
[42] Mary Evelyn Tucker dan John A. Grim (ed.), Agama Filsafat, & Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2003), hlm. 97-98.
[43] Paus Fransiskus, Surat Ensiklik Laudato Si’, hlm. 1.